Jumat, 09 Mei 2008

Akidah Tauhid Sumber Kekuatan di Minangkabau

AQIDAH TAUHID DAN UKHUWWAH ISLAMIYAH
SUMBER KEKUATAN DI MINANGKABAU


Oleh : H. Mas’oed Abidin


Goresan sejarah membuktikan bahwa kekerabatan yang mendalam itu, telah memberi kekuatan melaksanakan da'wah amar ma'ruf nahi munkar, ditengah berbagai tekanan dan pemaksaan kehendak.


Di Bukittinggi (Fort de Kock), pada tanggal 19 Agustus 1928 berlangsung satu rapat besar "Majlis Permusyawara¬tan Ulama Minangkabau" pertama. Dihadiri 800 ulama ulama, dan 200 utusan utusan dari 115 Persyarikatan Ummat Islam di Minangkabau.

Musyawarah Besar Minangkabau ini menelorkan MOSI MENOLAK GURU ORDONANSI 1925 yang terkenal itu.

Tiga bulan berikut, 3 - 4 Nopember 1928, di tempat yang sama, Surau Inyiak Jambek, berlangsung lagi Permusyawaratan Ulama Mingakabau Kedua.
Jumlah yang hadir lebih banyak,1500 orang.
Inilah buah dari keakraban iman.


Mungkin di waktu peristiwa besar itu, sebagian besar dari kita belum lahir.
Namun dapat membaca kembali di dalam buku PERINGATAN (Verslag) dari Majelis Permusyawaratan Oelama Minangkabau, dikumpulkan oleh A. 'Imran Djamil dan H. Abdul Malik Karim (Hamka), diterbitkan oleh Boekhandel en Taman Poestaka "Summatera Thawalib" Fort de Kock, di cetak pada Snelpers Drukkerij Gebr. "LIE" Fort de Kock, 1928.

Disebutkan di dalamnya bahwa para ulama, intelektual dan pemimpin Ummat Islam, Ninik Mamak dan Muslimat di Minangkabau telah biasa berjuang membentengi Adat dan Agama di Minangkabau.

Dapat dibuktikan dengan terbitnya satu Seroean dan Harapan yang ditujukan kepada pemerintah (Penguasa Hindia Belanda) pada tahun 1941.

Seruan itu diterbitkan berkenan dengan undang undang yang dikeluarkan oleh Resident Sumatera Barat ten¬tang "Verordening betreffende vergrijpen tegen de adat" atau "Aturan tentang melanggar adat" yang berdampak menghilangkan "nilai nilai adat itu sendiri".

Yang sangat menarik dari seruan pemimpin ummat Islam Minangkabau (Sumatera Barat) tersebut adalah persatuan yang mereka miliki.

Penanda tanganan seraun itu terdiri dari lima orang ulama besar.
Mereka adalah Syeikh Daoed Rasyidi, Syeik Mohammad Djamil Djambek, Syeik Mohammad Dajmil Djaho, Syeikh Sulaiman ar Rasoeli, dan Syeik Ibrahim Moesa.
Kemudian ada pula lima orang Ninik Mamak Alam Minangkabau, yaitu Dt. Simarajo Simabur Pariangan Padang panjang, Datuk Maharajo Dirajo Batipuh, Datuk Tungga Air Angat, Datuk Bandaro Sati bukit Surungan, dan Datuk Majo Indo Batu Sangkar.
Diperkuat oleh para intelektual, organisator, para pendiri pendidikan, saudagar (pedagang), yang dapat digolongkan cendikiawan di masa itu.
Tokoh tokoh berbobot di zaman itu adalah A.R. St. Mansoer (Muhammadiyah), Anwar (Bank Nasional), S.J. St. Mangkoeto (Bank Moeslimin Indonesia), Rky. Rahmah el Junu¬sijjah (Muslimat, Diniyah Putri), A. Kamil dan Zoelkarnaini (Angkatan Moeda Muhammadiyah yang kemudian dikenal dengan panggilan Buya Zoel.

Ini gambaran nyata dari kuatnya ikatan “tungku tigo sajarangan” atau “tali nan sapilin tigo” di Minangkabau dalam menghadapi sikap arogansi para penjajah ranah bundo.
Hasil nyata dari Seruan bertanggal 1 Januari 1941 itu adalah, Resident Sumatera Barat tidak jadi mengeluarkan undang undang yang membatasi wewenang adat ini. (lihat Typ. Tandikat PP 1941).

Hasil besar ini di perdapat karena adanya satu landasan kuat.
Kekuatan Tauhid, Aqidah Islamiyah yang di dukung oleh persa¬tuan dan Ukhuwah Islamiyah serta rasa kekeluargaan jua adanya.

Soal persatuan dan kesatuan semata mata bukanlah soal ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak hanya semata masalah HAM dan demokratisasi.
Tidak bisa dibantah, bahwa ruh persatuan dan kesatuan itu akan berpengaruh besar bagi perkembangan iptek maupun HAM dan demokratisasi itu.

Persatuan adalah aplikasi dari Tauhid (iman), yang akan mampu melahirkan "persaudaraan".


Bersaudara tumbuh dari adanya Keimanan Kepada Allah.
Sekaligus adalah aplikasi dari Ad Dinul Islam.
Konsekwensinya bila keimanan Tauhid melemah, maka akan hilanglah pula "rasa bersau-dara".

Punahnya rasa bersaudara ini dampaknya ikatan persatuan akan menjadi lemah.
Persatuan yang sesungguhnya tidak bisa di beli dengan uang ataupun materi. Soal persatuan adalah soal hati (qalb).

Tujuan yang akan di capai sebagai khittah yang telah digariskan terpulang kepada nawaitu yang telah diniat¬kan oleh hati.
Di sinilah terdapat kemurnian (pure, kebersihan) amal perbuatan untuk mencapai tujuan sesuai yang diikhlaskan (bersih) hati.

Bukanlah niat kita untuk sekedar membalik balik lembar sejarah dalam memenuhi hasrat nostalgia.
Tujuan kita sudahlah jelas.
Wijhah itu adalah satu.
Yaitu "keridhaan Allah" semata.

Keridhaan Allah itu lah bagi kita yang menjadi motivasi bagi mewujudkan amal nyata "membentuk masyarakat utama" (khaira ummah) yang memotivasi kita untuk memilih berbuat atau tidak berbuat, bahkan memotivasi untuk bertindak dan kalau perlu adamasanya mesti diam.

Mencari keridhaan Allah yang di pegang oleh setiap mukmin, adalah menjadi tujuan hidup dan menjadi tujuan mati, dan menjadi ikatan pemersatu ummat.

Sebelum satu program yang dihasilkan bisa diwujudkan dalam satu langkah oleh satu ummat di dalam Persyarikatan Muhammadiyah, kerja nomor satu adalah menyatukan wijhah yakni keredhaan Allah.

Bukan keredhaan orang lain.
Bukan pula asal aku senang, atau juga tidak karena demi golongan.

Perlu disimak kembali pesan Bapak M. Natsir, "carilah keredhaan Allah Yang Satu, supaya kita dapat bersatu".
Dan Ki Bagus Hadikusumo, 50 tahun silam mengatakan, "jangan cari benda benda bertebaran, nanti kita akan bertebaran lantarannya".
Ini suatu agenda besar bagi "ummat utama", yakni Ummat Muhammad Shallallahu 'alaihi Wassalam.

Apabila perpegangan ini tetap adanya dalam setiap tindak tanduk perjuangan, Insya Allah akan terhindar dari perpecahan (tafarruq) dan terjauh pula dari tanazu' (sikut menyikut).
Yang akan lahir adalah perlombaan sehat dan jujur (fastabiqul khairaat).

Ada lagi yang berbahaya, berobah niat di tengah perjalanan.
Apa yang tadi telah dirumuskan semula menjadi kabur tak terbaca.
Pada awalnya hendak menanam "cinta dan Takut kepada Allah" berubah menjadi "cinta kekuasaan dan takut mati".
Yang diniatkan pada awalnya "dakwah Ilallah" (mengajak ummat utama kepada Allah), berobah tumbuh menjadi "dakwah ghairullah (kepentingan diri, jual tampang untuk aku).

Perbuatan 'aku isme" atau "ananiyah" akan menyuburkan tafarruq dan tanazu' itu.
Ada beberapa tindakan yang mungkin dilakukan segera.

Pertama. Melakukan introspeksi di kalangan kita sendiri.
Mulai dari kelompok yang terkecil, bahkan keluarga.
Masihkah prinsip prinsip utama masih dipertahankan.

Kedua. Masing masing berusaha mengambil inisiatif dan aktif untuk mengikat kembali tali ukhuwah, kekerabatan dan kekeluargaan di antara keluarga tanpa gembar gembor, namun secara jujur dalam mengatasi satu dua persoalan di tengah ummat yang kita pandu.

Ketiga, Memelihara kesempatan kesempatan yang ada dan tersedia dalam melakukan tatanan kekerabatan di tengah "keluarga" kita, dengan memperbesar frekwensi pertukaran fikiran secara informal dalam berbagai masalah ummat, dalam suasana jernih, tenang dan bersih serta tidak berprasangka.

Keempat, Berusaha mencari titik titik pertemuan (kalimatun sawa) di antara kalangan kita, antara kalangan dan pribadi pribadi para intelektual muslim (zu'ama), para pemegang kendali sistim *umara), dan para ikutan ummat utama, para ulama dan aktifis pergerakan baik tua maupun muda, dalam ikatan iakatan yang tidak tegang dan kaku, karena kekuatan terletak pada keluwesan pikiran dan keteguhan prinsip.

Kelima, Menegakkan secara sungguh dan bertanggung jawab Nizhamul Mujtama' (tata hidup bermasyarakat) diatas dasar 'Aqidah Islamiyah dan Syari'ah, dengan memelihara mutu ibadah di kalangan ummat utama, Mu'amalah (sosial, ekonomi, siyasah) dan Akhlak (pemeliharaan tata nilai melelui pendidikan dan kaderisasi yang terarah).

Ummat utama tidak bisa ditegakkan dan di bentengi secara dadakan.
Hanya mungkin dilakukan melalui didikan, latihan, ujian lahir dan bathin, setaraf demi setaraf.
Mengutamakan perbaikan dari dalam.***

Selasa, 06 Mei 2008

Sesudut Perjalanan


Kekeluargaan Matrilineal di Minangkabau


KEKELUARGAAN MATRILINEAL

Oleh : H Mas'oed Abidin

Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan klen dari perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam klen-nya sebagaimana yang berlaku dalam sistem patrilineal. Oleh karena itu, waris dan pusaka diturunkan menurut garis ibu pula.

Menurut Muhammad Radjab (1969) sistem matrilineal mempunyai ciri-cirinya sebagai berikut;
1. Keturunan dihitung menurut garis ibu.
2. Suku terbentuk menurut garis ibu
3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami)
4. Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku
5. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori, terletak di tangan “ibu”, tetapi jarang sekali dipergunakan, sedangkan
6. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya
7. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya
8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.

Sistem kekerabatan ini tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang. Bahkan selalu disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan sistem adatnya. Terutama dalam mekanisme penerapannya di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu peranan seorang penghulu ataupun ninik mamak dalam kaitan bermamak berkemanakan sangatlah penting.

Bahkan peranan penghulu dan ninik mamak itu boleh dikatakan sebagai faktor penentu dan juga sebagai indikator, apakah mekanisme sistem matrilineal itu berjalan dengan semestinya atau tidak.

Jadi keberadaan sistem ini tidak hanya terletak pada kedudukan dan peranan kaum perempuan saja, tetapi punya hubungkait yang sangat kuat dengan institusi ninik mamaknya di dalam sebuah kaum, suku atau klen.
Sebagai sebuah sistem, matrilineal dijalankan berdasarkan kemampuan dan berbagai penafsiran oleh pelakunya; ninik-mamak, kaum perempuan dan anak kemenakan. Akan tetapi sebuah uraian atau perincian yang jelas dari pelaksanaan dari sistem ini, misalnya ketentuan-ketentuan yang pasti dan jelas tentang peranan seorang perempuan dan sanksi hukumnya kalau terjadi pelanggaran, ternyata sampai sekarang belum ada. Artinya tidak dijelaskan secara tegas tentang hukuman jika seorang Minang tidak menjalankan sistem matrilineal tersebut.

Sistem itu hanya diajarkan secara turun temurun kemudian disepakati dan dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya. Namun begitu, sejauh manapun sebuah penafsiran dilakukan atasnya, pada hakekatnya tetap dan tidak beranjak dari fungsi dan peranan perempuan itu sendiri. Hal seperti dapat dianggap sebagai sebuah kekuatan sistem tersebut yang tetap terjaga sampai sekarang.

Pada dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau memperkuat peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk menjaga, melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang, tanah pusaka dan sawah ladang.

Bahkan dengan adanya hukum faraidh dalam pembagian harta menurut Islam, harta pusaka kaum tetap dilindungi dengan istilah “pusako tinggi”, sedangkan harta yang boleh dibagi dimasukkan sebagai “pusako randah”.

Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau tempat penyimpanan. Itulah sebabnya dalam penentuan peraturan dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak.

Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak untuk mengatur dan mempertahankannya.

Perempuan tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak. Perempuan Minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka tidak memerlukan emansipasi lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan gender, karena sistem matrilineal telah menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan perempuan.

Para ninik-mamak telah membuatkan suatu “aturan permainan” antara laki-laki dan perempuan dengan hak dan kewajiban yang berimbang antar sesamanya.

Oleh karena itulah institusi ninik-mamak menjadi penting dan bahkan sakral bagi kemenakan dan sangat penting dalam menjaga hak dan kewajiban perempuan. Keadaan seperti ini sudah berlangsung lama, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala plus minusnya.

Keunggulan dari sistem ini adalah, dia tetap bertahan walau sistem patrilineal juga diperkenalkan oleh Islam sebagai sebuah sistem kekerabatan yang lain pula. Sistim matrilieal tidak hanya jadi sebuah “aturan” saja, tetapi telah menjadi semakin kuat menjadi suatu budaya, way of live, kecenderungan yang paling dalam diri dari setiap orang Minangkabau.

Sampai sekarang, pada setiap individu laki-laki Minang misalnya, kecenderungan mereka menyerahkan harta pusaka, warisan dari hasil pencahariannya sendiri, yang seharusnya dibagi menurut hukum faraidh kepada anak-anaknya, mereka lebih condong untuk menyerahkannya kepada anak perempuannya.

Anak perempuan itu nanti menyerahkan pula kepada anak perempuannya pula. Begitu seterusnya. Sehingga Tsuyoshi Kato dalam disertasinya menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat dalam diri orang-orang Minang walaupun mereka telah menetap di kota-kota di luar Minang sekalipun. Sistem matrilineal tampaknya belum akan meluntur sama sekali, walau kondisi-kondisi sosial lainnya sudah banyak yang berubah.

Untuk dapat menjalankan sistem itu dengan baik, maka mereka yang akan menjalankan sistem itu haruslah orang Minangkakabu itu sendiri.



Untuk dapat menentukan seseorang itu orang Minangkabau atau tidak, ada beberapa ketentuannya, atau syarat-syarat seseorang dapat dikatakan sebagai orang Minangkabau. Syarat-syarat seseorang dapat dikatakan orang Minangkabau;
1. Basuku (bamamak bakamanakan)
2. Barumah gadang
3. Basasok bajarami
4. Basawah baladang
5. Bapandan pakuburan
6. Batapian tampek mandi

Seseorang yang tidak memenuhi ketentuan tersebut di dalam berkaum bernagari, dianggap “orang kurang” atau tidak sempurna.
Bagi seseorang yang ingin menjadi orang Minang juga dibuka pintunya dengan memenuhi berbagai persyaratan pula.
Dalam istilah inggok mancangkam tabang basitumpu.
Artinya orang itu harus masuk ke dalam sebuah kaum atau suku, mengikuti seluruh aturan-aturannya.

Ada beberapa aspek penting yang diatur dalam sistem matrilienal.
Pengaturan harta pusaka
Harta pusaka yang dalam terminologi Minangkabau disebut harato jo pusako.
Harato adalah sesuatu milik kaum yang tampak dan ujud secara material seperti sawah, ladang, rumah gadang, ternak dan sebagainya.
Pusako adalah sesuatu milik kaum yang diwarisi turun temurun baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Oleh karena itu di Minangkabau dikenal pula dua kata kembar yang artinya sangat jauh berbeda; sako dan pusako.

1. Sako
Sako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang tidak berbentuk material, seperti gelar penghulu, kebesaran kaum, tuah dan penghormatan yang diberikan masyarakat kepadanya. Sako merupakan hak bagi laki-laki di dalam kaumnya. Gelar demikian tidak dapat diberikan kepada perempuan walau dalam keadaan apapun juga.
Pengaturan pewarisan gelar itu tertakluk kepada sistem kelarasan yang dianut suku atau kaum itu.

Jika menganut sistim kelarasan Koto Piliang, maka sistem pewarisan sakonya berdasarkan; patah tumbuah. Artinya, gelar berikutnya harus diberikan kepada kemenakan langsung dari si penghulu yang memegang gelar itu. Gelar demikian tidak dapat diwariskan kepada orang lain dengan alasan papun juga. Jika tidak ada laki-laki yang akan mewarisi, gelar itu digantuang atau dilipek atau disimpan sampai nanti kaum itu mempunyai laki-laki pewaris.

Jika menganut sistem kelarasan Bodi Caniago, maka sistem pewarisan sakonya berdasarkan hilang baganti. Artinya, jika seorang penghulu pemegang gelar kebesaran itu meninggal, dia dapat diwariskan kepada lelaki di dalam kaum berdasarkan kesepakatan bersama anggota kaum itu. Pergantian demikian disebut secara adatnya gadang balega.

Di dalam halnya gelar kehormatan atau gelar kepenghuluan (datuk) dapat diberikan dalam tiga tingkatan:
a. Gelar yang diwariskan dari mamak ke kemenakan. Gelar ini merupakan gelar pusaka kaum sebagaimana yang diterangkan di atas. Gelar ini disebut sebagai gelar yang mengikuti kepada perkauman yang batali darah.

b. Gelar yang diberikan oleh pihak keluarga ayah (bako) kepada anak pisangnya, karena anak pisang tersebut memerlukan gelar itu untuk menaikkan status sosialnya atau untuk keperluan lainnya. Gelar ini hanya gelar panggilan, tetapi tidak mempengaruhi konstelasi dan mekanisme kepenghuluan yang telah ada di dalam kaum. Gelar ini hanya boleh dipakai untuk dirinya sendiri, seumur hidup dan tidak boleh diwariskan kepada yang lain; anak apalagi kemenakan. Bila si penerima gelar meninggal, gelar itu akan dijemput kembali oleh bako dalam sebuah upacara adat. Gelar ini disebut sebagai gelar yang berdasarkan batali adat.

c. Gelar yang diberikan oleh raja Pagaruyung kepada seseorang yang dianggap telah berjasa menurut ukuran-ukuran tertentu. Gelar ini bukan gelar untuk mengfungsinya sebagai penghulu di dalam kaumnya sendiri, karena gelar penghulu sudah dipakai oleh pengulu kaum itu, tetapi gelaran itu adalah merupakan balasan terhadap jasa-jasanya. Gelaran ini disebut secara adat disebabkan karena batali suto. Gelar ini hanya boleh dipakai seumur hidupnya dan tidak boleh diwariskan. Bila terjadi sesuatu yang luar biasa, yang dapat merusakkan nama raja, kaum, dan nagari, maka gelaran itu dapat dicabut kembali.

2. Pusako
Pusako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang berbentuk material, seperti sawah, ladang, rumah gadang dan lainnya.
Pusako dimanfaatkan oleh perempuan di dalam kaumnya.
Hasil sawah, ladang menjadi bekal hidup perempuan dengan anak-anaknya.
Rumah gadang menjadi tempat tinggalnya.
Laki-laki berhak mengatur tetapi tidak berhak untuk memiliki.

Karena itu di Minangkabau kata hak milik bukanlah merupakan kata kembar, tetapi dua kata yang satu sama lain artinya tetapi berada dalam konteks yang sama.
Hak dan milik.
Laki-laki punya hak terhadap pusako kaum, tetapi dia bukan pemilik pusako kaumnya.
Dalam pengaturan pewarisan pusako, semua harta yang akan diwariskan harus ditentukan dulu kedudukannya.

'Kedudukan harta pusaka itu terbagi dalam;

a. Pusako tinggi.
Harta pusaka kaum yang diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis ibu.
Pusaka tinggi hanya boleh digadaikan bila keadaan sangat mendesak sekali hanya untuk tiga hal saja;
pertama, gadih gadang indak balaki,
kedua, maik tabujua tangah rumah,
ketiga, rumah gadang katirisan.
Selain dari ketiga hal di atas harta pusaka tidak boleh digadaikan apalagi dijual.

b. Pusako randah.
Harta pusaka yang didapat selama perkawinan antara suami dan istri.
Pusaka ini disebut juga harta bawaan, artinya modal dasarnya berasal dari masing-masing kaum.
Pusako randah diwariskan kepada anak, istri dan saudara laki-laki berdasarkan hukum faraidh, atau hukum Islam.
Namun dalam berbagai kasus di Minangkabau, umumnya, pusako randah ini juga diserahkan oleh laki-laki pewaris kepada adik perempuannya.
Tidak dibaginya menurut hukum faraidh tersebut. Inilah mungkin yang dimaksudkan Tsuyoshi Kato bahwa sistem matrilineal akan menguat dengan adanya keluarga batih.
Karena setiap laki-laki pewaris pusako randah akan selalu menyerahkan harta itu kepada saudara perempuannya.
Selanjutanya saudara perempuan itu mewariskan pula kepada anak perempuannya.
Begitu seterusnya.
Akibatnya, pusako randah pada mulanya, dalam dua atau tiga generasi berikutnya menjadi pusako tinggi pula.

Peranan laki-laki
Kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam adat Minangkabau berada dalam posisi seimbang.
Laki-laki punya hak untuk mengatur segala yang ada di dalam perkauman, baik pengaturan pemakaian, pembagian harta pusaka, perempuan sebagai pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu untuk keperluannya anak beranak.
Peranan laki-laki di dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus dijalankannya dengan seimbang dan sejalan.

1. Sebagai kemenakan
Di dalam kaumnya, seorang laki-laki bermula sebagai kemenakan (atau dalam hubungan kekerabatan disebutkan; ketek anak urang, lah gadang kamanakan awak).
Sebagai kemenakan dia harus mematuhi segala aturan yang ada di dalam kaum.
Belajar untuk mengetahui semua aset kaumnya dan semua anggota keluarga kaumnya.
Oleh karena itu, ketika seseorang berstatus menjadi kemenakan, dia selalu disuruh ke sana ke mari untuk mengetahui segala hal tentang adat dan perkaumannya.
Dalam kaitan ini, peranan Surau menjadi penting, karena Surau adalah sarana tempat mempelajari semua hal itu baik dari mamaknya sendiri maupun dari orang lain yang berada di surau tersebut.

Dalam menentukan status kemenakan sebagai pewaris sako dan pusako, anak kemenakan dikelompokan menjadi tiga kelompok:
a. Kemenakan di bawah daguak
b. Kemenakan di bawah pusek
c. Kemenakan di bawah lutuik

Kemenakan di bawah daguak adalah penerima langsung waris sako dan pusako dari mamaknya.
Kemenakan di bawah pusek adalah penerima waris apabila kemenakan di bawah daguak tidak ada (punah). Kemenakan di bawah lutuik, umumnya tidak diikutkan dalam pewarisan sako dan pusako kaum.

2. Sebagai mamak
Pada giliran berikutnya, setelah dia dewasa, dia akan menjadi mamak dan bertanggung jawab kepada kemenakannya.
Mau tidak mau, suka tidak suka, tugas itu harus dijalaninya.
Dia bekerja di sawah kaumnya untuk saudara perempuannya anak-beranak yang sekaligus itulah pula kemenakannya.
Dia mulai ikut mengatur, walau tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan mamaknya yang lebih tinggi, yaitu penghulu kaum.

3. Sebagai penghulu
Selanjutnya, dia akan memegang kendali kaumnya sebagai penghulu.
Gelar kebesaran diberikan kepadanya, dengan sebutan datuk.
Seorang penghulu berkewajiban menjaga keutuhan kaum, mengatur pemakaian harta pusaka.
Dia juga bertindak terhadap hal-hal yang berada di luar kaumnya untuk kepentingan kaumnya.
Setiap laki-laki terhadap kaumnya selalu diajarkan; kalau tidak dapat menambah (maksudnya harta pusaka kaum), jangan mengurangi (maksudnya, menjual, menggadai atau menjadikan milik sendiri).

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa peranan seorang laki-laki di dalam kaum disimpulkan dalam ajaran adatnya; Tagak badunsanak mamaga dunsanak Tagak basuku mamaga suku Tagak ba kampuang mamaga kampuang Tagak ba nagari mamaga nagari

4. Peranan di luar kaum
Selain berperan di dalam kaum sebagai kemanakan, mamak atau penghulu, seorang anak lelaki setelah dia kawin dan berumah tangga, dia mempunyai peranan lain sebagai tamu atau pendatang di dalam kaum isterinya.
Artinya di sini, dia sebagai duta pihak kaumnya di dalam kaum istrinya, dan istri sebagai duta kaumnya pula di dalam kaum suaminya.
Satu sama lain harus menjaga kesimbangan dalam berbagai hal, termasuk perlakuan-perlakuan terhadap anggota kaum kedua belah pihak.

Di dalam kaum istrinya, seorang laki-laki adalah sumando (semenda).

Sumando ini di dalam masyarakat Minangkabau dibuatkan pula beberapa kategori;
a. Sumando ninik mamak. Artinya, semenda yang dapat ikut memberikan ketenteraman pada kedua kaum; kaum istrinya dan kaumnya sendiri. Mencarikan jalan keluar terhadap sesuatu persoalan dengan sebijaksana mungkin. Dia lebih berperan sebagai seorang yang arif dan bijaksana.

Dua sifat berikut ini tidak boleh dipakai.
b. Sumando kacang miang. Artinya, sumando yang membuat kaum istrinya menjadi gelisah karena dia memunculkan atau mempertajam persoalan-persoalan yang seharusnya tidak dimunculkan. Sikap seperti ini tidak boleh dipakai.
c. Sumando lapik buruk. Artinya, sumando yang hanya memikirkan anak istrinya semata tanpa peduli dengan persoalan-persoalan lainnya. Dikatakan juga sumando seperti seperti sumando apak paja, yang hanya berfungsi sebagai tampang atau bibit semata. Sikap seperti ini juga tidak boleh dipakai dan harus dijauhi.

Sumando tidak punya kekuasan apapun di rumah istrinya, sebagaimana yang selalu diungkapkan dalam pepatah petitih; Sadalam-dalam payo Hinggo dado itiak Sakuaso-kuaso urang sumando Hinggo pintu biliak

Peranan sumando yang baik dikatakan; Rancak rumah dek sumando Elok hukum dek mamaknyo

Kaum dan Pesukuan Orang Minangkabau yang berasal dari satu keturunan dalam garis matrilineal merupakan anggota kaum dari keturunan tersebut.
Di dalam sebuah kaum, unit terkecil disebut samande.
Yang berasal dari satu ibu (mande). Unit yang lebih luas dari samande disebut saparuik.
Maksudnya berasal dari nenek yang sama.

Kemudian saniniak maksudnya adalah keturunan nenek dari nenek.
Yang lebih luas dari itu lagi disebut sakaum. Kemudian dalam bentuknya yang lebih luas, disebut sasuku. Maksudnya, berasal dari keturunan yang sama sejak dari nenek moyangnya.

Suku artinya seperempat atau kaki.
Jadi, pengertian sasuku dalam sebuah nagari adalah seperempat dari penduduk nagari tersebut.
Karena, dalam sebuah nagari harus ada empat suku besar.

Padamulanya suku-suku itu terdiri dari Koto, Piliang, Bodi dan Caniago.
Dalam perkembangannya, karena bertambahnya populasi masyarakat setiap suku, suku-suku itupun dimekarkan.

Koto dan Piliang berkembang menjadi beberapa suku; Tanjuang, Sikumbang, Kutianyir, Guci, Payobada, Jambak, Salo, Banuhampu, Damo, Tobo, Galumpang, Dalimo, Pisang, Pagacancang, Patapang, Melayu, Bendang, Kampai, Panai, Sikujo, Mandahiliang, Bijo dll.

Bodi dan Caniago berkembang menjadi beberapa suku; Sungai Napa, Singkuang, Supayang, Lubuk Batang, Panyalai, Mandaliko, Sumagek dll.

Dalam majlis peradatan keempat pimpinan dari suku-suku ini disebut urang nan ampek suku.
Dalam sebuah nagari ada yang tetap dengan memakai ampek suku tapi ada juga memakai limo suku, maksudnya ada nama suku lain; Malayu yang dimasukkan ke sana.

Sebuah suku dengan suku yang lain, mungkin berdasarkan sejarah, keturunan atau kepercayaan yang mereka yakini tentang asal sulu mereka, boleh jadi berasal dari perempuan yang sama.
Suku-suku yang merasa punya kaitan keturunan ini disebut dengan sapayuang.
Dari beberapa payuang yang juga berasal sejarah yang sama, disebut sahindu.
Namun, yang lazim dikenal dalam berbagai aktivitas sosial masyarakat Minangkabau adalah; sasuku dan sapayuang saja.
Sebuah kaum mempunyai keterkaitan dengan suku-suku lainnya, terutama disebabkan oleh perkawinan.
Oleh karena itu kaum punya struktur yang umumnya dipakai oleh setiap suku;

Struktur di dalam kaum
Di dalam sebuah kaum, strukturnya sebagai berikut;
a. Mamak yang dipercaya sebagai pimpinan kaum yang disebut Penghulu bergelar datuk.
b. Mamak-mamak di bawah penghulu yang dipercayai memimpin setiap rumah gadang, karena di dalam satu kaum kemungkinan rumah gadangnya banyak.

Mamak-mamak yang mempimpin setiap rumah gadang itu disebut; tungganai.
Seorang laki-laki yang memikul tugas sebagai tungganai rumah pada beberapa suku tertentu mereka juga diberi gelar datuk.
Di bawah tungganai ada laki-laki dewasa yang telah kawin juga, berstatus sebagai mamak biasa.
Di bawah mamak itulah baru ada kemenakan.

Struktur dalam kaitannya dengan suku lain.
Akibat dari sistem matrilienal yang mengharuskan setiap anggota suku harus kawin dengan anggota suku lain, maka keterkaitan akibat perkawinan melahirkan suatu struktur yang lain, struktur yang mengatur hubungan anggota sebuah suku dengan suku lain yang terikat dalam tali perkawinan tersebut.

a. Induk bako anak pisang
Induak bako anak pisang merupakan dua kata yang berbeda; induak bako dan anak pisang. Induak bako adalah semua ibu dari keluarga pihak ayah. Bako adalah semua anggota suku dari kaum pihak ayah. Induak bako punya peranan dan posisi tersendiri di dalam sebuah kaum pihak si anak.

b. Andan pasumandan
Andan pasumandan juga merupakan dua kata yang berbeda; andan dan pasumandan. Pasumandan adalah pihak keluarga dari suami atau istri. Suami dari rumah gadang A yang kawin dengan isteri dari rumah gadang B, maka pasumandan bagi isteri adalah perempuan yang berada dalam kaum suami. Sedangkan andan bagi kaum rumah gadang A adalah anggota kaum rumah gadang C yang juga terikat perkawinan dengan salah seorang anggota rumah gadang

Bundo Kanduang
Dalam masyarakat Minangkabau dewasa ini kata Bundo Kanduang mempunyai banyak pengertian pula, antara lain;
a) Bundo kanduang sebagai perempuan utama di dalam kaum, sebagaimana yang dijelaskan di atas.
b) Bundo Kanduang yang ada di dalam cerita rakyat atau kaba Cindua Mato. Bundo Kanduang sebagai raja Minangkabau atau raja Pagaruyung.
c) Bundo kanduang sebagai ibu kanduang sendiri.
d) Bundo kanduang sebagai sebuah nama organisasi perempuan Minangkabau berdampingan LKAAM.

Bundo kanduang yang dimaksudkan di dalam adat adalah Bundo Kanduang sebagai perempuan utama.
Bundo kanduang sebagai perempuan utama.
Apabila ibu atau tingkatan ibu dari mamak yang jadi penghulu masih hidup, maka dialah yang disebut Bundo Kanduang, atau mandeh atau niniek.
Dialah perempuan utama di dalam kaum itu.

Budaya Minangkabau dalam adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” menempatkan perempuan pada posisi peran.
Kadangkala dijuluki dengan sebutan;
~ orang rumah (hiduik batampek, mati bakubua, kuburan hiduik dirumah gadang, kuburan mati ditangah padang),
~ induak bareh (nan lamah di tueh, nan condong di tungkek, ayam barinduak, siriah bajunjuang),
~ pemimpin (tahu di mudharat jo manfaat, mangana labo jo rugi, mangatahui sumbang jo salah, tahu di unak kamanyangkuik, tahu di rantiang ka mancucuak, ingek di dahan ka mahimpok, tahu di angin nan basiruik, arih di ombak nan basabuang, tahu di alamat kato sampai),

Pemahamannya berarti perempuan Minang sangat arif, mengerti dan tahu dengan yang pantas dan patut, menjadi asas utama kepemipinan di tengah masyarakat.

Anak Minangkabau memanggil ibunya dengan bundo karena perempuan Minangkabau umumnya menjaga martabat,
(1). Hati-hati (watak Islam khauf), ingek dan jago pado adat, ingek di adat nan ka rusak, jago limbago nan kasumbiang,
(2). Yakin kepada Allah (iman bertauhid), jantaruah bak katidiang, jan baserak bak amjalai, kok ado rundiang ba nan batin, patuik baduo jan batigo, nak jan lahie di danga urang.
(3). Perangai berpatutan (uswah istiqamah), maha tak dapek di bali, murah tak dapek dimintak, takuik di paham ka tagadai, takuik di budi katajua,
(4). Kaya hati (Ghinaun nafs), sopan santun hemat dan khidmat,
(5). Tabah (redha), haniang ulu bicaro, naniang saribu aka, dek saba bana mandatang,
(6). Jimek (hemat tidak mubazir), dikana labo jo rugi, dalam awal akia membayang, ingek di paham katagadai, ingek di budi katajua, mamakai malu dengan sopan.

Dalam ungkapan sehari-hari, perempuan Minang disebut pula padusi artinya padu isi dengan lima sifat utama; (a). benar,
(b). jujur lahir batin,
(c). cerdik pandai,
(d). fasih mendidik dan terdidik,
(e). bersifat malu (Rarak kalikih dek mindalu, tumbuah sarumpun jo sikasek, kok hilang raso jo malu, bak kayu lungga pangabek.

Selanjutnya, Anak urang Koto Hilalang, Handak lalu ka Pakan Baso, malu jo sopan kalau lah hilang, habihlah raso jo pareso, artinya didalam kebenaran Islam, al hayak nisful iman = malu adalah paruhan dari Iman.

Falsafah hidup beradat mendudukkan perempuan Minang pada sebutan bundo kandung menjadi limpapeh rumah nan gadang, umbun puro pegangan kunci, umbun puruak aluang bunian, hiasan di dalam kampuang, sumarak dalam nagari, nan gadang basa batauah, kok hiduik tampek ba nasa, kalau mati tampek ba niaik, ka unduang-unduang ka madinah, ka payuang panji ka sarugo.

Ungkapan ini sesungguhnya amat jelas mendudukkan betapa kokohnya perempuan Minang pada posisi sentral, menjadi pemilik seluruh kekayaan, rumah, anak, suku bahkan kaum, dan kalangan awam di nagari dan taratak menggelarinya dengan “biaiy, mandeh”, menempatkan laki-laki pada peran pelindung, pemelihara dan penjaga harta dari perempuan-nya dan anak turunannya.

Dalam siklus ini generasi Minangkabau lahir bernasab ayah (laki-laki), bersuku ibu (perempuan), bergelar mamak (garis matrilineal), memperlihatkan egaliternya suatu persenyawaan budaya dan syarak yang indah.(2)

Kebenaran Agama Islam menempatkan perempuan (ibu) mitra setara (partisipatif) dan lelaki menjadi pelindung wanita (qawwamuuna 'alan‑nisaa'), karena kelebihan pada kekuatan, badan, fikiran, keluasaan, penalaran, kemampuan, ekonomi, kecerdasan, ketabahan, kesigapan dan anugerah (QS. An Nisa' 34).

Perempuan dibina menjadi mar'ah shalihah (= perempuan shaleh yang ceria dan lembut, menjaga diri, memelihara kehormatan, patuh (qanitaat) kepada Allah, hafidzaatun lil ghaibi bimaa hafidzallahu (= memelihara kesucian faraj di belakang pasangannya, karena Allah menempatkan faraj dan rahim perempuan terjaga, maka tidak ada keindahan yang bisa melebihi perhiasan atau tampilan "indahnya wanita shaleh" (Al Hadist). Kodrat perempuan memiliki peran ganda; penyejuk hati dan pendidik utama, menempatkan sorga terhampar dibawah telapak kaki perempuan (ibu, ummahat).

Kebenaran Agama Islam menempatkan perempuan (ibu) mitra setara (partisipatif) dan lelaki menjadi pelindung wanita (qawwamuuna 'alan‑nisaa'), karena kelebihan pada kekuatan, badan, fikiran, keluasaan, penalaran, kemampuan, ekonomi, kecerdasan, ketabahan, kesigapan dan anugerah (QS. An Nisa' 34).

Perempuan dibina menjadi mar'ah shalihah (= perempuan shaleh yang ceria dan lembut, menjaga diri, memelihara kehormatan, patuh (qanitaat) kepada Allah, hafidzaatun lil ghaibi bimaa hafidzallahu (= memelihara kesucian faraj di belakang pasangannya, karena Allah menempatkan faraj dan rahim perempuan terjaga, maka tidak ada keindahan yang bisa melebihi perhiasan atau tampilan "indahnya wanita shaleh" (Al Hadist).

Kodrat perempuan memiliki peran ganda; penyejuk hati dan pendidik utama, menempatkan sorga terhampar dibawah telapak kaki perempuan (ibu, ummahat).

Di bawah naungan konsep Islam, perempuan berkepribadian sempurna, bergaul ma'ruf dan ihsan, kasih sayang dan cinta, lembut dan lindung, berkehormatan, berpadu hak dan kewajiban.

Terpatri pada tidak punya arti sesuatu kalau pasangannya tidak ada dan tidak jelas eksistensi sesuatu kalau tidak ada yang setara di sampingnya, inilah kata yang lebih tepat untuk azwajan itu.[1] Secara moral, perempuan punya hak utuh menjadi Ikutan Bagi Umat.

Masyarakat baik lahir dari relasi kemasyarakatan pemelihara tetangga, perekat silaturrahim dan tumbuh dengan pribadi kokoh (exist), karakter teguh (istiqamah, konsisten) dan tegar (shabar, optimis) menapak hidup.

Rohaninya (rasa, fikiran, dan kemauan) dibimbing keyakinan hidayah iman. Jasmaninya (gerak, amal perbuatan) dibina oleh aturan syari'at Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.

شَرَعَ لَكُمْ مِنْ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِه إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ِأَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهَِ

“Allah telah menyari’atkan dasar hidup “ad-din” bagi kamu seperti telah diwasiatkanNya kepada Nuh, dan telah dipesankan kepadamu (Muhammad). Agama yang telah dipesankan kepada Ibrahim, Musa, Isa dengan perintah agar kalian semua mendaulatkan agama ini dan jangan kalian berpecah dari mengikutinya…” (QS.Syura : 13).

Perilaku kehidupan menurut mabda' (konsep) Alquran, bahwa makhluk diciptakan dalam rangka pengabdian kepada Khaliq (QS. 51, Adz Dzariyaat : 56), memberi warning peringatan agar tidak terperangkap kebodohan dan kelalaian sepanjang masa. Manusia adalah makhluk pelupa (Al Hadist).[2]

Tegasnya, seorang Muslim wajib menda'wahkan Islam, menerapkan amar ma'ruf dan nahi munkar (QS. Ali 'Imran :104), dimulai dari diri sendiri, agar terhindar dari celaan (QS. Al Baqarah :44 dan QS. Ash‑Shaf :3). Amar ma'ruf nahi munkar adalah tiang kemashlahatan hidup umat manusia, di dasari dengan Iman billah (QS. Ali 'Imran :110) agar tercipta satu bangunan umat yang berkualitas (khaira ummah).

Maka posisi perempuan atau bundo kanduang di dalam Islam ada dalam bingkai (frame) ini. Perempuan yang disebut bundo anduang dalam kaumnya, mempunyai kekuasaan lebih tinggi dari seorang penghulu karena dia setingkat ibu, atau ibu penghulu itu betul. Dia dapat menegur penghulu itu apabila si penghulu melakukan suatu kekeliruan. Perempuan-perempuan setingkat mande di bawahnya, apabila dia dianggap lebih pandai, bijak dan baik, diapun sering dijaikan perempuan utama di dalam kaum.

Secara implisit tampaknya, perempuan utama di dalam suatu kaum, adalah semacam badan pengawasan atau lembaga kontrol dari apa yang dilakukan seorang penghulu.

Catatan :

[1] Dalam Ajaran Islam, penghormatan kepada Ibu menempati urutan kedua sesudah iman kepada Allah (konsep tauhidullah). Bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada Ibu, diwasiatkan sejalan untuk seluruh manusia. Penghormatan kepada Ibu (perempuan) menjadi disiplin hidup yang tidak boleh diabaikan. Disiplin ini tidak dibatas oleh adanya perbedaan anutan keyakinan. Hubungan hidup duniawi wajib dipelihara baik dengan jalinan ihsan (lihat QS. 31, Luqman : 14-15). Universalitas (syumuliyah) Alquran menjawab tantangan zaman (QS. Al Baqarah, 2 dan 23) dengan menerima petunjuk berasas taqwa (memelihara diri), tidak ragu kepada Alquran menjiwai hidayah, karena Allahul Khaliqul 'alam telah menciptakan alam semesta amat sempurna, tidak ditemui mislijk kesiasiaan (QS. 3, Ali 'Imran, ayat 191), diatur dengan lurus (hanif) sesuai fithrah yang tetap (QS. 30, Ar Rum, ayat 30) dalam perangkat natuur‑wet atau sunnatullah yang tidak berjalan sendiri, saling terkait agar satu sama lain tidak berbenturan. Kandungan nilai pendidikan dan filosofi ini terikat kokoh kasih sayang, hakikinya semua datang dan terjadi karena Rahman dan RahimNya dan akan berakhir dengan menghadapNya, maka kewajiban asasi insani menjaga diri dan keluarga dari bencana (QS. At Tahrim :6) dengan memakai hidayah religi Alqurani.

[2] "Ibu (an-Nisak) adalah tiang negeri" (al Hadist). Jika kaum perempuan suatu negeri (bangsa) berkelakuan baik (shalihah), niscaya akan sejahtera negeri itu. Sebaliknya, bila berperangai fasad akibatnya negeri itu akan binasa seluruhnya. Banyak hadist Nabi menyatakan pentingnya pemeliharaan hubungan bertetangga, menanamkan sikap peduli, berprilaku mulia, solidaritas tinggi dalam kehidupan keliling dan memelihara citra diri. "Demi Allah, dia tidak beriman”, "Siapakah dia wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Yaitu, orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatan-kejahatannya". (Hadist diriwayatkan Asy-Syaikhan). Pentingnya pendidikan akhlak Islam, “Satu bangsa akan tegak kokoh dengan akhlak (moralitas budaya dan ajaran agama yang benar)”. Tata krama pergaulan dimulai dari penghormatan kepada perempuan (ibu) dan rumah tangga, dikembangkan kelingkungan tetangga dan ketengah pergaulan warga masyarakat (bangsa), sesuai QS.41, Fush-shilat, ayat 34.

Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Draft : Subangan Pikiran untuk Kompilasi ABSSBK, oleh BuyaHMA;-.[…]

MINANGKABAU DAN SISTIM KEKERABATAN
Hubungan Kekeluargaan Minangkabau, bersuku ke ibu, bersako ke mamak, dan bernasab ke ayah

Oleh : H Mas’oed Abidin

MINANGKABAU DALAM SEJARAH DAN TAMBO
1. Asal usul manusia Minangkabau
Kata Minangkabau mengandung banyak pengertian. Minangkabau dipahamkan sebagai sebuah kawasan budaya, di mana penduduk dan masyarakatnya menganut budaya Minangkabau. Kawasan budaya Minangkabau mempunyai daerah yang luas. Batasan untuk kawasan budaya tidak dibatasi oleh batasan sebuah propinsi. Berarti kawasan budaya Minangkabau berbeda dengan kawasan administratif Sumatera Barat.
Minangkabau dipahamkan pula sebagai sebuah nama dari sebuah suku bangsa, suku Minangkabau. Mempunyai daerah sendiri, bahasa sendiri dan penduduk sendiri.

Minangkabau dipahamkan juga sebagai sebuah nama kerajaan masa lalu, Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung. Sering disebut juga kerajaan Pagaruyung, yang mempunyai masa pemerintahan yang cukup lama, dan bahkan telah mengirim utusan-utusannya sampai ke negeri Cina. Banyaknya pengertian yang dikandung kata Minangkabau, maka tidak mungkin melihat Minangkabau dari satu pemahaman saja.
Membicarakan Minangkabau secara umum mendalami sebuah suku bangsa dengan latar belakang sejarah, adat, budaya, agama, dan segala aspek kehidupan masyarakatnya. Mengingat hal seperti itu, ada dua sumber yang dapat dijadikan rujukan dalam mengkaji Minangkabau, yaitu sumber dari sejarah dan sumber dari tambo. Kedua sumber ini sama penting, walaupun di sana sini, pada keduanya ditemui kelebihan dan kekurangan, namun dapat pula saling melengkapi.

Menelusuri sejarah tentang Minangkabau, sebagai satu cabang dari ilmu pengetahuan, maka mesti didasarkan bukti-bukti yang jelas dan otentik. Dapat berupa peninggalan-peninggalan masa lalu, prasasti-prasasti, batu tagak (menhir), batu bersurat, naskah-naskah dan catatan tertulis lainnya. Dalam hal ini, ternyata bukti sejarah lokal Minangkabau termasuk sedikit.
Banyak catatan dibuat oleh pemerintahan Hindia Belanda (Nederlandsche Indie), tentang Minaangkabau atau Sumatera West Kunde, yang amat memerlukan kejelian di dalam meneliti. Hal ini disebabkan, catatan-catatan dimaksud dibuat untuk kepentingan pemerintahan Belanda, atau keperluan dagang oleh Maatschappij Koningkliyke VOC.
Tambo atau uraian mengenai asal usul orang Minangkabau dan menerakan hukum-hukum adatnya, termasuk sumber yang mulai langka di wilayah Minangkabau sekarang. Sungguhpun, penelusuran tambo sulit untuk dicarikan rujukan seperti sejarah, namun apa yang disebut dalam tambo masih dapat dibuktikan ada dan bertemu di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Tambo diyakini oleh orang Minangkabau sebagai peninggalan orang-orang tua. Bagi orang Minangkabau, tambo dianggap sebagai sejarah kaum. Walaupun, di dalam catatan dan penulisan sejarah sangat diperhatikan penanggalan atau tarikh dari sebuah peristiwa, serta di mana kejadian, bagaimana terjadinya, bila masanya, dan siapa pelakunya, menjadikan penulisan sejarah otentik. Sementara tambo tidak terlalu mengutamakan penanggalan, akan tetapi menilik kepada peristiwanya. Tambo lebih bersifat sebuah kisah, sesuatu yang pernah terjadi dan berlaku.
Tentu saja, bila kita mempelajari tambo kemudian mencoba mencari rujukannya sebagaimana sejarah, kita akan mengalami kesulitan dan bahkan dapat membingungkan. Sebagai contoh; dalam tambo Minangkabau tidak ditemukan secara jelas nama Adhytiawarman, tetapi dalam sejarah nama itu adalah nama raja Minangkabau yang pertama berdasarkan bukti-bukti prasasti.
Dalam hal ini sebaiknya sikap kita tidak memihak, artinya kita tidak menyalahkan tambo atau sejarah. Sejarah adalah sesuatu yang dipercaya berdasarkan bukti-bukti yang ada, sedangkan tambo adalah sesuatu yang diyakini berdasarkan ajaran-ajaran yang terus diturunkan kepada anak kemenakan.
Minangkabau menurut sejarah
Banyak ahli telah meniliti dan menulis tentang sejarah Minangkabau, dengan pendapat, analisa dan pandangan yang berbeda. Tetapi pada umumnya mereka membagi beberapa periode kesejarahan; Minangkabau zaman sebelum Masehi, zaman Minangkabau Timur dan zaman kerajaan Pagaruyung. Seperti yang ditulis MD Mansur dkk dalam Sejarah Minangkabau, bahwa zaman sejarah Minangkabau pada zaman sebelum Masehi dan pada zaman Minangkabau Timur hanya dua persen saja yang punya nilai sejarah, selebihnya adalah mitologi, cerita-cerita yang diyakini sebagai tambo.

Prof Slamet Mulyana dalam Kuntala, Swarnabhumi dan Sriwijaya mengatakan bahwa kerajaan Minangkabau itu sudah ada sejak abad pertama Masehi.
Kerajaan itu muncul silih berganti dengan nama yang berbeda-beda. Pada mulanya muncul kerjaan Kuntala dengan lokasi sekitar daerah Jambi pedalaman. Kerajaan ini hidup sampai abad ke empat. Kerajaan ini kemudian berganti dengan kerajaan Swarnabhumi pada abad ke lima sampai ke tujuh sebagai kelanjutan kerajaan sebelumnya. Setelah itu berganti dengan kerajaan Sriwijaya abad ke tujuh sampai 14.
Mengenai lokasi kerajaan ini belum terdapat kesamaan pendapat para ahli. Ada yang mengatakan sekitar Palembang sekarang, tetapi ada juga yang mengatakan antara Batang Batang Hari dan Batang Kampar. Candi Muara Takus merupakan peninggalan kerajaan Kuntala yang kemudian diperbaiki dan diperluas sampai masa kerajaan Sriwijaya. Setelah itu muncul kerajaan Malayapura (kerajaan Melayu) di daerah yang bernama Darmasyraya (daerah Sitiung dan sekitarnya sekarang). Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini kemudian dipindahkan oleh Adhytiawarman ke Pagaruyung. Sejak itulah kerajaan itu dikenal dengan kerajaan Pagaruyung.
Menurut Jean Drakar dari Monash University Australia mengatakan bahwa kerajaan Pagaruyung adalah kerajaan yang besar, setaraf dengan kerajaan Mataram dan kerajaan Melaka. Itu dibuktikannya dengan banyaknya negeri-negeri di Nusantara ini yang meminta raja ke Pagaruyung, seperti Deli, Siak, Negeri Sembilan dan negeri-negeri lainnya.
Minangkabau menurut tambo
Dalam bentuk lain, tambo menjelaskan pula tentang asal muasal orang Minangkabau. Tambo adalah satu-satunya keterangan mengenai sejarah Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau, tambo mempunyai arti penting, karena di dalamtambo terdapat dua hal; (1) Tambo alam, suatu kisah yang menerangkan asal usul orang Minangkabau semenjak raja pertama datang sampai kepada masa kejayaan kerajaan Pagaruyung. (2) Tambo adat, uraian tentang hukum-hukum adat Minangkabau. Dari sumber inilah hukum-hukum, aturan-aturan adat, dan juga berawalnya sistem matrilineal dikembangkan.
Di dalam Tambo alam diterangkan bahwa raja pertama yang datang ke Minangkabau bernama Suri Maharajo Dirajo. Anak bungsu dari Iskandar Zulkarnain. Sedangkan dua saudaranya, Sultan Maharaja Alif menjadi raja di benua Rum dan Sultan Maharajo Dipang menjadi raja di benua Cina. Secara tersirat tambo telah menempatkan kerajaan Minangkabau setaraf dengan kerajaan di benua Eropa dan Cina. Suri Maharajo Dirajo datang ke Minangkabau ini, di dalam Tambo disebut pulau paco lengkap dengan pengiring yang yang disebut; Kucing Siam, Harimau Campo, Anjiang Mualim, Kambiang Hutan.

Masing-masing nama itu kemudian dijadikan “lambang” dari setiap luhak di Minangkabau. Kucing Siam untuk lambang luhak Tanah Data, Harimau Campo untuk lambang luhak Agam dan Kambiang hutan untuk lambang luhak Limo Puluah. Suri Maharajo Dirajo mempunya seorang penasehat ahli yang bernama Cati Bilang Pandai.
Suri Maharajo Dirajo meninggalkan seorang putra bernama Sutan Maharajo Basa yang kemudian dikenal dengan Datuk Katumanggungan pendiri sistem kelarasan Koto Piliang. Puti Indo Jalito, isteri Suri Maharajo Dirajo sepeninggalnya kawin dengan Cati Bilang Pandai dan melahirkan tiga orang anak, Sutan Balun, Sutan Bakilap Alam dan Puti Jamilan. Sutan Balun kemudian dikenal dengan gelar Datuk Perpatih Nan Sabatang pendiri kelarasan Bodi Caniago.
Datuk Katumanggungan meneruskan pemerintahannya berpusat di Pariangan Padang Panjang kemudian mengalihkannya ke Bungo Sitangkai di Sungai Tarab sekarang, dan menguasai daerah sampai ke Bukit Batu Patah dan terus ke Pagaruyung.
Maka urutan kerajaan di dalam Tambo Alam Minangkabau adalah;
(1) Kerajaan Pasumayan Koto Batu,
(2) Kerajaan Pariangan Padang Panjang
(3) Kerajaan Dusun Tuo yang dibangun oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang
(4) Kerajaan Bungo Sitangkai
(5) Kerajaan Bukit Batu Patah dan terakhir
(6) Kerajaan Pagaruyung.

Menurut Tambo Minangkabau, kerajaan yang satu adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya. Karena itu, setelah adanya kerajaan Pagaruyung, semuanya melebur diri menjadi kawasan kerajaan Pagaruyung.
Kerajaan Dusun Tuo yang didirikan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang, karena terjadi perselisihan paham antara Datuk Ketumanggungan dengan Datuk Perpatih nan Sabatang, maka kerajaan itu tidak diteruskan, sehingga hanya ada satu kerajaan saja yaitu kerajaan Pagaruyung. Perbedaan paham antara kedua kakak beradik satu ibu ini yang menjadikan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan Minangkabau dibagi atas dua kelarasan, Koto Piliang dan Bodi Caniago.
Dari uraian tambo dapat dilihat, bahwa awal dari sistem matrilineal telah dimulai sejak awal, yaitu dari “induknya” Puti Indo Jalito. Dari Puti Indo Jalito inilah yang melahirkan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Namun, apa yang diuraikan setiap tambo punya berbagai variasi, karena setiap nagari punya tambo.
Dr. Edward Jamaris yang membuat disertasinya tentang tambo, sangat sulit menenyukan pilihan. Untuyk keperluan itu, dia harus memilih salah satu tambo dari 64 buah tambo yang diselidikinya. Namun pada umumnya tambo menguraikan tentang asal usul orang Minangkabau sampai terbentuknya kerajaan Pagaruyung.
Asal kata Minangkabau
Kata Minangkabau mempunyai banyak arti. Merujuk kepada penelitian kesejarahan, beberapa ilmuan telah mengemukakan pendapatnya tentang asal kata Minangkabau.
a. Purbacaraka (dalam buku Riwayat Indonesia I) Minangkabau berasal dari kata Minanga Kabawa atau Minanga Tamwan yang maksudnya adalah daerah-daerah disekitar pertemuan dua sungai; Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Hal ini dikaitkannya dengan adanya candi Muara Takus yang didirikan abad ke 12.
b. Van der Tuuk mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata Phinang Khabu yang artinya tanah asal.
c. Sutan Mhd Zain mengatakan kata Minangkabau berasal dari Binanga Kamvar maksudnya muara Batang Kampar.
d. M.Hussein Naimar mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata Menon Khabu yang artinya tanah pangkal, tanah yang mulya.
e. Slamet Mulyana mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata Minang Kabau. Artinya, daerah-daerah yang berada disekitar pinggiran sungai-sungai yang ditumbuhi batang kabau (jengkol).
Dari berbagai pendapat itu dapat disimpulkan bahwa Minangkabau itu adalah suatu wilayah yang berada di sekitar muara sungai yang didiami oleh orang Minangkabau.
Namun dari Tambo, kata Minangkabau berasal dari kata Manang Kabau. Menang dalam adu kerbau antara kerbau yang dibawa oleh tentara Majapahit dari Jawa dengan kerbau orang Minang.


Wilayah asal Minangkabau
Membicarakan tentang wilayah Minangkabau, seperti yang dijelaskan di atas, harus dilihat dalam dua pengertian yang masing-masingnya berbeda;
1. Pengertian budaya
2. Pengertian geografis
Dalam pengertian budaya, wilayah Minangkabau itu itu adalah suatu wilayah yang didukung oleh suatu masyarakat yang kompleks, yang bersatu bersamaan persamaan asal usul, adat, dan falsafah hidup.
Menurut tambo, wilayah Minangkabau disebutkan saedaran gunuang Marapi, salareh batang Bangkaweh, sajak Sikilang Aie Bangih, lalu ka gunuang Mahalintang, sampai ka Rokan Pandalian, sajak di Pintu Rayo Hilie, sampai Si Alang Balantak Basi, sajak Durian Ditakuak Rajo, lalu ka Taratak Aie Hitam, sampai ka Ombak Nan Badabua.
Mengenai batas-batas yang disebutkan di atas, berbagai penafsiran terjadi. Ada yang mengatakan bahwa batas-batas itu adalah simbol-simbol saja tetapi wilayah itu tidak ada yang jelas dan tepat, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa batas-batas itu adalah benar dan nagari-nagari yang disebutkan itu ada sampai sekarang. Dalam hal ini tentu kita tidak perlu melihat perbedaan-perbedaan pendapat tersebut, karena kedua-dua pendapat itu ada benarnya.
Dalam pengertian geografis, wilayah Minangkabau terbagi atas wilayah inti yang disebut darek dan wilayah perkembangannya yang disebut rantau dan pesisir.
a. Darek
Daerah dataran tinggi di antara pegunungan Bukit Barisan; di sekitar gunung Singgalan, sekitar gunung Tandikek, sekitar gunung Merapi dan sekitar gunung Sago.
Daerah darek ini dibagi dalam tiga luhak;
(1) Luhak Tanah Data sebagai luhak nan tuo, buminyo nyaman, aienyo janiah ikannyo banyak,
(2) Luhak Agam sebagai luhak nan tangah, buminyo anegk, aienyo karuah, ikannyo lia,
(3) dan Luhak Limo Puluah Koto sebagai luhak nan bongsu, buminyo sajuak, aienyo janiah, ikannyo jinak.
Nagari-nagari yang termasuk ke dalam luhak Tanah Data adalah; Pagaruyung, Sungai tarab, Limo Kaum, Sungayang, Saruaso, Sumanik, Padang Gantiang, Batusangka, Batipuh 10 koto, Lintau Buo, Sumpur Kuduih, Duo puluah koto, Koto Nan Sambilan, Kubuang Tigobaleh, Koto Tujuah, Supayang, Alahan Panjang, Ranah Sungai Pagu.
Nagari-nagari yang termasuk ke dalam luhak Agam adalah; Agam tuo, Tujuah lurah salapan koto, Maninjau, Lawang, Matua, Ampek Koto, Anam Koto, Bonjol, Kumpulan, Suliki.
Nagari-nagari yang termasuk ke dalam luhak Limo Puluah Koto adalah; luhak terdiri dari Buaiyan Sungai Balantik, Sarik Jambu Ijuak, Koto Tangah, Batuhampa, Durian gadang, Limbukan, Padang Karambie, Sicincin, Aur Kuniang, Tiakar, Payobasuang, Bukik Limbuku, Batu Balang Payokumbuah, Koto Nan Gadang (dari Simalanggang sampai Taram); ranah terdiri dari Gantiang, Koto Laweh, Sungai Rimbang, Tiakar, Balai Mansiro, Taeh Simalanggang, Piobang, Sungai Baringin, Gurun, Lubuk Batingkok, Tarantang, Selo Padang Laweh (Sajak dari Simalanggang sampai tebing Tinggi, Mungkar); lareh terdiri dari Gaduik, Tebing Tinggi, Sitanang, Muaro Lakin, Halaban, Ampalu, Surau, Labuah Gurun ( dari taram taruih ka Pauh Tinggi, Luhak 50, taruih ka Kuok, Bangkinang, Salo, Aie Tirih dan Rumbio)
b. Rantau.
Daerah pantai timur Sumatera. Ke utara luhak Agam; Pasaman, Lubuk Sikaping dan Rao. Ke selatan dan tenggara luhak Tanah Data; Solok Silayo, Muaro Paneh, Alahan Panjang, Muaro Labuah, Alam Surambi Sungai Pagu, Sawah lunto Sijunjung, sampai perbatasan Riau dan Jambi. Daerah ini disebut sebagai ikue rantau.
Kemudian rantau sepanjang iliran sungai sungai besar; Rokan, Siak, Tapung, Kampar, Kuantan/Indragiri dan Batang Hari.
Daerah ini disebut Minangkabau Timur yang terdiri dari;
a). Rantau 12 koto (sepanjang Batang Sangir); Nagari Cati nan Batigo (sepanjang Batang Hari sampai ke Batas Jambi), Siguntue (Sungai Dareh), Sitiuang, Koto Basa.
b). Rantau Nan Kurang Aso Duopuluah (rantau Kuantan)
c). Rantau Bandaro nan 44 (sekitar Sungai Tapuang dengan Batang Kampar)
d). Rantau Juduhan (rantau Y.D.Rajo Bungsu anak Rajo Pagaruyung; Koto Ubi, Koto Ilalang, Batu Tabaka)
e). NegeriSembilan

c. Pesisir. Daerah sepanjang pantai barat Sumatera.
Dari utara ke selatan; Meulaboh, Tapak Tuan, Singkil, Sibolga, Sikilang, Aie Bangih, Tiku, Pariaman, Padang, Bandar Sapuluah, terdiri dari; Air Haji, Balai Salasa, Sungai Tunu, Punggasan, Lakitan, Kambang, Ampiang Parak, Surantiah, Batang kapeh, Painan (Bungo Pasang), seterusnya Bayang nan Tujuah, Indrapura,Kerinci,Muko-muko,Bengkulu.

Minggu, 04 Mei 2008

Peluang dan Tantangan Dakwah Islam di Era Otonomi Daerah di Sumatera Barat

PELUANG DAN TANTANGAN DAKWAH ISLAM DI ERA OTONOMI DAERAH di SUMATERA BARAT

H. Mas’oed Abidin
Ketua Badan Amil Zakat Sumbar
Ketua Dewan Dakwah Sumbar
Wakil Ketua Dewan Penasehat MUI Sumbar

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Ali Imran (3) : 104)

Muqaddimah

Nikmat Allah SWT yang kita peroleh dengan berbagai kelebihan atau kekurangan adalah hasil dari pengorbanan dan ketekunan kita secara sambung bersambung. Sebagai buktinya adalah keterpaduan hati, tekad dan langkah yang kita ayunkan sampai hari ini. Nikmat itu membuka banyak kesem­patan bergerak lebih leluasa dan bertanggung jawab.
Di daerah kita, Sumatra Barat tercinta ini, kini dirasakan keterbu­kaan dalam bentuk lain, yakni dengan terbukanya wacana kembali ke nagari, walaupun selama 21 tahun telah pula berkembang wacana perubahan ini. Dan hal ini pulalah yang menjadi bukti dari demokratisasi yang berkembang sejak lama.
Diberlakukannnya UU No.22/1999 membuka peluang masyarakat beradat berpegang pada adat bersendi syarak dan syarak bersendikan Kitabullah, secara lebih luas melaksanakan otonomi di daerah Sumbar yang didukung dengan lahirnya Perda No.9/2000 tentang Kembali Ke Pemerintahan Nagari. Perda ini memberi keleluasaan tertib melaksanakan kaedah adat di ranah Minang yang senyatanya adalah kekayaan budaya paling berharga untuk mendorong motivasi masyarakat[1] di nagari-nagari dalam mendinamisir diri membangun kampung halaman.

Problematika Dakwah
Seiring dengan itu di Alaf ini telah terjadi perubahan cepat dan transparan ditandai hubungan komunikasi, informasi, dan transportasi serba cepat mengarah kepada lepasnya sekatan.[2]
Masyarakat Sumbar mesti bersyukur kepada Allah, yang menganugerahi rahmat besar dengan nilai tamaddun budaya Minangkabau yang terikat kuat dengan penghayatan Islam dan telah pula diakui sebagai salah satu puncak kebudayaan dunia.
Namun, di sisi lain, keterpesonaan menatap budaya lain di luar kita di tengah derasnya penetrasi budaya asing, kerapkali mengancam generasi pengganti meluncur ke arah degradasi akhlak yang cepat seiring terbukanya isolasi daerah-daerah sampai ke jantung Ranah Bundo Kanduang. Hal ini diperparah oleh kurang berperannya da’i dan imam khatib di nagari dalam memfungsikan Surau dan Masjid menjadi pusat pembinaan anak nagari.
Sementara itu, mereposisi peran elemen penentu di tengah masyarakat di nagari tidaklah mudah. Pengalaman tiga dasawarsa menampakkan kecenderungan orang tua sebatas memenuhi serba kebutuhan fisik dan materi semata. Hal ini diperparah dengan menipisnya rasa kekerabatan keluarga. Peran du’at dan peran du’atan pun terlihat melemah dalam membentuk watak generasi mendatang.

Fungsi ninik mamak pun terjebak sebagai pejabat adat yang hanya diperlukan ketika upacara seremonial keadatan. Sehingga ninikmamak kurang signifikan mewarnai kehidupan anak kemenakannya yang pada usia muda‑mudi terbuka meniru apa saja, tanpa mengindahkan kaedah istiadat yang menjadi rambu-rambu perjalanan hidup bermsyarakat di Minangkabau.

Bila ditinjau lebih dalam, lapuknya pagar adat dan syarak sebenarnya disebabkan oleh lunturnya keteladanan yang diberikan generasi tua. Hal ini memicu mencuatnya sikap enggan dan acuh generasi pengganti untuk menyerap nilai-nilai utama yang pernah dimiliki generasi tua yang sudah berprestasi. Kondisi ini boleh dibilang sangat mengkhawatirkan bila dilihat pada kesiapan Sumatera Barat meniti abad ke duapuluh satu yang serba transparan.
Kondisi ini pun menjadi kian parah ketika meluasnya kemelut sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh negara-negara di dunia – yang tidak dapat tidak ikut mempengaruhi kondisi budaya dan kehidupan masyarakat Sumatera Barat—yang hanya dalam hitungan detik dapat diterima informasinya melalui berbagai media. Tentunya, dengan kelemahan system pendidikan secular yang kita anut sekarang, serta lemahnya pencapaian tujuan pendidikan yang telah digariskan dan dicitakan oleh para murabbi (para pendidik atau du’at) terhadap tatanan prilaku umat di nagari-nagari.

Hal inilah yang mempengaruhi perjalanan serah terima generasi di Ranah Minang, sehingga kita dihadapkan fenomena du’atan yang amat mencemaskan. Persoalan ini membelit remaja, umat dan anak nagari kita. Implikasi ini jelas terlihat pada tumbuhnya kebiasaan di kalangan para pelajar kita untuk bolos sekolah, malas belajar, suka bermain di mall -- pasar -- disaat jam belajar di sekolah, suka berkelahi berkelompok seperti tawuran, bahkan berani merusak kelas belajar dan rumah sekolah dan du’at, melempar toko-toko dan menghancurkan perpustakaan sekolah, memukul dan menyandera du’at yang mengajar mereka dan berkembang kepada melakukan tindakan vandalisme. Cakak Banyak.

Paling menakutkan, diantaranya terjangkiti prilaku “nan ka lamak dek salero”[3] terbawa arus peristiwa keganasan yang melanda kalangan anak muda remaja di negeri orang. Tidak jarang mereka larut kedalam tindakan melampaui batas[4] yang menyeret meruyaknya kriminalitas dan pelanggaran norma hukum dalam bermasyarakat. Pada masa silam keadaan tersebut jarang dan bahkan tidak didapati pada prilaku umat di Ranah Bundo ini. Kejadian ini lazimnya sering dikaitkan dengan kemampuan du’at dan para murabbi mengajar umat. Mau tidak mau akan lahirkan di masa mendatang generasi yang kurang ilmu dan lemah dalam pemahamannya.

Esensi Dakwah Illa-Allah
Dakwah usaha terus menerus para da’i (du’aat) terhadap masyarakat yang di dakwahi (mad’uu).

Sesuai bimbingan risalah Islam yang dibawa Muhammad Rasulullah SAW adalah untuk melakukan perobahan. Yang di inginkan adalah, “merobah tatanan masyarakat dzulumaat (sisi kegelapan) kepada tatanan yang terang cahaya (an-nuur)”.[5]

Dakwah bertujuan memelihara keberadaan (eksistensi) manusia yang di ciptakan Allah untuk suatu tugas mulia dan istimewa sebagai khalifah Allah di permukaan bumi. Karena itu, upaya-upaya dakwah tidak akan pernah berhenti sampai berakhirnya kehidupan duniawi ini.

Secara esensial dakwah ilaa Allah memiliki sisi-sisi mengagumkan antara lain ;

1. Dakwah adalah tugas suci (mission sacre) dalam rangkaian melanjutkan risalah Rasul Allah melalui tabligh (balligh maa unzila ilaika min rabbika), dalam menegakkan kalimat tauhid sesuai yang diperintahkan Allah, dan bila dakwah tidak ditunaikan sebagai pelanjut risalah maka dengan tegas diingatkan (fa maa ballaghta risaalatahu), akan berjangkit kema’shiyatan dalam kehidupan manusia, dan kekufuran akan menjadi-jadi, bantuan dari Allah akan terjauh.[6]

2. Dakwah merupakan beban setiap pribadi mukmin (fardhu ‘ain) dengan sasaran membawa manusia kepada al-khairi (Islam). Sudah semestinya umat di sadarkan bahwa keberadaan lembaga du’aat sesungguhnya telah meringankan beban pribadi umat yang di bina. Secara timbal balik umat mempunyai tanggung jawab menjaga keberadaan lembaga du’aat (juru dakwah) sepanjang masa.

3. Dakwah memiliki program jelas amar makruf nahi munkar.[7]
Bila amar maruf nahi munkar tidak dilaksanakan terjadi bencana.[8]

4. Dakwah mendapat sanjungan ahsanu qaulan (seruan indah) karena ajakan kepada mengikuti perintah-perintah Allah (da’aa ilallaah).

5. Realisasi dakwah senantiasa berbentuk karya nyata yang baik (wa ‘amila shalihan), atas dasar penyerahan semata kepada Islam (wa qaala innani minal muslimin), sebagai bukti ketaatan Muslim yang tidak menyamaratakan yang baik dan buruk.[9]

6. Dakwah mesti berlandaskan Kitabullah dan Sunnah Rasul (dakwah salafiyah). Dakwah selalu harus menyajikan Dinul Haq (Agama Islam) yang menjalinkan hubungan vertikal (hablum minallah) dan hubungan horizontal (hablum minan-naas)[10]

7. Rangkaian ibadah yang dilahirkan oleh dakwah ilaa Allah ini sanggup mengetengahkan rekonstruksi alternatif untuk kehidupan kekinian (duniawi) sejalan dengan kehidupan kedepan (ukhrawi). Karena agama Islam sesuai wahyu Allah merupakan ajaran yang solid (rahmatan lil ‘alamin)[11]

8. Solidnya ajaran Islam sesuai bimbingan Kitabullah dan sunnah Rasul terbukti dalam beberapa hal,
a. agama fithrah yang damai,
b. alamiyah insaniyah, sesuai dengan zaman,
c. mengajarkan hidup harmoni dan mampu berdampingan secara damai sejahtera,
d. dengan ajaran kaedah syar’I yang menaruh perhatian mendalam terhadap kesejahteraan materiil dan immateriil, menyeru manusia untuk hidup secara baik (shalih) dalam kehidupan individu, keluarga, kelompok, bangsa bahkan dunia.

Hakikat Dakwah Bil Hal
Peran da'wah di Ranah Minang sekarang ini adalah menyadarkan umat akan peran mereka dalam membentuk diri mereka sendiri, "Sesungguhnya Allah tidak akan merobah nasib satu kaum, hingga kaum itu sendiri yang berusaha merobah sikap mereka sendiri." (QS.Ar-Ra’du).
Kenyataan sosial terhadap penduduk anak nagari harus di awali dengan mengakui keberadaan mereka, menjunjung tinggi puncak-puncak kebudayaan mereka, menyadarkan mereka akan potensi besar yang mereka miliki, mendorong mereka kepada satu bentuk kehidupan yang bertanggung jawab. Inilah tuntutan Da'wah Ila-Allah.

Da'wah adalah satu kata, di dalam Al-Qur'an, bermakna ajakan atau seruan.
Maka seruan atau ajakan itu, tidak lain adalah seruan kepada Islam. Yaitu agama yang diberikan Khaliq untuk manusia, yang sangat sesuai dengan fithrah manusia itu. Islam adalah agama Risalah, yang ditugaskan kepada Rasul, dan penyebaran serta penyiarannya dilanjutkan oleh da'wah, untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup manusia. Dalam rentangan sejarah perjalanannya tercatat "Risalah merintis, da'wah melanjutkan"
Risalah menjadi tugas rasul itu, berisi khabar gembira dan peringatan. Ditujukan untuk seluruh umat manusia. Risalah itu cocok untuk semua zaman. Maksudnya untuk Rahmat seluruh alam. Dan Nabi Muhammad Rasulullah S.A.W, adalah da'i pertama yang ditetapkan oleh Allah (QS. Saba’, 34 : 28), mengajak manusia dengan ilmu, hikmah dan akhlaq. Perintah untuk melaksanakan tugas-tugas da'wah itu, secara kontinyu diturunkan oleh Allah SWT seperti,
a) Supaya menyeru kejalan Allah, dengan petunjuk yang lurus (QS.Al-Ahzab, 33 : 45-46).
b) Seruan untuk menyembah Allah, kepada seluruh manusia . Perintah untuk menyembah Allah, tidak boleh musyrik, agar hanya meminta kepadaNya dan mempersiapkan diri untuk kembali kepadaNya (QS.Al Qashash, 28 : 87).

Tugas ini menjadi tugas para Rasul sebelumnya. Menjadi sempurna dan lengkap dengan keutusan Muhammad. Maka, manusia (umat) sekarang menjadi penerus dan pelaksana da'wah itu terus menerus sepanjang masa (QS. Ar-Ra’d, 13 : 35). Ditegaskan dalam kalimat sederhana tapi padat, bahwa da'wah kita adalah Da'wah Ila-Allah (QS. Ali Imran, 3 : 104). Manhaj-nya adalah Alquran dan Sunnah Rasul, dan pelaksananya setiap muslim, setiap mukmin adalah umat da'wah pelanjut Risalah Rasulullah yakni Risalah Islam. Terlaksananya tugas-tugas da’wah dengan baik akan menjadikan umat Islam mampu menjawab harapan masyarakat dunia.[12] Maka perlu setiap Da'i – Imam, Khatib, Urang Siak, Tuanku, alim ulama suluah bendang di nagari-nagari -- meneladani pribadi Muhammad SAW dalam membentuk effectif leader di Medan Da'wah. Da'wah itu, menuju kepada inti dan isi Agama Islam (QS. Al Ahzab, 33 : 21).


Inti agama Islam adalah tauhid. Implementasinya adalah Akhlaq. Umat masa kini hanya akan menjadi baik dan kembali berjaya, bila sebab-sebab kejayaan umat terdahulu di kembalikan. Kita semestinya bertindak atas dasar syara’ itu, dan mengajak orang lain untuk menganutnya. "Memulai dari diri da'i, mencontohkannya kepada masyarakat lain", (Al Hadist). Inilah cara yang tepat. Keberhasilan suatu upaya da'wah (gerak da'wah) memerlukan pengorganisasian (nidzam).
Perangkat dalam organisasi surau, selain orang-orang, adalah juga peralatan da'wah yaitu penguasaan kondisi umat, tingkat sosialnya dan budaya yang melekat pada tata pergaulan mereka yang dapat dibaca dalam peta da'wah (Yusuf Qardhawi, 1990). Peta da'wah, bagaimanapun kecilnya, memuat data-data tentang keadaan umat yang akan di ajak tersebut. Bimbingan syara’ mengatakan bahwa al haqqu bi-laa nizham yaghlibuhu al baathil bin-nizam bermakna bahwa yang hak sekalipun, tetapi tidak mengindahkan pengaturan (organisasi) senantiasa akan di kalahkan oleh yang bathil tetapi dijalankan terorganisir. Allah menghendaki kelestarian Agama dengan kemampuan mudah, luwes, elastis, tidak beku dan tidak berlaku bersitegang.

Bahasa Dakwah Adalah Bahasa Kehidupan
Peta da'wah, akan berhasil digunakan di nagari dengan kesepakatan pelaksana-pelaksananya dalam menggalang saling pengertian. Koordinasi sesamanya akan mempertajam faktor-faktor pendukungnya, membuka pintu dialog persaudaraan (hiwar akhawi). Kaedah syara’ akan menjadi pendorong dan anak kunci keberhasilan da'wah untuk menghidupkan adagium adat basandi syara’ syara; basandi Kitabullah.
Aktualisasi dari Kitabullah (nilai-nilai Al-Qur'an) hanya dapat dilihat melalui gerakan amal nyata yang berkesinambungan (kontinyu), dan terkait dengan seluruh segi dari aktivitas kehidupan manusia, -- seperti, kemampuan bergaul, mencintai, berkhidmat, menarik, mengajak (da'wah), merapatkan potensi barisan (shaff) dalam mengerjakan amal-amal Islami secara bersama-sama (jamaah) --, sehinga membuahkan agama yang mendunia.

Usaha inilah yang akan menjadi gerakan antisipatif terhadap arus globalisasi negatif pada abad-abad sekarang, dan sudah semestinya menjadi visi kembali ke surau .
Kitabullah (Al-Qur'an) telah mendeskripsikan peran agama Allah (Islam) sebagai agama yang kamal (sempurna) dan nikmat yang utuh, serta agama yang di ridhai (QS.Al Maidah, 5 : 3), dan menjadi satu-satunya Agama yang diterima di sisi Allah,yaitu Agama Islam (QS. Ali Imran, 3 : 19). Konsekuensinya adalah yang mencari manhaj atau tatanan selain Islam, tidak akan di ridhai ( QS. Ali Imran, 3 : 85). Tidak ada pilihan lain hanya Islam, "Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang menyerahkan dirinya kepada Allah secara ikhlas, yakni orang Muslim, merekapun mengerjakan kebaikan-kebaikan" (QS. An Nisak, 4 : 125). Setiap Muslim, dengan nilai-nilai Kitabullah (Al Qur'an) wajib mengemban missi yang berat dan mulia yaitu merombak kekeliruan ke arah kebenaran. Inilah yang di maksud secara hakiki "perjalanan kepada kemajuan (al madaniyah, modernitas)".

Masalah Dakwah Kedepan

1. Kehidupan pra-globalisasi
Kondisi yang terlihat menggejala di tengah kehidupan masyarakat adalah penerapan pola hidup materialistik dan individualis. Sajian pola kehidupan seperti ini tampak nyata dengan hilangnya tatanan bermasyarakat kebersamaan (kurang bersilaturrahmi).
Akibat nyata yang terasakan ditengah kehidupan bermasyarakat ialah ;
· mulai merenggangnya hubungan kekerabatan,
· hilangnya rasa tanggung jawab bersama,
· pudarnya kegotong royongan, yang selama ini adalah ciri khas budaya bangsa.

2. Kehidupan kaula muda
Tendensi lahirnya generasi yang lemah iman (dhi’aa-fan) berupa hilangnya tamaddun (terlihat pada kebiasaan hidup tak berbudaya). Kaula muda seperti itu cendrungan menjadi “X-Generation”, yakni generasi yang tercerabut dari akar budayanya.
Kondisi ini terlihat nyata pada ;
· kesukaan meniru budaya asing,
· cinta mode barat,
· sering melakukan penggunaan obat terlarang, yang sangat erat kaitannya dengan kebebasan seks
· suka minuman keras dan perjudian,
· budaya sunset, budaya lepak, bolos sekolah,
· suka mengganggu ketenteraman dengan bersikap negatif,
· berkembangnya upaya-upaya pemurtadan terhadap umat yang telah menganut agama Islam, terutama terhadap generasi muda, dengan dalih hak asasi manusia, kebebasan memilih keyakinan, atau upaya terselubung lainnya berbentuk pemberian, hadiah, bantuan LSM, bea siswa

Sepuluh tahun sebelumnya gejala-gejala ini tidak jelas terlihat. Kondisi separah ini merupakan bias dari kemajuan teknologi informasi (IT) disertai melemahnya saringan (filter) di kalangan rumah tangga dan keluarga (tidak berfungsi).

3. Penolakan asas Agama
Dalam kehidupan keyakinan dan faham keagamaan mulai tercemari paham sekularisme dan penerapan paham persamaan hak yang kurang tepat dengan kemasan Hak Asasi Manusia.
Paham persamaan segala manusia dan hak-hak kemerdekaannya memang berasal dari ajaran Agama.
Tetapi oleh karena kepentingan pihak-pihak imperium feodal, sejak Romawi hingga revolusi Perancis, sampai reformasi demokratisasi dan humanisasi melanda belahan bumi.
Perang paham ini senantiasa berujung kepada penolakan asas agama.

4. Konspirasi internasional.
Asas agama sering dijadikan salah satu ujud sasaran tembak dalam pertentangan-pertentangan di antara pemegang kekuasaan dunia, percaturan politik sejagat yang mengarah persekongkolan kekuatan- kekuatan anti agama (persekongkolan kekuatan ini sering bergulir menjadi konspirasi internasional).

Kebenaran bimbingan wahyu Allah dapat disimak dengan sangat jelas dalam percaturan memperebutkan umat diantara kalangan Salibiyah (Christ society) dan Yahudiyah (Lobi Zionis Internasional). Dua kelompok yang tidak pernah berdiam diri, untuk mempengaruhi paham dan pikiran manusia, sampai semua orang bisa mengikuti ajaran (millah) nya.
Sasaran utama lebih di arahkan kepada kelompok-kelompok Muslim sejagat persada. Sasaran utamanya adalah melumpuhkan kekuatan Islam secara sistematik. Berkembangnya citra (imaj) bahwa paham-ajaran Islam adalah musuh bagi kehidupan manusia dan tatanan dunia, merupakan bukti dari hasil uopaya gerakan Salibiy Yahudi ini.

Penerapannya dalam pertentangan-pertentangan kekuatan dunia sering terlihat dengan bingkai ethnic cleansing, penempelan label teroris terhadap gerakan-gerakan dakwah Islam, fundamentalis, radikalisme, keterbelakangan, kurang dapat menyesuaikan gerak dengan kemajuan, adalah merek yang dikenakan terhadap organisasi-organisasi Islam lokal maupun dunia. Pada akhirnya umat Islam menjadi enggan menerima ajaran Islam dalam kehidupan kesehariannya.

Konsepsi Islam dipandang hanya sebatas ritual dan seremonial. Peran konsepsi ajaran Islam dianggap tidak cocok untuk menata kehidupan sosial ekonomi dan politik. bangsa-bangsa. Hubungan manusia secara internasional dinilai tidak pantas di kover oleh ajaran agama Islam.
Adanya pemahaman bahwa ajaran agama hanya bisa di terapkan untuk kehidupan akhirat, bukan untuk tatanan masa kini, merupakan gejala lain dari kehidupan sekuler materialisma. Begitulah suatu warning (peringatan) wahyu, bila mampu dipahami secara jelas tertera dalam Al Quran.[13].

5. Diniyah atau laa diniyah.
Pertentangan pemahaman menerapkan ajaran Islam, akan bermuara kepada memecah umat manusia (firaq) yang pada mulanya telah di ikat oleh kewajiban kerja sama (ta’awun) menjadi dua pihak (diniyah dan laa diniyah).

Satu sama lain, atau kedua-duanya seakan harus berhadapan dalam satu satuan perang yang dipertentangkan secara bengis dan ganas, penuh kecurigaan dan intimidasi, akhirnya memungkiri segala keuatamaan budi manusia.

Bertalian dengan agama lain, semestinya pula umat Islam berpedoman kepada (QS.al-Baqarah 256). Bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Iman diperoleh sebagai rahmat dan karunia Ilahi bukan melalui pemaksaan.

Umat Islam berkewajiban menolak pemahaman kepada adanya permusuhan antara golongan dalam masyarakat yang terkam menerkam serta terlepas dari tali Allah.

6. Hak asasi manusia.
Dalam pergaulan hidup serta tatanan bernegara harus diakui kemerdekaan beragama merupakan hak asasi tiap-tiap orang. Hak asasi ini akan selalu terpelihara dan terjamin, selagi kemerdekaan itu selalu bertumpu kepada terpeliharanya kesopanan umum dan ketertiban negeri.

Hak asasi manusia secara pribadi tetap akan terlindungi adanya dikala setiap pribadi memandang dengan keyakinan sadar bahwa setiap orang memiliki hak untuk tidak berbuat sesuka hati.
Tatkala sesorang dalam mempertahankan hak asasinya mulai bertindak laku dengan tidak mengindahkan hak-hak azasi orang lain disampingnya, maka pada saat yang sama semua hak asasi itu tidak terl;indungi lagi.

Kewajiban asasi untuk tidak melanggar kehormatan orang lain serta kewajiban asasi untuk secara sadar (buikan dengan paksaan) untuk memberikan penghormatan kepada kemerdekaan orang lain, senyatanya adalah bingkai dari hak asasi manusia yang sebenarnya.

Agama Islam yang sangat berperangaruh terhadap budi pekerti dan memberikan semangat kepada segenap bangsa. Kembali kepada “kalimatin sawaa’ antara sesama kita, yaitu tidak akan ada diantara kita yang mau meninggalkan penyembahan kepada Allah Yang Maha Esa.

Bagi bangsa Indonesia, telah terbukti mampu untuk menghidupkan kesadaran akan rasa persamaan dan persaudaraan dalam satu batas kesatuan wilayah Republik Indonesia.[14]

Umat Islam berkewajiban memelihara hubungan horizontal, dalam bentuk pemeliharaan solidaritas sesama manusia.

Islam mengajarkan bahwa seluruh manusia adalah keluarga Allah. “Yang paling disayangi Allah adalah yang paling bermanfaat sesama hidup diantara manusia itu” [15].

Dalam kaedah tatanan bermasyarakat, Islam menetapkan setiap diri wajib memelihara kerukunan serta mempertahankan damai dalam suasana kedamaian.
Umat Islam diperintah untuk selalu membukakan pintu penyelesaian permasalahan sengketa secara damai pula.

Dari itu jangan salah mendasarkan sikap.

Bahwa umat Islam telah dipilih dan dijadikan sebagai umat pertengahan (ummatan wasathan), yang memiliki kewajiban terhadap persatuan dan persaudaraan dunia serta perikemanusiaan.
Karena itu, umat Islam memiliki kewajiban terlebih dahulu untuk menciptakannya dengan memulai dari diri sendiri.

Kewajiban mesti harus lebih dahulu di tunaikan sebelum hak menjadi tuntutan.
Pokok-pokok pemahaman ini menjadi landasan dari hasil penerapan ajaran agama Islam untuk bisa terpeliharanya dan terlaksananya penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.

7. Kehidupan konsumerisme
Berbelanja tanpa takaran selalu memancing keluarga, terutama masyarakat lapis bawah yang adalah grass root dan menjadi akar serabut masyarakat kepada pemborosan yang pada gilirannya terlihat pada ;
· terikat kepada hutang (kredit lunak berbunga besar)
· rusak kerukunan bermasyarakat,
· hilangnya ketenteraman,
· timbulnya penipuan, pemalsuan, perampokan, pembunuhan, dan,
· berbagai tindakan kriminal.
· pemurtadan aqidah, karena yang kuat akan selalu memakan yang lemah, pada akhirnya patriotisme berbangsa dan bernegara mulai terasa hilang.
· Agama Islam menyebutkan bahwa “kekafiran itu seringkali datang karena kefakiran”.
· krisis akhlaq mulai menjangkiti masyarakat desa, tersebab mulai menjauhnya umat dari bimbingan agama, melemahnya tabligh, pengajian, majlis ta’lim, dan mulai lengangnya masjid dan langgar, orang tua enggan memasukkan anak-anaknya kesekolah-sekolah agama.

8. Proyek modernisasi barat
Akibat dari runtuhnya kekuasaan gereja, terutama di belahan dunia barat, telah menggeser pandangan masyarakat yang semula akrab dengan perpegangan agama menjadi condong kearah pengkejaran kepada memenuhi keperluan-keperluan lahiriah dengan mengabaikan kebutuhan rohaniah melalui tindakan-tindakan pengabaian prinsip-prinsip moral yang lazim berlaku, dan acapkali berakhir dengan lenyapnya kebahagiaan atau lumpuhnya pertumbuhan jiwa manusia.
Kehilangan perpegangan kepada ajaran agam tambah diperburuk setelah Komunis runtuh di Rusia (1990), Krisis Rohani Barat ber gerak cepat dengan melakukan perubahan berupa "proyek Modernisasi". Pakar Teoritis Barat mulai ragu dengan hipotesa-hipotesa mereka.
Barat sedang di jangkiti keimanan terhadap tuhan baru "developmentalisme" yang berkembang terus subur.
Keperluan manusia kepada tuhan menyebabkan mereka mencari-cari tuhan kemana saja, padahal pemikian menafikan tuhan adalah sama dengan meniadakan keberadaan manusia dan alam kehidupan manusia. "Hingga batas manapun pemikiran tidak adanya tuhan tidak dapat diterima"[16].

Menjauh dari ajaran agama menampilkan keganjilan-keganjilan dalam tingkah laku manusia, seperti terlihat pada (a). Mencari agama khusus di supermarket, (b). Memperturutkan kehendak hawa nafsu merebut kelezatan hidup (hedonistik), (c). Neo paganisma, skeptisme, atheisme, rasialisme, penyembahan berhala baru berupa kokain, materialisme, dan konsumerisme total, (d).Menciptakan kemajuan yang dibangun diatas perbedaan ras, dan kelas penguasa, (e). Mayoritas penduduk dunia, mulai membatasi pandangan hakikat permasaalah sebatas pencapaian panca indera. (f). Agama dalam pandangan kalangan materialistik adalah khurafat, opium bangsa, bahaya persatuan, tanda penipuan diri, kelemahan logika (= politik atheisme aktif).

Bila umat Islam terbias oleh pandangan proyek modernisasi barat dengan meninggalkan pemahaman ajaran Islam yang dianut selama ini, maka ucapan Mohammad Abduh "Islam telah meninggalkan dunia Islam, karena walaupun ditemui banyak umat Islam, tetapi hanya sedikit di dapati pengamal agama (syari'at) Islam", tentu akan menjadi kenyataan.


9. Dekandensi Moral
Krisis dekadensi moral yang melanda tatanan pergaulan dunia berbentuk meningkatnya tindak krimanilitas, kecanduan alkohol, obat bius, penyimpangan-penyimpangan hubungan sexual, perlakuan buruk terhadap anak-anak, naiknya tingkat perceraian, free-will, penghormatan terhadap nilai orang tua sangat merosot, semuanya itu pasti berpengaruh besar kedepan.
Krisis moral ini akan menjadi kerugian generasi mendatang.

Krisis ini diperparah oleh jiwa skeptis, blok-blok rasialisme. Chauvinisme abad XIX mulai berkembang kembali. Penghancuran manusia melalui peperangan dan percobaan nuklir, dan penggunaan bahan bakar yang berlebihan, telah merampas kenikmatan dan kenyamanan hidup di dunia.

Nafsu hedonisme pada akhirnya menjadikan dekadensi moral menguras kekuatan, dan tidak mungkin memberikan nilai-nilai komprehensif kepada manusia.


Memperkuat Posisi Nagari
Tugas kembali kenagari, sesungguhnya adalah menggali kembali potensi dan asset nagari – yang terdiri dari budaya, harta, manusia, dan agama anutan anak nagari --, karena apabila tidak digali, akan mendatangkan kesengsaraan baru bagi masyarakat nagari itu. Dimulai dengan memanggil potensi yang ada dalam unsur manusia, masyarakat nagari.
Kesadaran akan benih-benih kekuatan yang ada dalam diri masing-masing, untuk kemudian observasinya dipertajam, daya pikirnya ditingkatkan, daya geraknya didinamiskan , daya ciptanya diperhalus, daya kemauannya dibangkitkan, dengan menumbuhkan atau mengembalikan kepercayaan kepada diri sendiri. “Handak kayo badikik-dikik, Handak tuah batabua urai, Handak mulia tapek-i janji, Handak luruih rantangkan tali, Handak buliah kuat mancari, Handak namo tinggakan jaso, Handak pandai rajin balaja. Dek sakato mangkonyo ado, Dek sakutu mangkonyo maju, Dek ameh mangkonyo kameh, Dek padi mangkonyo manjadi.”.

Tujuannya sampai kepada taraf yang memungkinkan untuk mampu berdiri sendiri dan membantu nagari tetangga secara selfless help, dengan memberikan bantuan dari rezeki yang telah kita dapatkan tanpa mengharap balas jasa, "Pada hal tidak ada padanya budi seseorang yang patut dibalas, tetapi karena hendak mencapai keredhaan Tuhan-Nya Yang Maha Tinggi". (Q.S. Al Lail, 19 - 20). Walaupun di depan terpampang kendala-kendala, namun optimisme banagari mesti selalu dipelihara, “Alah bakarih samporono, Bingkisan rajo Majopahik, Tuah basabab bakarano, Pandai batenggang di nan rumik”.
Sebagai masyarakat beradat dengan pegangan adat bersendi syariat dan syariat yang bersendikan Kitabullah, maka kaedah-kaedah adat dipertajam makna dan fungsinya oleh kuatnya peran surau yang memberikan pelajaran-pelajaran sesuai dengan syara’ itu, antara lain dapat di ketengahkan ;

1. Mengutamakan prinsip hidup berkeseimbangan
Karena ni’mat Allah, sangat banyak. “Dan jika kamu menghitung-hitung ni’mat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi maha Penyayang” (QS.16, An Nahl : 18). Hukum Syara’ menghendaki keseimbangan antara perkembangan hidup rohani dan jasmani ; "Sesungguhnya jiwamu (rohani-mu) berhak atas kamu (supaya kamu pelihara) dan badanmu (jasmanimu) pun berhak atasmu supaya kamu pelihara" (Hadist). Keseimbangan tampak dalam mewujudkan kemakmuran di ranah ini, “Rumah gadang gajah maharam, Lumbuang baririk di halaman, Rangkiang tujuah sajaja, Sabuah si bayau-bayau, Panenggang anak dagang lalu, Sabuah si Tinjau lauik, Birawati lumbuang nan banyak, Makanan anak kamanakan. Manjilih ditapi aie, Mardeso di paruik kanyang.
Sesuai bimbingan syara’, "Berbuatlah untuk hidup akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok dan berbuatlah untuk hidup duniamu, seolah-olah akan hidup selama-lamanya" (Hadist).


2. Kesadaran kepada luasnya bumi Allah, merantaulah !
Allah telah menjadikan bumi mudah untuk digunakan. Maka berjalanlah di atas permukaan bumi, dan makanlah dari rezekiNya dan kepada Nya lah tempat kamu kembali.
“Maka berpencarlah kamu diatas bumi, dan carilah karunia Allah dan (di samping itu) banyaklah ingat akan Allah, supaya kamu mencapai kejayaan", (QS.62, Al Jumu’ah : 10). Agar supaya “jangan tetap tertinggal dan terkurung dalam lingkungan yang kecil”, dan sempit (QS.4, An Nisak : 97). Karatau madang di hulu babuah babungo balun. Marantau buyuang dahulu di rumah paguno balun.
Ditanamkan pentingnya kehati-hatian, “Ingek sa-balun kanai, Kulimek sa-balun abih, Ingek-ingek nan ka-pai, Agak-agak nan ka-tingga”.


3. Mencari nafkah dengan "usaha sendiri"
Memiliki jati diri, self help dengan tulang delapan kerat dengan cara amat sederhana sekalipun "lebih terhormat", daripada meminta-minta dan menjadi beban orang lain, "Kamu ambil seutas tali, dan dengan itu kamu pergi kehutan belukar mencari kayu bakar untuk dijual pencukupkan nafkah bagi keluargamu, itu adalah lebih baik bagimu dari pada berkeliling meminta-minta". (Hadist).
Membiarkan diri hidup dalam kemiskinan tanpa berupaya adalah salah , "Kefakiran (kemiskinan) membawa orang kepada kekufuran (ke-engkaran)" (Hadist).

4. Tawakkal dengan bekerja dan tidak boros.
Tawakkal, bukan "hanya menyerahkan nasib" dengan tidak berbuat apa-apa, "Bertawakkal lah kamu, seperti burung itu bertawakkal" (Atsar dari Shahabat). Tak ada kebun tempat bertanam, tak ada pasar tempat berdagang. Tak kurang, setiap pagi terbang meninggalkan sarangnya dalam keadaan lapar, dan setiap sore kembali dalam keadaan "kenyang".


5. Kesadaran kepada ruang dan waktu
Peredaran bumi, bulan dan matahari, pertukaran malam dan siang, menjadi bertukar musim berganti bulan dan tahun, "Kami jadikan malam menyelimuti kamu (untuk beristirahat), dan kami jadikan siang untuk kamu mencari nafkah hidup". (QS.78, An Naba’ : 10-11), menanamkan kearifan akan adanya perubahan-perubahan.
Yang perlu dijaga ialah supaya dalam segala sesuatu harus pandai mengendalikan diri, agar jangan melewati batas, dan berlebihan,
“Ka lauik riak mahampeh, Ka karang rancam ma-aruih, Ka pantai ombak mamacah. Jiko mangauik kameh-kameh, Jiko mencancang, putuih – putuih, Lah salasai mangko-nyo sudah”. Artinya bekerja sepenuh hati, dengan mengerahkan semua potensi yang ada, dengan tidak menyisakan kelalaian ataupun ke-engganan. Tidak berhenti sebelum sampai, dan tidak berakhir sebelum benar-benar sudah.

Konsep Tata ruang yang Jelas
Nagari di Minangkabau berada di dalam konsep tata ruang yang jelas, Basasok bajarami, Bapandam bapakuburan, Balabuah batapian, Barumah batanggo, Bakorong bakampuang, Basawah baladang, Babalai bamusajik. Ba-balai (balairuang atau balai-balai adat) tempat musyawarah dan menetapkan hukum dan aturan, “Balairuang tampek manghukum, ba-aie janieh basayak landai, aie janiah ikan-nyo jinak, hukum adie katonyo bana, dandam agiae kasumaik putuih, hukum jatuah sangketo sudah”.
Ba-musajik atau ba-surau tempat beribadah, “Musajik tampek ba ibadah,tampek balapa ba ma’ana, tampek balaja al Quran 30 juz, tampek mangaji sah jo batal”[17], artinya menjadi pusat pembinaan umat untuk menjalin hubungan bermasyarakat yang baik (hablum-minan-naas) dan terjaminya pemeliharaan ibadah dengan Khalik (hablum minallah), maka adanya balairuang dan musajik (surau) ini menjadi lambang utama terlaksananya hukum[18] dalam “adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah., syara’ mangato adat nan kawi syara’ nan lazim”.


Kedua lembaga ini – balai adat dan surau – keberadaannya tidak dapat dipisah dan dibeda-bedakan, karena “Pariangan manjadi tampuak tangkai, pagarruyuang pusek Tanah Data, Tigo luhak rang mangatokan. Adat jo syara’ jiko bacarai, bakeh bagantuang nan lah sakah, tampek bapijak nan lah taban”. Apabila kedua sarana ini telah berperan sempurna, maka akan ditemui di kelilingnya tampil kehidupan masyarakat yang memiliki akhlaq perangai yang terpuji, dan mulia (akhlaqul-karimah) itu, “Tasindorong jajak manurun, tatukiak jajak mandaki, adaik jo syara’ kok tasusun, bumi sanang padi manjadi”.

Konsep tata-ruang ini adalah salah satu kekayaan budaya yang sangat berharga di nagari dan bukti idealisme nilai budaya di Minangkabau, termasuk di dalam mengelola kekayaan alam dan pemanfaatan tanah ulayatnya, “Nan lorong tanami tabu, Nan tunggang tanami bambu, Nan du’atn buek kaparak, Nan bancah jadikan sawah, Nan munggu pandam pakuburan, Nan gauang katabek ikan, Nan padang kubangan kabau, Nan rawang ranangan itiak”. Tata ruang yang jelas memberikan posisi peran pengatur, pemelihara dan pendukung sistim banagari yang terdiri dari orang ampek jinih (ninik mamak[19], alim ulama[20], cerdik pandai[21], urang mudo[22], bundo kanduang[23]).
Dengan demikian, terlihat bahwa nagari di Minangkabau tidak hanya sebatas pengertian ulayat hukum adat namun yang lebih mengedepan dan paling utama adalah wilayah kesepakatan antar berbagai komponen masyarakat di dalam nagari dengan spiritnya adalah ;

a. kebersamaan (sa-ciok bak ayam sa-danciang bak basi), ditemukan dalam pepatah “Anggang jo kekek cari makan, Tabang ka pantai kaduo nyo, Panjang jo singkek pa uleh kan, mako nyo sampai nan di cito.”

b. keterpaduan (barek sa-pikua ringan sa-jinjiang) atau “Adat hiduik tolong manolong, Adat mati janguak man janguak, Adat isi bari mam-bari, Adat tidak salang ma-nyalang”. Basalang tenggang, artinya saling meringankan dengan kesediaan memberikan pinjaman atau dukungan terhadap kehidupan dan “Karajo baiak ba-imbau-an, Karajo buruak bahambau-an”.

c. musyawarah (bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mupakat), dalam kerangka “Senteng ba-bilai, Singkek ba-uleh, Ba-tuka ba-anjak, Barubah ba-sapo”

d. keimanan kepada Allah SWT menjadi pengikat spirit yang menjiwai sunnatullah dalam setiap gerak mengenal alam keliling, “Panggiriak pisau sirauik, Patungkek batang lintabuang, Satitiak jadikan lauik, Sakapa jadikan gunuang, Alam takambang jadikan du’at ”. Alam di tengah-tengah mana manusia berada ini, telah diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan terkandung padanya faedah-faedah kekuatan, dan khasiat-khasiat yang diperlukan untuk memperkembang dan mempertinggi mutu hidup jasmani manusia, dengan keharusan berusaha membanting tulang dan memeras otak untuk mengambil sebanyak-banyak faedah dari alam sekelilingnya itu, menikmatinya, sambil mensyukurinya, dan beribadah kepada Ilahi.

e. kecintaan kenagari adalah perekat yang sudah dibentuk oleh perjalanan waktu dan pengalaman sejarah.[24] Menjaga dari pada melewati batas-batas yang patut dan pantas, jangan terbawa hanyut materi dan hawa nafsu yang merusak. Suatu bentuk persembahan manusia kepada Maha Pencipta, menghendaki keseimbangan antara kemajuan dibidang rohani dan jasmani. “Jiko mangaji dari alif, Jiko babilang dari aso, Jiko naiak dari janjang, Jiko turun dari tango”.

Sikap hidup (attitude towards life) sedemikian, menjadi sumber pendorong kegiatan penganutnya, juga di bidang ekonomi, dengan tujuan terutama untuk keperluan-keperluan jasmani (material needs). Hasilnya tergantung kepada dalam atau dangkalnya sikap hidup tersebut berurat dalam jiwa masyarakat nagari dan kepada tingkat kecerdasan yang telah dicapai.

Catatan :
[1] motivation of force
[2] borderless
[3] permissivisme
[4] anarkisme
[5] Lihat juga QS.Al Baqarah (2) ayat 257; QS.Al Maaidah (5) ayat 16; QS.Al Hadid (57) ayat 9; QS.Ath-Thalaq (65) ayat 11.

[6] QS.Al Maidah (5) ayat 67.
[7] QS.3:104.
[8] Rasulullah mencontohkan hidup ini seperti sebuah pelayaran diatas perahu, dengan aturan-atuiran yang terang. Tatkala seorang penumpang mencoba melobangi dinding perahu untuk mendapatkan air dengan cepat pada tempat duduknya, jangan dibiarkan saja perbuatan itu. Bila orang tak mau tahu dan bersikap membiarkan perbuatan itu, maka yang akan karam tidak hanya yang melobangi perahu semata, tetapi yang diam melihat (artinya enggan melaksanakan peran amar makruf) akan karam juga (Al Hadist).
[9] QS.Fush-shilat (41) ayat 33.
[10] QS.Ali Imran (3) ayat 112.
[11] QS.Al Anbiya’ (21) ayat 107.
[12] Diperlukan watak-watak, yang ditunjukkan oleh penda'wah pertama, Rasulullah SAW (Mohammad Natsir, Tausiyah 24 tahun Dewan Da’wah, Media Da’wah, Jakarta 1992, Da'wah kita adalah Da'wah Ila-Allah).

[13] (lihat QS. Al-Baqarah 120)
[14] Maka umat Islam di Indonesia mempunyai tugas sebagai pendukung risalah yang patut dan pantas dengan membulatkan semua tenaga, mengerahkan semua benda, menyatukan pemikiran untuk kemashalahatan umat banyak.
Bagi perjuangan politik dari kebanyakan partai politik di Indonesia yang tidak berdasarkan agama, sebenarnya selalu berisikan segmen keanggotaannya adalah penganut agama Islam juga.
Secara pasti penganut agama Islam dalam partai-partai yang tidak berdasarkan agama itu, tentulah akan selalu bersetuju melaksanakan perintah-aturan agamannya. Karena dalam kenyataannya, tidak akan pernah di temui adanya satu nilai yang mampu di letakkan diluar asas ajaran agama dalam melalui siklus kehidupan sehari-hari..
Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan oleh setiap warga negara Indonesia dengan kesadaran mendalam.
Kemerdekaan negara kesatuan ini adalah merupakan rahmat dan karunia Allah atas dasar “kalimatin sawa”, kata persamaan untuk segenap golongan bangsa.

[15] Al Hadist asy-Syarif.
[16] Richard Swanburn, Oxford,Wujud Allah, 1979
[17] Memang di surau tidak ada yang dapat di cari benda-benda (materi), kecuali hanya bekal ilmu, hikmah dan kepandaian-kepandaian untuk mengharungi hidup di dunia ini, dan dalam mempersiapkan hidup di akhirat. Sebagai terungkap di dalam Peribahasa Minangkabau, “bak batandang ka surau”, karena memang surau tak berdapur (Anas Nafis, 1996:464 -Surau-2).
[18] Oleh H.Idrus Hakimy Dt. Rajo Pengulu dalam Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, menyebutkan kedua lembaga – balairung dan mesjid – ini merupakan dua badan hukum yang disebut dalam pepatah : “Camin nan tidak kabuah, palito nan tidak padam” (Dt.Rajo Pengulu, 1994 : 62).
[19] Penghulu pada setiap suku, yang sering juga disebut ninik mamak nan gadang basa batuah, atau nan di amba gadang, nan di junjung tinggi, sebagai suatu legitimasi masyarakat nan di lewakan.
[20] Bisa juga disebut dengan panggilan urang siak, tuanku, bilal, katib nagari atau imam suku, dll dalam peran dan fungsinya sebagai urang surau pemimpin agama Islam. Gelaran ini lebih menekankan kepada pemeranan fungsi ditengah denyut nadi kehidupan masyarakat (anak nagari).
[21] Bisa saja terdiri dari anak nagari yang menjabat jabatan pemerintahan, para ilmuan, perdu’atan tinggi, hartawan, dermawan.
[22] Para remaja, angkatan muda, yang dijuluki dengan nan capek kaki ringan tangan, nan ka disuruah di sarayo.
[23] Kalangan ibu-ibu, yang sesungguhnya ditangan mereka terletak garis keturunan dalam sistim matrilinineal dan masih berlaku hingga saat ini, lebih jelasnya di ungkap di dalam Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang di Minangkabau, adalah menjadi “limpapeh rumah nan gadang,umbun puruak pegangan kunci, pusek jalo kumpulan tali, sumarak dalam nagari, nan gadang basa batuah” (Idrus Hakimy, 1997 : 69 – 116)
[24] Bukti kecintaan kenagari ini banyak terbaca dalam ungkapan-ungkapan pepatah hujan ameh dirantau urang hujang batu dinagari awak, tatungkuik samo makan tanah tatilantang samo mahiruik ambun.