Jumat, 09 Mei 2008

Akidah Tauhid Sumber Kekuatan di Minangkabau

AQIDAH TAUHID DAN UKHUWWAH ISLAMIYAH
SUMBER KEKUATAN DI MINANGKABAU


Oleh : H. Mas’oed Abidin


Goresan sejarah membuktikan bahwa kekerabatan yang mendalam itu, telah memberi kekuatan melaksanakan da'wah amar ma'ruf nahi munkar, ditengah berbagai tekanan dan pemaksaan kehendak.


Di Bukittinggi (Fort de Kock), pada tanggal 19 Agustus 1928 berlangsung satu rapat besar "Majlis Permusyawara¬tan Ulama Minangkabau" pertama. Dihadiri 800 ulama ulama, dan 200 utusan utusan dari 115 Persyarikatan Ummat Islam di Minangkabau.

Musyawarah Besar Minangkabau ini menelorkan MOSI MENOLAK GURU ORDONANSI 1925 yang terkenal itu.

Tiga bulan berikut, 3 - 4 Nopember 1928, di tempat yang sama, Surau Inyiak Jambek, berlangsung lagi Permusyawaratan Ulama Mingakabau Kedua.
Jumlah yang hadir lebih banyak,1500 orang.
Inilah buah dari keakraban iman.


Mungkin di waktu peristiwa besar itu, sebagian besar dari kita belum lahir.
Namun dapat membaca kembali di dalam buku PERINGATAN (Verslag) dari Majelis Permusyawaratan Oelama Minangkabau, dikumpulkan oleh A. 'Imran Djamil dan H. Abdul Malik Karim (Hamka), diterbitkan oleh Boekhandel en Taman Poestaka "Summatera Thawalib" Fort de Kock, di cetak pada Snelpers Drukkerij Gebr. "LIE" Fort de Kock, 1928.

Disebutkan di dalamnya bahwa para ulama, intelektual dan pemimpin Ummat Islam, Ninik Mamak dan Muslimat di Minangkabau telah biasa berjuang membentengi Adat dan Agama di Minangkabau.

Dapat dibuktikan dengan terbitnya satu Seroean dan Harapan yang ditujukan kepada pemerintah (Penguasa Hindia Belanda) pada tahun 1941.

Seruan itu diterbitkan berkenan dengan undang undang yang dikeluarkan oleh Resident Sumatera Barat ten¬tang "Verordening betreffende vergrijpen tegen de adat" atau "Aturan tentang melanggar adat" yang berdampak menghilangkan "nilai nilai adat itu sendiri".

Yang sangat menarik dari seruan pemimpin ummat Islam Minangkabau (Sumatera Barat) tersebut adalah persatuan yang mereka miliki.

Penanda tanganan seraun itu terdiri dari lima orang ulama besar.
Mereka adalah Syeikh Daoed Rasyidi, Syeik Mohammad Djamil Djambek, Syeik Mohammad Dajmil Djaho, Syeikh Sulaiman ar Rasoeli, dan Syeik Ibrahim Moesa.
Kemudian ada pula lima orang Ninik Mamak Alam Minangkabau, yaitu Dt. Simarajo Simabur Pariangan Padang panjang, Datuk Maharajo Dirajo Batipuh, Datuk Tungga Air Angat, Datuk Bandaro Sati bukit Surungan, dan Datuk Majo Indo Batu Sangkar.
Diperkuat oleh para intelektual, organisator, para pendiri pendidikan, saudagar (pedagang), yang dapat digolongkan cendikiawan di masa itu.
Tokoh tokoh berbobot di zaman itu adalah A.R. St. Mansoer (Muhammadiyah), Anwar (Bank Nasional), S.J. St. Mangkoeto (Bank Moeslimin Indonesia), Rky. Rahmah el Junu¬sijjah (Muslimat, Diniyah Putri), A. Kamil dan Zoelkarnaini (Angkatan Moeda Muhammadiyah yang kemudian dikenal dengan panggilan Buya Zoel.

Ini gambaran nyata dari kuatnya ikatan “tungku tigo sajarangan” atau “tali nan sapilin tigo” di Minangkabau dalam menghadapi sikap arogansi para penjajah ranah bundo.
Hasil nyata dari Seruan bertanggal 1 Januari 1941 itu adalah, Resident Sumatera Barat tidak jadi mengeluarkan undang undang yang membatasi wewenang adat ini. (lihat Typ. Tandikat PP 1941).

Hasil besar ini di perdapat karena adanya satu landasan kuat.
Kekuatan Tauhid, Aqidah Islamiyah yang di dukung oleh persa¬tuan dan Ukhuwah Islamiyah serta rasa kekeluargaan jua adanya.

Soal persatuan dan kesatuan semata mata bukanlah soal ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak hanya semata masalah HAM dan demokratisasi.
Tidak bisa dibantah, bahwa ruh persatuan dan kesatuan itu akan berpengaruh besar bagi perkembangan iptek maupun HAM dan demokratisasi itu.

Persatuan adalah aplikasi dari Tauhid (iman), yang akan mampu melahirkan "persaudaraan".


Bersaudara tumbuh dari adanya Keimanan Kepada Allah.
Sekaligus adalah aplikasi dari Ad Dinul Islam.
Konsekwensinya bila keimanan Tauhid melemah, maka akan hilanglah pula "rasa bersau-dara".

Punahnya rasa bersaudara ini dampaknya ikatan persatuan akan menjadi lemah.
Persatuan yang sesungguhnya tidak bisa di beli dengan uang ataupun materi. Soal persatuan adalah soal hati (qalb).

Tujuan yang akan di capai sebagai khittah yang telah digariskan terpulang kepada nawaitu yang telah diniat¬kan oleh hati.
Di sinilah terdapat kemurnian (pure, kebersihan) amal perbuatan untuk mencapai tujuan sesuai yang diikhlaskan (bersih) hati.

Bukanlah niat kita untuk sekedar membalik balik lembar sejarah dalam memenuhi hasrat nostalgia.
Tujuan kita sudahlah jelas.
Wijhah itu adalah satu.
Yaitu "keridhaan Allah" semata.

Keridhaan Allah itu lah bagi kita yang menjadi motivasi bagi mewujudkan amal nyata "membentuk masyarakat utama" (khaira ummah) yang memotivasi kita untuk memilih berbuat atau tidak berbuat, bahkan memotivasi untuk bertindak dan kalau perlu adamasanya mesti diam.

Mencari keridhaan Allah yang di pegang oleh setiap mukmin, adalah menjadi tujuan hidup dan menjadi tujuan mati, dan menjadi ikatan pemersatu ummat.

Sebelum satu program yang dihasilkan bisa diwujudkan dalam satu langkah oleh satu ummat di dalam Persyarikatan Muhammadiyah, kerja nomor satu adalah menyatukan wijhah yakni keredhaan Allah.

Bukan keredhaan orang lain.
Bukan pula asal aku senang, atau juga tidak karena demi golongan.

Perlu disimak kembali pesan Bapak M. Natsir, "carilah keredhaan Allah Yang Satu, supaya kita dapat bersatu".
Dan Ki Bagus Hadikusumo, 50 tahun silam mengatakan, "jangan cari benda benda bertebaran, nanti kita akan bertebaran lantarannya".
Ini suatu agenda besar bagi "ummat utama", yakni Ummat Muhammad Shallallahu 'alaihi Wassalam.

Apabila perpegangan ini tetap adanya dalam setiap tindak tanduk perjuangan, Insya Allah akan terhindar dari perpecahan (tafarruq) dan terjauh pula dari tanazu' (sikut menyikut).
Yang akan lahir adalah perlombaan sehat dan jujur (fastabiqul khairaat).

Ada lagi yang berbahaya, berobah niat di tengah perjalanan.
Apa yang tadi telah dirumuskan semula menjadi kabur tak terbaca.
Pada awalnya hendak menanam "cinta dan Takut kepada Allah" berubah menjadi "cinta kekuasaan dan takut mati".
Yang diniatkan pada awalnya "dakwah Ilallah" (mengajak ummat utama kepada Allah), berobah tumbuh menjadi "dakwah ghairullah (kepentingan diri, jual tampang untuk aku).

Perbuatan 'aku isme" atau "ananiyah" akan menyuburkan tafarruq dan tanazu' itu.
Ada beberapa tindakan yang mungkin dilakukan segera.

Pertama. Melakukan introspeksi di kalangan kita sendiri.
Mulai dari kelompok yang terkecil, bahkan keluarga.
Masihkah prinsip prinsip utama masih dipertahankan.

Kedua. Masing masing berusaha mengambil inisiatif dan aktif untuk mengikat kembali tali ukhuwah, kekerabatan dan kekeluargaan di antara keluarga tanpa gembar gembor, namun secara jujur dalam mengatasi satu dua persoalan di tengah ummat yang kita pandu.

Ketiga, Memelihara kesempatan kesempatan yang ada dan tersedia dalam melakukan tatanan kekerabatan di tengah "keluarga" kita, dengan memperbesar frekwensi pertukaran fikiran secara informal dalam berbagai masalah ummat, dalam suasana jernih, tenang dan bersih serta tidak berprasangka.

Keempat, Berusaha mencari titik titik pertemuan (kalimatun sawa) di antara kalangan kita, antara kalangan dan pribadi pribadi para intelektual muslim (zu'ama), para pemegang kendali sistim *umara), dan para ikutan ummat utama, para ulama dan aktifis pergerakan baik tua maupun muda, dalam ikatan iakatan yang tidak tegang dan kaku, karena kekuatan terletak pada keluwesan pikiran dan keteguhan prinsip.

Kelima, Menegakkan secara sungguh dan bertanggung jawab Nizhamul Mujtama' (tata hidup bermasyarakat) diatas dasar 'Aqidah Islamiyah dan Syari'ah, dengan memelihara mutu ibadah di kalangan ummat utama, Mu'amalah (sosial, ekonomi, siyasah) dan Akhlak (pemeliharaan tata nilai melelui pendidikan dan kaderisasi yang terarah).

Ummat utama tidak bisa ditegakkan dan di bentengi secara dadakan.
Hanya mungkin dilakukan melalui didikan, latihan, ujian lahir dan bathin, setaraf demi setaraf.
Mengutamakan perbaikan dari dalam.***

Tidak ada komentar: