Selasa, 20 Maret 2012

Penerapan Iptek disertai Pengembangan Dakwah di Masa Kini dan Mendatang


Penerapan Iptek disertai Pengembangan Dakwah di Masa Kini dan Mendatang

Oleh : H. Mas’oed Abidin

Firman Allah dalam QS. 3, Ali Imran : 110, artinya, “Kamu adalah umat yang paling baik (khaira ummah, umat pilihan), yang dilahirkan untuk kepentingan manusia; menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang membuat salah, serta beriman kepada Allah. Sekranya orang-orang keturunan Kitab itu beriman, sesungguhnya itu baik untuk mereka. Sebahagian mereka beriman, tetapi kebanyakannya orang-orang yang jahat”.

Ayat ini mengandung beberapa pengertian bahwa umat dengan ajaran Islam adalah umat pilihan, terbaik. Bila keturunan Kitab sebelumnya mau beriman kepada apa yang dibawa Muhammad, yakni dinul Islam , tentu mereka akan lebih baik dari umat ini. Tetapi mereka menolak, kufur, dan sebahagian lagi jahat, menolak ajaran Allah SWT. Disinilah terdapat tantangan disamping peluang terhadap umat pilihan (umat Islam) sepanjang masa dalam meniti setiap perubahan zaman.

Umat Pilihan

Khaira ummah menjadi identitas umat Islam. Ditandai sikap istiqamah (Konsisten) dengan perangai utamanya tetap membawa, menyeru, mengajak umat kepada yang baik atau amar makruf. Kemudian melarang membuat salah yakni nahyun ‘anil munkar. Dan tetap beriman dengan Allah. Amar makruf, hanya terlaksana dengan ilmu pengatahuan. Ketika manusia pertama diciptakan, diberikan beberapa perangkat ilmu. Di ajarkan pertama sekali pengenalan terhadap nama, sifat sesuatu dari alam, yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya termasuk malaikat. Lihatlah dengan jelas dialog Allah dengan para malaikat tatkala penciptaan manusia pertama (Adam), seperti tertera dalam QS.2, Al Baqarah : 30-35).

Dengan ilmu yang dimiliki itu, maka manusia mengemban misi mulia, khalifah di permukaan bumi. Khalifah, dalam arti sederhana adalah mewakili jadi penguasa di bumi, makna lebih jauh adalah sebagai makhluk yang dipilih untuk membangun, memajukan dan menjadikan bumi (dunia) lebih berdaya guna. Sebenarnya, manusialah yang mempunyai kewajiban memakmurkan kehidupan dimuka bumi ini. Alam yang lainnya, seperti tumbuh-tumbuhan, binantang, mineral yang terkandung didalam perut bumi, apa yang ada diatasnya, termasuk udara dan planit, atmosfir, adalah alat Bantu bagi manusia untuk menciptakan kebaikan dalam memelihara kelangsungan hidup dunia ini.

Halal dan Haram mesti diraih dengan menerapkan amar makruf nahi munkar. Nahyun ‘anil munkar adalah melarang dari yang salah, memerlukan ilmu pengetahuan tentang makruf dan munkar itu. Melaksanakan amar makruf dan nahyun anil munkar amatlah sesuai dengan martabat manusia. Amar Makruf Nahi Munkar, artinya menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat salah (Silahkan juga lihat di dalam QS.3,Ali Imran:104,114; QS.5, Al Maidah: 78-79; QS.9,At Taubah :71,112; QS.22, Al Hajj:41; QS.31,Luqman:17).

Patokan makruf (baik, disuruh) dan munkar (salah, terlarang) dipagari oleh halal (right, benar) dan haram (wrong, salah). Jadi bukan like or dislike (suka atau tidak). Namun sring terjadi kerancuan menerapkan benar dan salah dalam kehidupan sehari-hari terutama disebabkan kurangnya ilmu pengetahuan tentang right dan wrong itu, atau adanya kebiasaan meninggalkan ajaran agama, serta tidak teguh (tidak istiqamah) menjalankan right dan wrong.

Peran Sentral Ilmu Pengetahuan dalam agama Islam dapat di simak pada ayat pertama diturunkan dalam wahyu suci Al Quran di bulan Ramadhan yang barokah ini adalah (Iqra’, artinya baca). Membaca dan menulis adalah jendela ilmu pengetahuan. Dan dalam QS. 96, Al ‘Alaq 1-5, jelas bahwa dengan membaca dan menulis manusia akan mendapatkan ilmu pengetahuan yang sebelumnya tidak menerka ketahui (‘allamal-insana maa lam ya’lam). Ilham dan ilmu belum berakhir, dengan turunnya wahyu Allah. Wahyu Allah lebih berfungsi sebagai sinyal-sinyal dan dorongan kepada manusia untuk menambah pendalaman dan pemahamannya sehingga mempu membaca setiap perubahan zaman dan pergantian masa.

Wahyu Allah yang dapat dijadikan sebagai dasar tempat pijakan menjelaskan bahwa penguasaan ilmu pengetahuan memiliki beberapa keistimewaan. Diantaranya, yang mengetahui pengertian ayat-ayat mutasyabihat hanyalah Allah dan orang-orang yang dalam ilmunya (QS.2,al Baqarah : 7). Orang berilmu mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (QS.3:18). Di atas orang berilmu, masih ada lagi yang Maha Tahu, (QS.12:76). Bertanyalah kepada ahli ilmu kalau kamu tidak tahu, (QS.16:43, dan 21:7). Jangan engkau turut apa-apa yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu (QS.17:36). Kamu hanya mempunyai ilmu tentang ruh sedikit sekali (QS.17:85). Memohonlah kepada Allah supaya ilmu bertambah (QS.20:114). Ilmu mereka (orang yang menolak ajaran agama) tidak sampai tentang akhirat (QS.27:66). Hanyalah orang-orang berilmu yang bisa mengerti (QS.29:43). Yang takut kepada Tuhan hanyalah orang-orang berilmu (QS.35:28). Tuhan meninggikan orang-orang beriman dan orang-orang berilmu beberapa tingkatan (QS.58:11). Tuhan mengajarkan dengan pena (tulis baca) dan mengajarkan kepada manusia ilmu yang belum diketahuinya (QS.96:4-5).

Identitas diri (self Confidence) Umat pengamal wahyu Allah (Islam) memiliki ciri atau sibghah yang jelas. Menguasai ilmu pengetahuan. Mereka adalah innovator, memiliki daya saing, imagination, kreatif, inisiatif, teguh dalam prinsip (istiqamah, consern), berfikir objektif dan mempunyai akal budi. Teknologi hanyalah suatu keterampilan, hasil dari ilmu pengetahuan berkenaan dengan teknik, serba mesin itu. (Lihat KBIK, Peter Salim dkk., Modern English Press, Jakarta, Edisi kedua 1995, hal 1565). Teknologi tidak berarti apa-apa bila manusia yang berada dibelakangnya tidak berfungsi (tidak berperan dan mati).

Sebelum teknologi dihidupkan, terlebih dahulu wajib dihidupkan dhamir manusia pengguna perangkat teknologi itu. Agar hasil perolehan berbingkai teknologi itu bermanfaat untuk hidup manusia. Pemilik ilmu pengetahuan semestinya mampu mencipta dan menampilkan teknologi ditengah kehidupan dunia menyeluruh, global, tanpa merusak harkat manusia melalui produk ciptaan teknologi tersebut. Disini sebenarnya arti penerapan Iptek dari sudut pandang agama Islam.

Iptek akan menjadi musuh bagi kemanusian bila hasilnya menghancurkan harkat martabat (derajat) manusia. Iptek menjadi sangat penting teramat berguna dalam upaya meningkatkan taraf hidup manusia. Perlu ada saringan penggunaan iptek itu. Saringannya adalah agama, akal budi, akhlaq karimah, adat kebiasaan yang di Minangkabau disebut adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, sebagai aspek kultur penggerak dan pengendali teknologi dimaksud.

Khulasah kesimpulannya memelihara keteguhan tempat tegak ini sangat penting dalam menghadapi berbagai cabaran (penetrasi budaya asing) yang terjadi sekeliling penerapan teknologi tersebut. Dengan basis agama, budaya dan ilmu pengetahuan, maka kemajuan atau perubahan dengan penerapan iptek bagi bangsa ini akan berhasil membawa bangsa ini menjadi kuat dan tidak akan membahayakan. “Mereka tidak akan berbahaya kepada kamu, hanyalah gangguan-ganguan kecil saja. Kalau mereka memerangi kamu, niscaya mereka akan berputar kebelakang (lari). Seterusnya mereka tidak akan mendapatkan pertolongan” (QS.3:111).

Yang mesti dijaga, dalam penerapan iptek menurut ajaran Islam, adalah terjalinnya hubungan baik antara sesama manusia (hablum minan-nas), dan hubungan erat dengan aturan-aturan Allah (hablum minallah). Bila tidak, bahaya selalu mengancam !!! “Ditimpakan kepada mereka (manusia) kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali mereka yang menjaga hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia. Dan mereka kembali dengan mendapat murka dari Allah dan dirimpakan kepada mereka kelemahan (kemiskinan, berbagai krisis ekonomi). Demikian itu karena mereka tidak percaya kepada ayat-ayat keterangan Allah (meninggalkan syari’at agama) dan membunuh nabi-nabi dengan tidak patut (mengucilkan konsep-konsep agama dan membelakangi pemimpin agama, para ulama). Mereka mendurhaka dan melanggar batas”. (QS.3:112).

Bencana akan datang mengiringi kemajuan dan penerapan iptek apabila terjadi kehidupan yang “bebas nilai” (not values) dan “Atheis” yakni tidak percaya kepada Allah, melecehkan perintah dan larangan agama. Bencana juga selalu mengintai manakala putus hubungan kekerabatan, persaudaraan, persatuan dan hilangnya penghormatan sesama manusia. Atau, juga disebabkan kebiasaan meninggalkan syariat agama, tidak patuh asas dan rapuhnya law enforcement, memusuhi alim ulama atau ilmuwan agama, serta durhaka, tidak disiplin dan hilangnya kesadaran hukum. Kesemua sikap itu akan melahirkan tindakan anarkis dan melampaui batas.

Semoga Allah senantiasa menjadikan generasi kedepan berilmu dan mampu mengamalkan ilmunya, teguh aqidah dan baik budi pekertinya. Amin.

Padang, Maret 2012 M/ Rabi’ul Akhir 1433 H.

Menjadi Pemimpin menurut Prinsip Madaniyah


Sebenarnya seorang pemimpin pelopor penggerak pembangunan memikul beban menghidupkan dapur masyarakatnya dengan sungguh-sungguh.

Kebahagiaan tertinggi seorang pemimpin tatkala dapat menghidupkan salah satu dari ribuan dapur yang senantiasa berasap karena usahanya. Tak ada bahagia dalam kekenyangan sepanjang malam, bila si-jiran setiap akan tidur diiringi lapar (al Hadist).

Semestinya di pahami apa yang terkandung dalam kalimat-kalimat sederhana, menyesuaikan ikrar dengan ucapan, menyelaraskan perencanaan dengan pelaksanaan, menyamakan harapan dengan kenyataan, memerlukan kesungguhan gerak disamping gagasan. Apa yang diucapkan oleh lidah dan tergores dalam hati dapat dijadikan bimbingan untuk menerjemahkan kesetiaan kepada kalangan bawah (dhu’afak) kaum lemah melalaui perlakuan nyata dalam amal perbuatan.

Tujuan akhir yang lebih mulia adalah mencari keridhaan Allah jua, Moga-moga, Amin.

Proses mempertinggi kesejahteraan hidup dhu’afak, adalah rangkaian gerbong yang erat terkait dengan proses pembangunan ekonomi bangsa. Proces geraknya bisa dipercepat. Ada undang-undang bajanya sendiri, yang tak dapat tidak, harus dijalani, yang umumnya bersifat natuurlijk (alami dan sunnatullah), yaitu faktor manusia yang terikat erat dengan adat kebiasaan. Karena sering dilupakan, akhir kesudahannya menanggung akibat-akibat yang mengecewakan.

Andai kata faktor kebiasaan masyarakat sengaja dilupakan maka nasibnya tak ubah dari nasib induk ayam menetaskan telor itik. Akibat langsung adakalanya program tidak jalan, pemborosan disegala sektor, malah didapati tindakan yang wasted (mubazir).

Dalam setiap proses pembangunan keummatan (ummatisasi) tidak selalu harus ditilik dari sudut efisiensi dan rendemen ekonomis semata, tetapi perlu ada pemahaman mendalam kedalam lubuk hati serta kemauan pada diri ummat secara individu ataupun kelompok yang akan dibawa serta dalam proses pembangunan itu..

Agama Islam berdasar al Quran berperan multifungsi, “mengeluarkan manusia dari sisi gelap kealam terang cahaya (nur). Bila Islam tidak diamalkan dari inti nilai-nilai dasar (basic of value) Dinul Islam, atau hanya sebatas kulit luar berupa ritual ceremonial, maka ummat ini tidak akan berkemampuan bertarung di tengah perkembangan dunia global pada abad keduapuluh satu mendatang. Masyarakat yang lalai senang menerima, suka menampung dan menagih apa-apa yang tidak diberikan orang, cenderung menjadi bangsa pengemis yang kesudahannya membawa bangsa ini bertungkus lumus (terjerumus) kepada penggadaian menjual diri, dan tampillah pelecehan nilai-nilai bangsa.

Dinul Islam menyimpan rahasia besar “gerakkan tanganmu, Allah akan menurunkan untukmu rezeki”[1]. Nilai ajaran dinul Islam melahirkan masyarakat proaktif menghadapi berbagai keadaan sebagai suatu realitas perbaikan kearah peningkatan mutu masyarakat. Abad kedepan akan banyak berperan masyarakat berbasis ilmu pengetahuan (knowledge base society), berbasis budaya (culture base sociaty) dan berbasis agama (religious base society). Peran terbesar para intelektual aktif menata ulang masyarakat dengan nilai-nilai kehidupan berketuhanan dan bertamaddun sebagai mata rantai tadhamun al Islami (modernisasi, pengenalan Islam ketengah peradaban manusia). Peran ini penting untuk menggiring masyarakat Indonesia ini menuju masyarakat madaniyah (maju, beradab). [2]

Kemerosotan nilai-nilai ini menjadi penyebab berjangkitnya penyakit mental yang kronis, hilangnya pegangan hidup, kaburnya kebahagian yang di dambakan, Ilmu pengetahuan, sains, teknologi yang dikejar-kejar dengan mengorbankan banyak materi, tidak jarang memenjarakan manusia dalam kekosongan jiwa yang akut.

Keberhasilan kemajuan materi dan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi ini, dibarengi hilangnya pegangan hidup berujung dengan kehidupan kehilangan arah. Kesudahannya, terperosok kedalam lingkaran tak berujung pangkal (viceuse circle) ditengah siklus materialis individualis (dahriyyin) akhirnya berkembang menjadi sekuler atheistis.

Suatu individu bahkan kelompok yang kehilangan pegangan hidup, walau secara lahiriyah kaya materi tetapi miskin mental spiritual, ber-peluang besar terperosok kedalam tingkah yang tidak mencerminkan nilai-nilaii kemanusiaan. Kerapkali pula terperangkap kepada menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan sendiri, dan berperan aktif menukar nilai kehidupan diluar nilai kemanusiaan. Ironis dan tragis, apalagi kalau menjangkiti kelompok umat yang disebut muslim pula.

Pikiran yang hanya terfokus kepada pencemaran lingkungan ekosistim, dengan melupakan pencemaran nilai ruhaniah manusia akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup manusia. Kurangnya perhatian kepada perusakan lingkungan moral dan akhlak manusia, justru sangat berperan lebih merusak generasi manusia itu. Bahayanya lebih parah dari kerusakan lingkungan (ekosistim). Perusakan lingkungan moral hanya dapat diantisipasi dengan kembali kepada paradigma tauhid. [3]

Maksimalisasi dari seluruh daya pikir, daya cipta, daya upaya, adalah modal dasar yang secara adil dimiliki setiap manusia yang hidup. Modal dasar ini perlu diasah dengan ilmu pengetahuan dan perlu diasuh dengan kecermatan dan kerajinan, serta terjauh dari watak syaithaniyah yaitu lalai, lengah dan angkuh (sombong). Dinamisasi sikap hidup berlandaskan keyakinan tauhid akan sangat menentukan bentuk-bentuk lahir maupun bathin dari karya-karya (amal) manusia. Motivasi dari amaliah ini bertumpu kepada paradigma tauhid yang benar.

Menempatkan tauhid sebagai landasan berpikir, beramal, bertindak, serta menjadikan paradigma tauhid ini sebagai pijakan, dalam seluruh aspek kehidupan, politik, ekonomi, sosial, budaya, akan terjalinkan hubungan vertikal yang substansial langgeng berketerusan (sustained) antara makhluk dengan Khalik. Secara aktual tampak pada gerak yang ikhlas, prilaku tawadhuk, upaya yang tawakkal dan amalan usaha mencari redha Allah.

Paradigma tauhid, merupakan suatu gelombang revolusi keyakinan dalam menghadapi kenyataan-kenyataan hidup manusia yang multi aspek, telah di gulirkan oleh Nabi Muhammad Rasulullah SAW. Sebenarnya, hasil utama dari revolusi paradigma Laa ilaha illa Allah, senyatanya yang mampu mewujudkan “rahmatan lil-‘alamin”, atau tatanan kebahagian dan rahmat untuk seluruh alam ini. Insya Allah.



[1] Ungkapan Umar bin Khattab RA, kepada seorang pemuda yang hanya mendoa dibawah naungan Ka’bah adalah;Harrik yadaka unzil ‘alaika ar-rizqa”. (al atsar).

[2] Sebagai catatan, kata-kata madani belum ada dalam kamus bahasa Indonesia. Bukan berarti bahwa masyarakat madani adalah “masyarakat yang belum ada dalam kamus”. Atau masyarakat guyon, madaniyee. Mada, berarti bengal, tak mau di ajar, bhs.Minang, atau “pahit” bhs Kawi. Tetapi, masyarakat Madani adalah masyarakat maju dengan basic ilmu pengetahuan, kultur dan agama (Akidah tauhid) yang benar.

[3] Nabi Muhammad SAW, mengingatkan perintah Allah Yang Maha Menjadikan “Janganlah berbuat perusakan (fasad) di bumi, Allah tidak suka kepada pembuat kerusakan” (al Quran).