Selasa, 16 September 2008

Masjid Bingkudu Ampek Angkek Canduang

Wisata Budaya Kab. agam | Kamis, 21/08/2008 13:52 WIB

MESJID BINGKUDU EMPAT ANGKAT CANDUNG

klik untuk melihat foto

MASJID Bingkudu terletak di
Dusun/Kampung Tigasuro, Desa
Lima Suku Bawah, Kecamatan
Empat Angkat Cadung, Kabupaten
Agam, Provinsi Sumatera Barat.
Bangunan masjid terletak pada
ketinggian 1.050 m di at

Pada tahun 1957 dilakukan penggantian atap ijuk dengan atap seng oleh masyarakat setempat. Pada tahun anggaran 1991/1992 dilakukan pemugaran oleh Proyek Pelestarian dan Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera Barat dengan jenis pekerjaan pembongkaran dan pemasangan kembali atap, plafon rangka atap, jendela, menara dan tangga menara. Kemudian pemugaran satu buah makam dan tempat wudlu, mimbar, mihrab, kolam, pemasangan penangkal petir pada menara, penataan lingkungan, pengecatan, serta pembuatan pintu gerbang. Masjid Bingkudu diperkirakan berdiri pada tahun 1823 diprakarsai oleh Inyik Lareh Candung gelar Inyik Basa (H Salam). Pendirian masjid merupakan hasil kesepakatan dari empat delegasi yang mewakili daerah sekitar Bingkudu, juga merupakan masjid yang tertua dan terbesar di daerah Bingkudu. Definis Bangunan Masjid Bingkudu terletak di atas sebidang tanah yang lebih rendah dari sekitarnya berukuran 60 x 60 m, berdenah bujur sangkar dengan ukuran bangunan 21 x 21 m dan bangunan masjid aslinya berbahan kayu dan atap ijuk. Bangunan berbentuk panggung menggunakan konstruksi atap susun tiga. Tinggi keseluruhan dari permukaan tanah +- 19 m dan mempunyai kolong setinggi +- 1,50 m. Pintu masuk terletak di sebelah timur. Ruang utama Bangunan utama masjid berdenah bujur sangkar berukuran 21 x 21 m terbuat dari kayu (tiang) dan papan (dinding, lantai), beratap susun tiga dari ijuk. Bangunan berbentuk panggung dengan tinggi kolong 1,50 m dan tinggi bangunan sampai puncak 19 m. Di bagian depan terdapat teras yang menghubungkan dengan bangunan menara. Di dalam teras juga terdapat sebuah bedug berukuran panjang 3,10 m, diameter 60 cm, terbuat dari pohon kelapa.Mihrab masjid terdapat di sebelah barat menjorok keluar dari bangunan utama. Mimbar masjid tidak terdapat di dalamnya, tetapi terletak di depannya. Mimbar terbuat dari ukiran kayu dengan hiasan warna keemasan dibuat tahun 1906, berbentuk huruf 'L.' Memiliki tangga naik menghadap ke depan dan tangga turun mengarah kesamping. Pada bagian kiri dan kanan tangga tersebut terdapat pipi tangga berukir dengan motif sulur-suluran. Pada mahkota mimbar terukir kaligrafi, dan pada bagian atas juga ditemukan tulisan angka 1316 H (1906 M).Pintu masuk ruang utama terdapat di sebelah timur. Di dalamnya terdapat 53 buah tiang berdiameter antara 30-40 cm dengan bentuk segi duabelas dan enambelas, juga terdapat sebuah tiang sebagai tonggak macu yang terdapat di tengah-tengah berbentuk segi enambelas berdiameter 75 cm. Di dalam masjid terdapat sebuah lampu gantung kuno dan beberapa buah lampu dinding kuno yang terpasang pada tiang-tiang masjid. Hiasan ukiran terdapat pada tiang-tiang bagian atas dan pada balok pengikat antara satu tiang dengan tiang lainnya merupakan kekhasan Masjid Bingkudu.

Menara Masjid Bingkudu berdiri pada tahun 1957, terletak di depan bangunan utama yang berbentuk segi delapan dengan atap kubah. Tinggi menara 11 m dan memiliki 21 anak tangga yang memutar ke arah kiri mengelilingi tiang utama yang terdapat di tengah-tengah. Menara tersebut merupakan menara pengganti (baru) yang sebelumnya terdapat terpisah di sebelah utara bangunan utama. Sedangkan menara lama dahulunya memiliki 100 anak tangga, karena tersambar petir, bangunan menara dipotong dan dinamai menara bulat dan difungsikan sebagai rumah garin dan tempat musyawarah tokoh masyarakat sekitarnya.

Tempat wudlu terdapat di selatan masjid berbentuk segi panjang dan tertutup. Selain itu, di sebelah selatan dan barat terdapat kolam. Sebuah makam yang terdapat di kompleks masjid adalah makam seorang ulama yang berpengaruh di daerah ini yaitu Syekh Ahmad Taher meninggal pada tanggal 13 Juli 1962.

Istano Silinduang Bulan di Pagaruyuang Batusangka

Wisata Budaya Kab. Tanah Datar | Kamis, 21/08/2008 13:35 WIB

Istano Silinduang Bulan
klik untuk melihat foto

Terletak di pusat kerajaan pagaruyung. Istana yang berukuran 28 x 8 meter disebut juga rumah Gadang Sembilan Ruang.

Istana ini didirikan di tapak istana lama yang terbakar tahun 1966 atau sekitar dua kilometer sebelah utara Istana Basa(terbakar 2007). Istano Silinduang Bulan yang sekarang merupakan replika yang sudah dibangun ulang untuk menggantikan istana lama yang terbakar

Berdasarkan Silsilah Ahli Waris Daulat yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung, Daulat Yang Dipertuan Sultan Tangkal Alam Bagagar Syah yang dikenal juga dengan panggilan Yang Dipertuan Hitam mempunyai empat orang saudara; Puti Reno Sori, Tuan Gadih Tembong, Tuan Bujang Nan Bakundi dan Yang Dipertuan Batuhampar, hasil perkawinan dari Daulat yang Dipertuan Sultan Alam Muningsyah (II) yang juga dikenal dengan kebesarannya Sultan Abdul Fatah Sultan Abdul Jalil (I) dengan Puti Reno Janji Tuan Gadih Pagaruyung XI.

Daulat Yang Dipertuan Sultan Tangkal Alam Bagagar Syah menikah pertama kali dengan Siti Badi’ah dari Padang mempunyai empat orang putera yaitu: Sutan Mangun Tuah, Puti Siti Hella Perhimpunan, Sutan Oyong (Sutan Bagalib Alam) dan Puti Sari Gumilan.

Dengan isteri keduanya Puti Lenggogeni (kemenakan Tuan Panitahan Sungai Tarab) mempunyai satu orang putera yaitu Sutan Mangun (yang kemudian menjadi Tuan Panitahan SungaiTarab salah seorang dari Basa Ampek Balai dari Kerajaan Pagaruyung).Sutan Mangun menikah dengan Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung ke XIII (anak Puti Reno Sori Tuan Gadih Pagaruyung XII dan kemenakan kandung dari Sultan Alam Bagagarsyah).

Dengan isteri ketiganya Tuan Gadih Saruaso (kemenakan Indomo Saruaso, salah seorang Basa Ampek Balai Kerajaan Pagaruyung) mempunyai putera satu orang: Sutan Simawang Saruaso (yang kemudian menjadi Indomo Saruaso).

Dengan isteri keempatnya Tuan Gadih Gapuak (kemenakan Tuan Makhudum Sumanik) mempunyai putera dua orang yaitu Sutan Abdul Hadis (yang kemudian menjadi Tuan Makhudum Sumanik salah seorang Basa Ampek Balai dari Kerajaan Pagaruyung) dan Puti Mariam. Sutan Abdul Hadis mempunyai delapan orang putera yaitu: Sutan Badrunsyah, Puti Lumuik, Puti Cayo Lauik, Sutan Palangai, Sutan Buyung Hitam, Sutan Karadesa, Sutan M.Suid dan Sutan Abdulah. Puti Mariam mempunyai dua orang putera : Sutan Muhammad Yakub dan Sutan Muhammad Yafas (kemudian menjadi Tuan Makhudum Sumanik)

Adik perempuan dari Daulat Sultan Alam Bagagarsyah yaitu Puti Reno Sori yang kemudian dinobatkan menjadi Tuan Gadih Pagaruyung XII menikah dengan saudara sepupunya Daulat Yang Dipertuan Sultan Abdul Jalil Yamtuan Garang Yang Dipertuan Sembahyang II Raja Adat Pagaruyung, mempunyai seorang puteri yaitu Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung XIII. Puti Reno Sumpu dengan suami pertamanya Sutan Ismail Raja Gunuang Sahilan mempunyai seorang puteri: Puti Sutan Abdul Majid. Sedangkan dengan suami keduanya: Sutan Mangun Tuan Panitahan Sungai Tarab (putera dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai seorang puteri: Puti Reno Saiyah Tuan Gadih Mudo (Tuan Gadih ke XIV).

Puti Reno Saiyah ini menikah dengan Sutan Badrunsyah Penghulu Kepala Nagari Sumanik (putera dari Sutan Abdul Hadis dan cucu dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera empat orang yaitu: Puti Reno Aminah Tuan Gadih Hitam Tuan Gadih Ke XV, Puti Reno Halimah Tuan Gadih Kuniang, Puti Reno Fatimah Tuan Gadih Etek dan Sultan Ibrahim Tuanku Ketek.

Puti Reno Aminah dengan suami pertamanya Datuk Rangkayo Basa, Penghulu Kepala Nagari Tanjung Sungayang mempunyai seorang puteri: Puti Reno Dismah Tuan Gadih Gadang (Tuan Gadih Pagaruyung XVI) dan dengan suami keduanya Datuk Rangkayo Tangah dari Bukit Gombak mempunyai putera satu orang: Sutan Usman Tuanku Tuo.

Puti Reno Dismah Tuan Gadih Gadang menikah dengan Sutan Muhammad Thaib Datuk Penghulu Besar (ibunya Puti Siti Marad adalah cucu dari Sutan Abdul Hadis dan cicit dari Sultan Alam Bagagarsyah, sedangkan ayahnya Sutan Muhammad Yafas adalah anak dari Puti Mariam dan cucu dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera enam orang: Puti Reno Soraya Thaib, Puti Reno Raudhatuljannah Thaib, Sutan Muhammad Thaib Tuanku Mudo Mangkuto Alam, Puti Reno Yuniarti Thaib, Sutan Muhammad Farid Thaib, Puti Reno Rahimah Thaib.

Sutan Usman Tuanku Tuo menikah dengan Rosnidar dari Tiga Batur (cicit dari Sutan Mangun anak Sutan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera delapan orang: Puti Rahmah Usman, Puti Mardiani Usman, Sutan Akmal Usman Khatib Sampono, Sutan M .Ridwan Usman Datuk Sangguno, Sutan Rusdi Usman Khatib Muhammad, Puti Rasyidah Usman, Puti Widya Usman, Sutan Rusman Usman, Puti Sri Darma Usman.
Puti Reno Halimah Tuan Gadih Kuniang tidak mempunyai putera.

Puti Reno Fatimah Tuan Gadih Etek menikah dengan Ibrahim Malin Pahlawan dari Bukit Gombak mempunyai putera tiga orang: Puti Reno Nurfatimah Tuan Gadih Angah, Puti Reno Fatima Zahara Tuan Gadih Etek dan Sutan Ismail Tuanku Mudo.
Puti Reno Nurfatimah Tuan Gadih Angah menikah dengan Sy.Datuk Marajo dari Pagaruyung mempunyai seorang putera : Sutan Syafrizal Tuan Bujang Muningsyah Alam.

Puti Reno Fatima Zahara menikah dengan Sutan Pingai Datuk Sinaro Patiah Tanjung Barulak (adalah cicit dari Puti Fatimah dan piut dari Sultan Abdul Jalil Yamtuan Garang Yang Dipertuan Sembahyang) mempunyai putera delapan orang: Sutan Indra Warmansyah Tuanku Mudo Mangkuto Alam, Sutan Indra Firmansyah, Sutan Indra Gusmansyah, Puti Reno Endah Juita, Sutan Indra Rusmansyah, Puti Reno Revita, Sutan Nirwansyah Tuan Bujang Bakilap Alam, Sutan Muhammad Yusuf.

Sutan Ismail Tuanku Mudo menikah dengan Yusniar dari Saruaso (adalah cicit dari Yam Tuan Simawang anak Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera tujuh orang: Sutan Fadlullah, Puti Titi Hayati, Sutan Satyagraha, Sutan Rachmat Astra Wardana, Sutan Muhammad Thamrinul Hijrah, Puti Huriati, Sutan Lukmanul Hakim.

Sutan Ibrahim Tuanku Ketek dengan isteri pertamanya Dayang Fatimah dari Batipuh (kemenakan Tuan Gadang Batipuh) mempunyai seorang putera: Sutan Syaiful Anwar Datuk Pamuncak; dengan istri keduanya Nurlela dari Padang mempunyai seorang putera: Sutan Ibramsyah dan isteri ketiganya Rosmalini dari Buo mempunyai puteri dua orang: Puti Roswita dan Puti Roswati.

Dari kutipan Silsilah Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung dapat dilihat bahwa ahli waris baik berdasarkan garis matrilineal maupun patrilineal adalah anakcucu dari Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung ke XIII yang sampai sekarang mewarisi dan mendiami Istano Si Linduang Bulan di Balai Janggo Pagaruyung Batusangkar.

Setelah mamaknya Sultan Alam Bagagarsyah ditangkap Belanda pada tanggal 2 Mei 1833 dan dibuang ke Batavia dan ayahnya Daulat Yang Dipertuan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang mangkat di Muara Lembu, maka Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu dijemput oleh Datuk-datuk Yang bertujuh untuk kembali ke Pagaruyung melanjutkan tugas mamak dan sekaligus tugas ayahnya sebagai Raja Alam dan Raja Adat.

Sesampainya di Pagaruyung, ternyata tidak ada lagi istana yang berdiri di Pagaruyung karena telah dibumi hanguskan. Kemudian pemerintah Belanda menawarkan bantuan untuk mendirikan istananya di Gudam atau di Kampung Tengah atau di Balai Janggo. Beliau memilih mendirikan istananya di Balai Janggo dengan alasan dekat dengan padangnya, Padang Siminyak (diceritakan oleh cucu beliau Puti Reno Aminah Tuan Gadih Hitam kepada penulis). Nama Istana Si Linduang Bulan kembali dipakai (nama istana tempat kediaman Raja Pagaruyung sejak dulu) untuk nama istana yang baru itu, sekaligus sebagai pengganti dari istana-istana raja Pagaruyung yang terbakar semasa Perang Paderi.

Istana Si Linduang Bulan ini kemudian terbakar lagi pada tanggal 3 Agustus 1961. Atas prakarsa Sutan Oesman Tuanku Tuo ahli waris Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung beserta anak cucu dan keturunan; Tan Sri Raja Khalid dan Raja Syahmenan dari Negeri Sembilan, Azwar Anas Datuk Rajo Sulaiman, Aminuzal Amin Datuk Rajo Batuah, bersama-sama Sapiah Balahan, Kuduang Karatan, Timbang Pacahan, Kapak Radai dari Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung serta Basa Ampek Balai dan Datuk Nan Batujuh Pagaruyung, Istana Si Linduang Bulan dibangun kembali dan diresmikan pada tahun 1989.

Minggu, 17 Agustus 2008

Mohamad Natsir menurut tulisan Peneliti LIPI di Kompas

Supaya lebih jelas dan tidak keliru atas tulisan Asvi Warman Adam saya
postingkan tulisannya di kompas tanngal 17 Juli 2008 , diambil dari
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/17/00452911/natsir.pahlawan

----


Natsir Pahlawan Nasional Jul 20, '08 10:25 AM

Oleh Asvi Warman Adam

Tanggal 17 Juli 2008, tepat 100 tahun kelahiran Mohammad Natsir. Kali
ini, peringatan tidak hanya mengenang pemikiran dan kepribadian tokoh
yang bersih dan konsisten, tetapi ada usul untuk mengangkatnya sebagai
pahlawan nasional.

Mohammad Natsir berjasa mengembalikan bentuk pemerintahan federal
menjadi negara kesatuan. Ia yang prihatin dengan proses disintegrasi
negara-bangsa berpidato pada sidang DPR Republik Indonesia Serikat
(RIS) tanggal 3 April 1950 yang dikenal sebagai Mosi Integral Natsir.

Negara kesatuan

Ia mengusulkan agar RIS melebur kembali menjadi negara kesatuan
Republik Indonesia. Atas jasanya, Soekarno meminta Natsir untuk
membentuk kabinet yang pertama dari negara kesatuan Republik Indonesia
(1950-1951). Dalam pemilu pertama 1955, ia berprestasi memimpin
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) meraih suara nomor dua
terbanyak setelah PNI (Partai Nasional Indonesia).

Jika kita berbicara tentang etika politik, itu sudah ditunjukkan
Natsir. Ia bisa berdebat sengit dengan Ketua PKI DN Aidit di dalam
sidang, setelah itu berbincang ringan sambil meminum secangkir kopi.
Kehidupan yang asketis juga dijalani politikus Muslim kaliber
internasional ini.

Bila kita kini melihat mobil- mobil mewah diparkir di pelataran gedung
DPR, Natsir menolak ketika seorang pengusaha memberi hadiah sebuah
mobil Chevrolet Impala yang saat itu tergolong mentereng. Padahal, di
rumahnya hanya ada sebuah mobil tua, De Soto.

Ia berpolitik secara santun dan berdakwah tanpa kekerasan. Ia
politikus yang hidup bersahaja. Ia santun terhadap Soekarno dan
bersikap correct terhadap Soeharto. Pada awal Orde Baru ia berjasa
mengirim nota kepada Tunku Abdurrachman dalam rangka pencairan
hubungan diplomatik dengan Malaysia.

Ia mengontak Pemerintah Kuwait agar mau menanamkan modal di Indonesia
dan meyakinkan pemerintahan Jepang tentang kesungguhan Orde Baru
membangun ekonomi. Ironisnya, imbalan yang diberikan penguasa adalah
larangan baginya untuk kembali ke pentas politik.

Pahlawan nasional?

Masalahnya, layakkah ia diangkat sebagai pahlawan nasional? Dalam
kriteria pahlawan nasional ada klausul, orang itu tidak pernah cacat
dalam perjuangannya. Selama Orde Baru kriteria itu digunakan tanpa
ukuran yang jelas. Kabarnya Sanusi Hardjadinata, tokoh PNI, mantan
Menteri era Soekarno dan Gubernur Jawa Barat saat berlangsung
Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955, ditolak menjadi
pahlawan nasional karena pernah menandatangani Petisi 50.

Alasan itu terasa berlebihan karena petisi yang dikeluarkan 50 tokoh
nasional tahun 1980 itu merupakan sikap kritis atas pernyataan
Presiden Soeharto yang otoriter terhadap mereka yang mencoba mengubah
Pancasila dan UUD 1945. Natsir menandatangani petisi itu, juga Sanusi
Hardjadinata, Hugeng, Ali Sadikin, SK Trimurti, dan banyak tokoh lain.
Alasan ini seyogianya tidak digunakan untuk menolak pencalonan
pahlawan nasional.

Petisi jelas berbeda dengan pemberontakan, meskipun Soeharto
menanggapi dengan tindak kekerasan senada. Sebenarnya, yang
memberatkan Natsir adalah keterlibatannya dalam Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958 dan meningkat dengan
pembentukan Republik Persatuan Indonesia (RPI) tahun 1960 yang terdiri
dari 10 negara bagian seperti Republik Islam Aceh dan Republik Islam
Sulawesi Selatan (Audrey dan George Kahin, 1997: 381)

Sjafruddin Prawiranegara

Tahun lalu, Sjafruddin Prawiranegara juga diproses sebagai calon
pahlawan nasional. Namanya lolos seleksi Badan Pembina Pahlawan Pusat.
Namun, usulan ini kandas di tangan Presiden. Tampaknya keterlibatan
Sjafruddin Prawiranegara dalam sebuah pemberontakan tetap tidak bisa
ditolerir kepala negara.

Padahal, Sjafruddin Prawiranegara memiliki jasa besar terhadap negara.
Apa jadinya Indonesia bila Sjafruddin tidak memimpin Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI), pemerintahan gerilya yang bergerak
di Sumatera. Tentu terjadi kevakuman pemerintahan, atau republik
mengalami mati suri sesaat.

Saat ini, pemerintah hanya menetapkan terbentuknya PDRI sebagai hari
bela negara. Selain bintang jasa tertinggi yang diterima, namanya
diabadikan pada dua gedung yang berseberangan di Jl Budi Kemuliaan
Jakarta (di kompleks Bank Indonesia dan satu lagi di Departemen
Pertahanan karena Sjafruddin pernah memimpin kedua instansi ini).

Warga Minangkabau tentu bangga bila pemangku adat Mohammad Natsir yang
bergelar Datuk Sinaro Panjang menjadi pahlawan nasional. Namun, bila
ketentuan menegaskan, tokoh yang terlibat pemberontakan tidak memenuhi
syarat, dengan jiwa besar harus menerimanya. Bukankah Natsir telah
mendapat penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana yang
diberikan semasa pemerintahan Habibie. Meski itu bukan gelar pahlawan
nasional, biarlah asketisme hidupnya senantiasa dikenang masyarakat
dan kebersahajaan beliau menjadi contoh bagi kita semua terutama para
pemimpin di negeri ini.

Asvi Warman Adam Ahli Peneliti Utama LIPI

Ekonomi dalam gagasan Mohamad Hatta cocok dengan zaman kini

12/08/08 23:27
Sistem Ekonomi Bung Hatta Cocok dengan Kondisi Saat Ini

Jakarta (ANTARA News) - Sistem Ekonomi yang diusung oleh proklamator
Indonesia Muhammad Hatta masih cocok dengan kondisi saat ini bahkan bisa
menjawab kesejahteraan bagi rakyat kecil.

Hal tersebut diungkapkan oleh Anwar Abbas, pengarang buku "Bung Hatta dan
Ekonomi Islam, Pergulatan Menangkap Makna Keadilan dan Kesejahteraan" dalam
peluncuran buku tersebut di Jakarta, Selasa.

Anwar melihat sistem perekonomian global dan Indonesia belum dan semakin
tidak berpihak kepada rakyat miskin.

"Stiglitz (pemenang nobel Joseph E Stiglitz) mengatakan sistem ekonomi hari
ini kurang berpihak kepada rakyat miskin karena itu perlu sistem ekonomi
alternatif," kata Dosen Ekonomi Islam Fakultas Syariah Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Anwar mengatakan sistem ekonomi yang diusung Bung Hatta bisa menjawab hal
itu.

"Bagaimana pemerintah mempunyai komitmen menyelenggarakan ekonomi
berkeadilan dan bisa menyejahterakan rakyat. Saya lihat pemerintah sudah
berusaha tapi tidak maksimal," kata Ketua Majelis Ekonomi Pengurus Pusat
Muhammadiyah itu.

Anwar melihat apabila pemerintah benar-benar menerapkan sistem perekonomian
seperti pada Pasal 27, Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945 maka kesejahteraan
rakyat bisa tercapai.

"Fenomena perekonomian saat ini egoistik dan individualistik sehingga
keragaman, kebersamaan dan persatuan tidak tercapai," kata Sekretaris
Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu.

Pemikiran ekonomi Hatta secara substansial dapat dinilai sejalan atau
paralel dengan konsep Islam terutama dilihat dari sisi falsafah, tujuan
nilai-nilai dasar dan nilai instrumentalnya.

Oleh karena itu pemikiran ekonomi Hatta bisa dilihat sebagai salah satu
bagian dalam pemikiran ekonomi Islam.

Anwar mengatakan disertasinya tersebut memperkuat kesimpulan dari Nurcolish
Majid dan Sri Edi Swasono yang melihat sosok Bung Hatta sebagai sosok yang
religius.

"Sehingga kedua tokoh ini mempertanyakan kesimpulan yang menyatakan bahwa
Hatta adalah seorang nasionalisme atau muslim sekuler seperti dikemukakan TH
Sumartana dan Ricklets dan Endang Saifuddin," kata Anwar.

Anwar mengatakan bahwa Sri Edi Swasono mengungkapkan pemikiran ekonomi yang
dikembangkan Hatta terkait pada tauhid keislaman yang berdasar hakekat
kehidupan bangsa ataupun manusia.

"Hatta melihat bahwa alam semesta termasuk harta kekayaan milik Allah oleh
karena itu ekonomi harus menjunjung nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan
dengan mengaplikasikan.(*)

COPYRIGHT C 2008
http://www.antara.co.id/arc/2008/8/12/sistem-ekonomi-bung-hatta-cocok-dengan
-kondisi-saat-ini/

SIMALANCA yang ditulis oleh Wisran Hadi

SIMALANCA
Oleh:
Wisran Hadi

Tokoh legendaris yang cerdik, licik, galir dan prolifik di dalam cerita rakyat Minangkabau namanya Si Malanca. Dia bisa jadi apa saja (sekarang mungkin dapat dipadankan dengan Gubernur, Bupati atau Walikota).

Si Malanca memang hebat, terutama dalam menyelami watak warganya. Menurut Si Malanca, setiap warga harus didengar keluhan, kritik atau saran-sarannya. Karena bagi warga itulah yang penting yaitu berbicara di depan Si Malanca. Setelah mereka bicara, selanjutnya mereka dengan bangga akan bicara pula di warung dan lepau; “Lah den kecek an bana ka Si Malanca tu. Inyo iyo bajanji ka mamparatian kampuang awak ko! Maangguak-angguak inyo maiyoan apo nan den kecek an.

Bicara tuntas dihadapan Si Malanca adalah kebanggaan tersendiri. Dengan bicara tuntas di depan Si Malanca, artinya sipembicara telah melepaskan hutang sosial mereka.

Kebanggaan demikianlah yang dipergunakan Si Malanca dalam menjalankan pemerintahan nagarinya.

Si Malanca juga mengunjungi dan mengundang tokoh-tokoh masyarakat datang ke rumahnya. Bicara berbagai hal tentang nagari dan masyarakatnya. Dan para tokoh-tokoh masyarakat itu pula, dengan semangat yang penuh mereka bicara segala aspek tentang kehidupan masyarakat, lengkap dengan kritik, solusi, nasehat-nasehat, pepatah-petitih dan lain sebagainya.

Si Malanca mendengarkan semua itu dengan penuh perhatian. Sehingga tokoh-tokoh itu mendapat kesan dan yakin, bahwa apa yang mereka katakan secara langsung kepada Si Malanca, adalah sebuah pekerjaan mulia dan penting. Ikut membantu kesulitan yang dihadapi Si Malanca.

Betapa bahagianya mereka si Malanca pun mendatangi kampung-kampung yang masih belum lengkap sarana umumnya. Jalan berlubang-lubang, listrik belum masuk, sarana air tidak terawat, dan sebagainya. Orang-orang kampung senang, karena Si Malanca telah berkunjung ke kampung itu. Orang-orang kampung pun bangga, karena Si Malanca tampak benar-benar telah mendengar keluhan warganya. Bahkan dengan ramah Si Malanca mengatakan, bahwa kampung itu harus mendapat prioritas untuk dibangun dan dilengkapi sarana umumnya. Itulah yang membuat Si Malanca dekat di hati warganya. Si Malanca selalu bersedia mendengar keluhan warganya.

Akan tetapi, setelah tokoh-tokoh masyarakat itu pulang dari rumah Si Malanca, atau setelah Si Malanca pulang dari kunjungannya ke kampung-kampung itu, Si Malanca segera melupakan kata-kata atau kritik para tokoh masyarakat, janji-janjinya pada orang kampung. Si Malanca kembali meneruskan pekerjaannya sesuai dengan apa yang diinginkannya. Dia bangun pasar di mana tempat yang disukainya, dibiarkannya anak-anak miskin terlantar, bahkan kendaraan macet pada setiap persimpangan dilihatnya sebagai sebuah dinamika kehidupan, dan sebagainya, dan sebagainya.

Sampai sekarang, apabila ada seorang pejabat yang tampaknya sangat antusias mendengar kritik masyarakat tetapi diam-diam pejabat itu mengerjakan apa yang disukainya sendiri, lalu mereka yang mengenal cerita rakyat Si Malanca akan mengatakan; Ah, memang baitu kalakuan Si Malanca.

Resep apakah yang dipakai Si Malanca dalam menghadapi berbagai persoalan masyarakat yang suka dengan kebanggaan-kebanggaan demikian? Itulah resep tentang kelicikan yang paling ampuh yang dimiliki orang Minangkabau; iyoan nan di urang, laluan nan di awak. Dan Si Malanca-Si Malanca itu sampai hari ini telah mempergunakannya dengan sebaik mungkin.


Untuk melihat contoh-contoh pituah-pituah si Malanca silakan klik di:

http://nagari.or.id/index.php?moda=wisran&no=131

Kediaman Hatta

Menjelajah Rumah Kelahiran Bung Hatta, ”Soekarno Hatta 37 Itu Masih Sakral”




Selasa, 12 Agustus 2008

Dahulu, warga Bukittinggi tempo doeloe menyebutnya Jalan Aua Tajungkang Tangah Sawah. Tapi karena di jalan tersebut dahulu telah lahir seorang putera terbaik bangsa dan dicatat sejarah sebagai Bapak Proklamator, maka pemerintah mengubah nama jalan tersebut menjadi Jalan Soekarno-Hatta. Pada rumah bernomor 37 itulah, seorang anak bangsa dilahirkan sebagai cikal bakal munculnya tokoh perintis kemerdekaan RI.

Alhamdulillah, jika telah berkunjung atau pernah meluangkan waktu singgah ke rumah kelahiran Proklamator Bung Hatta di Bukittinggi. Bagi yang belum, setidaknya feature ini bisa menggambarkan seperti apa suasana dan kesakralan yang terasa ketika menapak jengkal per jengkal salah satu bukti sejarah perjalanan hidup seorang anak bangsa yang sangat berjasa, dan telah menanamkan hidup sebagai orang Indonesia .

Rumah tadi terletak di Jalan Soekarno Hatta nomor 37. Tapi ingat dan baca aturannya, sebelum menginjakkan kaki ke rumah tersebut, seluruh pengunjung tanpa terkecuali diwajibkan melepas alas kaki. Alasannya sederhana saja, agar tidak kotor dan kebersihan serta keasriannya terjaga. Tapi wajar saja, petugas memang agak kewalahan membersihkan rumah tersebut, terutama saat musim libur yang ramai dikunjungi wisatawan.

Pada 1995, Yayasan Wawasan Proklamator yang membawahi Universitas Bung Hatta bersama Pemprov Sumbar telah merenovasi serta mengembalikan keaslian rumah Bung Hatta mendekati aslinya. Termasuk mencari benda-benda yang pernah ada dirumah tersebut dahulunya. Hebatnya, tim renovasi juga berupaya mencari data dan informasi ke ratusan narasumber, untuk membuat replika kondisi sesungguhnya rumah tersebut.

Bangunannya terbagi menjadi dua lantai. Lantai satu rumah utama dan bagian belakang terdiri dari beranda, kamar bujangan, kamar Mak Saleh, kamar Saleh Sutan Sinaro, ruang tamu, kamar Mak Idris, ruang makan keluarga, empat ruangan batu dengan pintu, kandang bendi, kandang kuda dan dua lumbung penyimpan padi.

Jika memasuki kamar per kamar, sebaiknya dimulai dari kamar bujangan yang terletak paling dekat dengan beranda masuk. Dalam kamar bujangan terdapat koleksi buku-buku Bung Hatta yang sempat dikumpulkan dari sejumlah sumber.

Di dalamnya juga terdapat satu replika meja belajar yang dahulu selalu dipergunakan Hatta muda untuk membaca dan menulis. Juga terpajang diatas meja tadi sejumlah koleksi foto Bung Hatta bersama orang tua dan temannya.

Bahkan di ruangan tadi juga ditemukan beberapa sisa koleksi perangko dan benda-benda pos, yang tercatat pernah dipergunakan atau dijual untuk pengiriman surat menyurat dari Pasaman. Cukup banyak benda-benda kecil lainnya, yang ditata dan diletakkan untuk mengingatkan bahwa di kamar tersebut Bung Hatta telah menghabiskan masa mudanya.

Sebagai rumah yang dibangun dengan pengaruh gaya Belanda, dinding rumah ini terbuat dari kombinasi papan dan anyaman bambu. Bahkan, walau berbentu seni arsitektur Belanda, tapi sebagian sisi bangunan tetap mendapat sentuhan Minangkabau, dengan bagian plafon yang berukir bambu serta rotan. Termasuk lantai yang menggunakan anyaman rotan sebagai lapisan lantai yang terbuat dari papan.

Setelah ruang tamu, kamar tidur Mak Saleh dan Mak Idris terletak di sebelahnya. Di dinding ruang tamu terpampang duplikat foto-foto, duplikat teks proklamasi, ranji keluarga dari ayah dan ibu Bung Hatta, bibliografi dan lukisan bung Hatta.

Lampu gantung dan jam dinding merupakan koleksi asli yang sempat terselamatkan, termasuk sebuah jam dinding menggunakan gandul yang tidak berfungsi lagi. Bahkan terdapat sebuah mesin jahit kuno dikamar Mak Saleh, diperkirakan produksi akhir abad 18, dengan pemutar mesin di tangan.

Di halaman belakang terdapat sebuah sumur tua, yang diperkirakan telah ada sejak 1860, ketika rumah itu sendiri belum dibangun. Hingga sekarang sumur ini masih digunakan, dan sempat diteliti kondisi airnya oleh IPB. Masih di dekat sumur tadi, terdapat empat ruangan berdinding batu yang juga dijadikan kamar bujangan, dapur, kamar mandi dan ruang bendi. Jangan lupa, juga terdapat kerangka sepeda asli buatan 1908, tapi sebagian peralatannya telah diganti.

Walaupun bergaya Belanda dengan pintu dan jendela lebar, dikiri bangunan terdapat dua lumbung padi, masing-masing milik Aminah (ibu Bung Hatta) dan milik Saleh (paman). Di depan lumbung terdapat lesung penumbuk padi dari batu, serta kandang kuda di bagian kanan dan kandang bendi yang terbuka tanpa pintu. Tapi sebagai anak Minang, Bung Hatta hanya beraktifitas di rumah tersebut hingga usia enam tahun, selanjutnya ia teruskan menuntut ilmu dan tinggal di Surau. (eka r alka)



© 2008 PADANG EKSPRES - Koran Nasional Dari Sumbar

Kediaman Hatta

Menjelajah Rumah Kelahiran Bung Hatta, ”Soekarno Hatta 37 Itu Masih Sakral”




Selasa, 12 Agustus 2008

Dahulu, warga Bukittinggi tempo doeloe menyebutnya Jalan Aua Tajungkang Tangah Sawah. Tapi karena di jalan tersebut dahulu telah lahir seorang putera terbaik bangsa dan dicatat sejarah sebagai Bapak Proklamator, maka pemerintah mengubah nama jalan tersebut menjadi Jalan Soekarno-Hatta. Pada rumah bernomor 37 itulah, seorang anak bangsa dilahirkan sebagai cikal bakal munculnya tokoh perintis kemerdekaan RI.

Alhamdulillah, jika telah berkunjung atau pernah meluangkan waktu singgah ke rumah kelahiran Proklamator Bung Hatta di Bukittinggi. Bagi yang belum, setidaknya feature ini bisa menggambarkan seperti apa suasana dan kesakralan yang terasa ketika menapak jengkal per jengkal salah satu bukti sejarah perjalanan hidup seorang anak bangsa yang sangat berjasa, dan telah menanamkan hidup sebagai orang Indonesia .

Rumah tadi terletak di Jalan Soekarno Hatta nomor 37. Tapi ingat dan baca aturannya, sebelum menginjakkan kaki ke rumah tersebut, seluruh pengunjung tanpa terkecuali diwajibkan melepas alas kaki. Alasannya sederhana saja, agar tidak kotor dan kebersihan serta keasriannya terjaga. Tapi wajar saja, petugas memang agak kewalahan membersihkan rumah tersebut, terutama saat musim libur yang ramai dikunjungi wisatawan.

Pada 1995, Yayasan Wawasan Proklamator yang membawahi Universitas Bung Hatta bersama Pemprov Sumbar telah merenovasi serta mengembalikan keaslian rumah Bung Hatta mendekati aslinya. Termasuk mencari benda-benda yang pernah ada dirumah tersebut dahulunya. Hebatnya, tim renovasi juga berupaya mencari data dan informasi ke ratusan narasumber, untuk membuat replika kondisi sesungguhnya rumah tersebut.

Bangunannya terbagi menjadi dua lantai. Lantai satu rumah utama dan bagian belakang terdiri dari beranda, kamar bujangan, kamar Mak Saleh, kamar Saleh Sutan Sinaro, ruang tamu, kamar Mak Idris, ruang makan keluarga, empat ruangan batu dengan pintu, kandang bendi, kandang kuda dan dua lumbung penyimpan padi.

Jika memasuki kamar per kamar, sebaiknya dimulai dari kamar bujangan yang terletak paling dekat dengan beranda masuk. Dalam kamar bujangan terdapat koleksi buku-buku Bung Hatta yang sempat dikumpulkan dari sejumlah sumber.

Di dalamnya juga terdapat satu replika meja belajar yang dahulu selalu dipergunakan Hatta muda untuk membaca dan menulis. Juga terpajang diatas meja tadi sejumlah koleksi foto Bung Hatta bersama orang tua dan temannya.

Bahkan di ruangan tadi juga ditemukan beberapa sisa koleksi perangko dan benda-benda pos, yang tercatat pernah dipergunakan atau dijual untuk pengiriman surat menyurat dari Pasaman. Cukup banyak benda-benda kecil lainnya, yang ditata dan diletakkan untuk mengingatkan bahwa di kamar tersebut Bung Hatta telah menghabiskan masa mudanya.

Sebagai rumah yang dibangun dengan pengaruh gaya Belanda, dinding rumah ini terbuat dari kombinasi papan dan anyaman bambu. Bahkan, walau berbentu seni arsitektur Belanda, tapi sebagian sisi bangunan tetap mendapat sentuhan Minangkabau, dengan bagian plafon yang berukir bambu serta rotan. Termasuk lantai yang menggunakan anyaman rotan sebagai lapisan lantai yang terbuat dari papan.

Setelah ruang tamu, kamar tidur Mak Saleh dan Mak Idris terletak di sebelahnya. Di dinding ruang tamu terpampang duplikat foto-foto, duplikat teks proklamasi, ranji keluarga dari ayah dan ibu Bung Hatta, bibliografi dan lukisan bung Hatta.

Lampu gantung dan jam dinding merupakan koleksi asli yang sempat terselamatkan, termasuk sebuah jam dinding menggunakan gandul yang tidak berfungsi lagi. Bahkan terdapat sebuah mesin jahit kuno dikamar Mak Saleh, diperkirakan produksi akhir abad 18, dengan pemutar mesin di tangan.

Di halaman belakang terdapat sebuah sumur tua, yang diperkirakan telah ada sejak 1860, ketika rumah itu sendiri belum dibangun. Hingga sekarang sumur ini masih digunakan, dan sempat diteliti kondisi airnya oleh IPB. Masih di dekat sumur tadi, terdapat empat ruangan berdinding batu yang juga dijadikan kamar bujangan, dapur, kamar mandi dan ruang bendi. Jangan lupa, juga terdapat kerangka sepeda asli buatan 1908, tapi sebagian peralatannya telah diganti.

Walaupun bergaya Belanda dengan pintu dan jendela lebar, dikiri bangunan terdapat dua lumbung padi, masing-masing milik Aminah (ibu Bung Hatta) dan milik Saleh (paman). Di depan lumbung terdapat lesung penumbuk padi dari batu, serta kandang kuda di bagian kanan dan kandang bendi yang terbuka tanpa pintu. Tapi sebagai anak Minang, Bung Hatta hanya beraktifitas di rumah tersebut hingga usia enam tahun, selanjutnya ia teruskan menuntut ilmu dan tinggal di Surau. (eka r alka)



© 2008 PADANG EKSPRES - Koran Nasional Dari Sumbar

Makinuddin Hs dan Peristiwa Situjuah

Mayor Makinuddin HS dan Peristiwa Situjuah




Senin, 11 Agustus 2008

Jika dapat diibaratkan sebuah film kolosal, Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949 yang memiliki kaitan dengan keberadaan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), memiliki sederet pemeran utama, pemeran pendukung, pemeran pilihan, penyusun skenario, serta sutradara. Jika tokoh utama diperankan Khatib Sulaiman, Arisun Sutan Alamsyah, Dahlan Ibrahim, Kamaluddin Tambiluak, Syofyan Ibrahim, Munir Latief, dan Kapten Zainuddin Tembak. Untuk aksi pemeran pilihan tentu dimainkan oleh tokoh-tokoh sekelas Mayor A. Thalib, Kapten Syafei, Sidi Abu Bakar, Kapten Thantowi, dan sebagiannya.

Sedangkan untuk pemeran pembantu, diperagakan dengan semangat tinggi oleh ratusan anggota BPNK, opsir, rakyat dan tentu saja serdadu dari negeri Kincir Angin Belanda, yang menggempur Lurah Kincia.

Kalau sudah begitu, siapakah yang layak disebut sebagai penulis skenario serta sutradara di balik peristiwa Situjuah itu? Jawabannya, kemungkinan besar adalah Gubernur Militer Sumatra Tengah, Mr. Sutan Muhammad Rasyid, dan Wedana Militer Payakumbuh Selatan Mayor Makinuddin HS.

Karena Sutan Muhammad Rasyid adalah tokoh yang meminta diadakan rapat penting di Situjuah. Rapat tersebut bertujuan untuk mencari solusi upaya perjuangan bangsa dalam mempertahankan Pemerintahan Darurat Republik Indinesia (PDRI), dari gempuran Belanda.

“Setelah ‘skenario’ ditulis Sutan Muhammad Rasyid, tentu saja dengan sepengetahuan sang “produser” bernama Mr. Syafruddin Prawiranegara (Presiden PDRI). Maka, ditunjuklah seorang sutradara untuk mengatur. Sutradara itu bernama Mayor Makinuddin HS. Dialah yang mempersiapkan segala sesuatu untuk kebutuhan rapat di Situjuah,” ujar Fajar Rillah Vesky, wartawan yang tengah menggarap Buku “Tambiluak: Secuil Tentang PDRI dan Peristiwa Situjuah”.

Mayor Makinuddin pulalah yang meyakinkan Dahlan Ibrahim, kalau rapat di Lurah Kincia aman, karena di sekeliling ada banyak pembantu sekuriti yang menjadi pengawas. Walau kemudian, mujur tak dapat diraih, malang sekejap mata, Lurah Kincia justru diserang serdadu Belanda dari Padang Panjang dan Bukittingi.

Perjuangan Makinuddin
Ketika pulang kampung, setelah merantau ke Singapura, Makinuddin kembali ke tanah air. Dia menjadi guru agama di Lubuak Jambi, dalam wilayah Riau. Tak lama kemudian, dia meninggalkan bumi Lancang Kuning dengan menjadi guru agama di Situjuah Batua (1942).

Makinuddin melihat perjuangan pergerakan bangsa waktu itu sedang hangat-hangatnya. Sebagai seorang berpendidikan, cinta bangsa, keras, suka tantangan dan berani, hatinya kecilnya ikut terpanggil untuk bergabung dengan pergerakan di Payakumbuh/Limapuluh Kota .

Panggilan hati itu kemudian dibuktikan Makinuddin dengan masuk menjadi anggota Gyu Gun di Payakumbuh. Selama di Gyu Gun bentukan Jepang ini, dia mulai ditempa jiwa mileter. Rasa sebangsa dan setanah air, makin bergelora di jiwanya. Makinudin pun makin aktif di berbagai kegiatan perjuangan.

Ketika Indonesia telah Merdeka, Makinuddin dipercaya sebagai Komandan Batalyon III/Singa Harau. Dialah Komandan Batalyon pertama di wilayah Payakumbuh/Limapuluh Kota setelah NKRI ada dan menikmati alam merdeka.

Dua tahun Indonesia merdeka atau sekitar tahun 1947, Makinuddin mengalami perpindahan tugas. Dia dipercaya memimpin Batalyon Istimewa Galanggang di Payakumbuh. Namun jabatan tersebut tidak bertahan lama di tangannya, karena ibukota RI di Jogyakarta pada tahun 1948 mulai digempur Agresi Militer II Belanda. Gempuran serupa juga dirasakan di Bukittingi dan daerah lainnya dalam wilayah Sumatra Tengah.

Karena agresi Belanda semakin mengancam, para pejabat militer dan pemerintah RI ambil ancang-ancang. Mayor Makinuddin yang sedang menjabat sebagai Danyon Istimewa Galanggang, ditujujuk menjadi Komandemen Kepala Perlengkapan Sumatra Tengah pada tahun 1948-1949.

Semasa bertugas di sini, Makinuddin pernah dua kali pindah kantor. Pertama, di gedung Gudang Garam kampung Cina Payakumbuh. Kedua, ke lantai dua Toko Tokra Jalan Kampung Cina. Diantara anak buahnya waktu itu adalah Syamsul Bahri, Junahar, Amiruddin KR dan Kamaluddin Tambiluak.

Saat Divisi III mengalami perubahan menjadi Divisi IX Banteng, jabatan Kepala P & P diserahterimakan dari Mayor Makinuddin HS kepada Kapten Chatib Salim. Sedangkan Makinuddin diangkat menjadi Wedana Militer Payakumbuh Selatan.

Ketika menjadi Wedana Militer inilah, Makinuddin dipercaya untuk mempersiapkan rapat penting pejuang pemerintahan dan militer Sumatra Tengah di Lurah Kincia, Situjuah Batua, 15 Januari 1949. Namun apalah daya, tidak lama setelah rapat tersebut ditutup sekiatr pukul 04.30 dini hari, Belanda datang menyerang. Akibatnya, para pahlawan berguguran satu persatu. Mereka yang meninggal pada hari itu diperkirakan mencapai 69 orang. Namun masih bersyukur, Makinuddin HS dapat selamat.

Namun setidaknya, usaha dan kerja keras Makinuddin HS, layak untuk dihargai, diapresiasi, sekaligus dijadikan keteladanan bagi generasi muda sekarang dan masa mendatang. Wedana militer itu telah memperlihatkan kalau seorang ‘anak kampung’ dari lereng Gunung Sago juga mampu memberi sumbangsih besar untuk negeri bernama Indonesia !

Tiap tahun Peristiwa Situjuah diperingati. Mayor Makinuddin HS, memiliki peranan penting dalam peristiwa tersebut. Makinuddin HS wafat di Jakarta tahun 1974 dan dimakamkan TPU Karet. oJeffrey Ricardo Magno

Copyright © 2007 - 2008 Harian Singgalang

Selasa, 05 Agustus 2008

Sulthan Tunggul Alam Bagagarsyah

Artikel lama (April 2008) dari Harian Waspada Medan, nampaknyo belum pernah di posting (CP) ke Palanta, sebagai penambah nambah pengetahuan kita mengenai sejarah Ranah Minang.



Salam.


Oleh Tuanku Luckman Sinar Basarshah-II
Sultan Serdang

TERBAKARNYA Pos Belanda di Padang dan Pariaman telah menimbulkan malu yang sangat besar bagi Belanda. Kebakaran itu dilakukan 2 bersaudara dari Suruasso pada tahun 1714. Setelah itu, keduanya menghilang. Mereka mengaku waris dari tahta Kerajaan Pagarruyung, yang waktu itu tahtanya dipegang oleh Raja Muning Shah alias Tuanku Nan Tuah, yang berhasil menyelamatkan diri dari uberan kaum Paderi. Raja Muning Shah ini mempersunting Tuan Gadis, tetapi kemudian bercerai dan Tuan Gadis kembali ke Suruasso.


Sir Stamford Raffles, Letnan Gubernur Inggris di Bengkulu, pernah meminta bantuan kepada 2 bersaudara bengsawan Suruasso ini untuk mendampinginya melawat ke pedalaman Minangkabau. Ketika Belanda berkuasa, kedua bangsawan Suruasso ini beserta Sultan Alam Bagagar Shah disertai banyak pemukapemuka adat Minangkabau lainnya, dikumpulkan Belanda dengan dalih untuk “melindungi mereka dari ancaman Paderi”. Waktu itu Belanda sudah mendeking mereka dengan 100 orang serdadu ditambah 2 buah meriam besar.

Tetapi alangkah terkejutnya mereka ketika dipaksa dengan ancaman harus menandatangani Pernyataan untuk melepaskan semua tanah Minangkabau buat diserahkan kepada Hindia Belanda. Itu terjadi pada 10-2-1821, ketika itu Raja Muning Shah masih bersembunyi di Lubuk Jambi. Maka dianggap Sultan Alam Bagagar Shah yang menggantikannya.(“Al die hoofden eene overeenkomst was getekend geworden, waarbij een afstand van alle Minangkabausche landen aan het Gouvernement werd bekend gestend”).
Mereka yang menandatangani di bawah ancaman Belanda itu ialah:

- Daulat Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagarshah van Pagarruyung;
- Yang Dipertuan Sutan Kerajaan Alam van Suruasso;
- Yang Dipertuan Raja Tangsir Alam van Suruasso;
- Datuk Basuko en Datuk Mudo (voor zich en de overige 12 penghulu = untuk diri sendiri dan atas nama 12 Penghulu) van Batipuh;
- Datuk Raja Muda en Datuk Palindih (voor zich en de overige 6 penghulu van Singkarak);
- Datuk Raja Muda en Datuk Raja Bagagar (voor zich en de overige 8 penghulu van Saningbakar);
- Datuk Raja Nan Sati (voor zich en de overige 5 penghulu van Bunga Tanjung);
- Datuk Gadang Maharajalela (voor zich en de overige 5 penghulu van Pitalah);
- Datuk Sati (voor zich en de overige 4 penghulu van Tg. Berulak);
- Datuk Raja Bukuet (voor zich en de overige 4 penghulu van Gunung Raja);
- Datuk Penghulu Besar (voor zich en de overige 4 penghulu van Batu Sangkar);
- Datuk Maharaja Lela (voor zich en de overige 6 penghulu van Sumpur);
- Datuk Seripada (voor zich en de overige 6 penghulu van Melala);
- Datuk Nakoda Intan en Datuk Paduka (voor zich en de overige 6 penghulu van Semawang);

“Deze Toewankoe Alam Bagagarshah was zusterkind en dus, volgens de landinstellingen, de wettige opvolger van bovengenoemden Raja Muningshah. Hij is later Regent van Tanah Datar geweest”.1.(Tuanku Alam Bagagarshah ini adalah putera dari saudara perempuan jadi menurut adat istiadat negeri ini, merupakan pengganti yang syah dari Raja Muningsyah tersebut. Ia kemudian menjadi Regent Tanah Datar).

Pada 1824 Tuanku Nan Tuah alias Raja Muning Shah kembali ke Pagarruyung dari tempat persembunyiannya di Lubuk Jambi. Ternyata ia masih populer dan disambut rakyat dengan meriah di sana. Ia kemudian tinggal dengan tenang dan aman, karena tempat itu dijaga oleh pasukan Belanda yang membuat benteng disana sejak tangal 1 Januari 1823.

Pada 1826 Raja Muning Shah mangkat di Pagarruyung. Belanda mau melenyapkan bekas imperium tua Kerajaan Pagarruyung dan lalu memecah konsentrasi kekuasaan di Minangkabau itu. (De oude Vorst van Minangkabau, Raja Muningsyah of Tuanku Nan Tuah, kwam ook in het jaar 1826 te overlijden. Zijn Neef, Sultan Alam Bagagarsyah, was als Regent van Tanah Datar opgetreden en Tuanku Samat, een zoon van een der instellers der Padrische sekte, als Regent van Agam”. (Raja tua dari Minangkabau, Raja Muningsyah atau Tuanku Nan Tuah, mangkat pada tahun 1826. Keponakannya, Sultan Alam Bagagarsyah, diangkat sebagai Regent Tanah Datar dan Tuanku Samat, putera dari salah seorang pendiri Padri, diangkat sebagai Regent Agam).2

Rakyat tidak senang dengan politik pecah belah kekuasaan yang dilakukan Belanda, karena politik licik Belanda agar dengan melalui para Regent (dan bawahannya para Kepala Laras dan Nagari serta Penghulu kampung dan Dusun) lebih mudah mengutip belasting dan mengatur agar perdagangan rakyat tidak bebas lagi. Tidak mustahil jika banyak daerah seperti Sumpur, Batipuh, Sungai Bakau dan lain-lain berusaha sepandai mungkin menghindar dari tekanan Belanda.

(“……….de Resident en militaire Commandant gezamenlijk gemachtigd, onder nadere goedkeuring pachten of belasting in te voeren”)3. Oleh karena itu kaum Paderi berusaha akan membunuh Regent Tanah Datar, karena mereka mencurigai politik Belanda dibelakang layar, nanti akan melebarkan kekuasaan dia sampai ke pedalaman. (“Men wil ook, dat die Tuanku (Pasaman van Lintau). maar wel de Regent van Tanah Datar, Sultan Alam Bagagarsyah, hem om het leven heft doen brengen, voon namelijk uit ijverzucht als bevreesd dat het Gouvernement hem eens het gezag over de binnen landen zou opdragen”.4 Mereka sebenarnya menghendaki ia digantikan oleh seorang Arab bernama Sayed Salimul Jafried, yang ahli hukum Islam tetapi juga pernah jadi orang kepercayaan Kolonel Stuers dulu. Dia ini pandai masuk kesana kemari. 5

Pada akhir tahun 1832, kaum Paderi pimpinan Tuanku Tambusai dibantu Panglimanya Tuanku Rao, telah hampir menguasai seluruh Tapanuli Selatan khususnya Padang Lawas, yang membuat Belanda serba salah karena takut melanggar perjanjian London 1824 dengan Inggris. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sentot Ali Basa, yang menurut Belanda berusaha, mengikat kembali rantai perlawanan menentang Belanda di Tanah Minangkabau bersama wilayah Tapanuli Selatan. Menurut laporan Belanda, Sentot Ali Basa, ini sengaja mau menimbulkan kekacauan kembali, dengan maksud agar dia nanti bisa meredakannya sendiri, dengan harapan agar Belanda mengangkat dia jadi raja (Panembahan) disesuatu daerah di Sumatera.

Untuk itu ia bersedia bekerja sama dengan Regent Tanah Datar Sultan Alam Bagagar Shah dan dengan Tuanku Nan Cerdik. “Terzelfde tijd werd het den Resident en Militiairen Komandant ook duidelijk dat de ontwerpen tot dien opstand geheel bekend waren geweest aan de Ali Basa, aan den Regent van Tanah Datar, Tuanku Pagarruyung en aan Tuanku Nan Tjerdik”. (Bersamaan waktu itu, makin jelaslah bahwa rencana pemberontakan itu seluruhnya diketahui oleh Ali Basa, kepada Regent Tanah Datar, Tuanku Pagarruyung dan kepada Tuanku Nan Cerdik) 6.

Sultan Alam Bagagarsyah secara sembunyi telah menyalakan api perlawanan terhadap Belanda khususnya didaerah Agam dengan 6 distrik, terutama Kamang, Mage, Kota Baru dan Sage masuk kampung keluar kampung dan diketahui penduduk sudah membuat benteng dan hempangan (barikade) dipersimpangan jalan besar pada awal 1833. (“Jang Dipertoean van Pagarruyung immer voortging met de vonken in het geheim aan te blazen, ten dade ook in die oorden den opstand te doen breken”)7. Sesuai dengan Peraturan (Reglement) Residen Sumatera Barat tgl. 27 Okt. 1823 No. 58, pembahagian Pemerintahan di Sumatera Barat sebagai berikut:

A. Padang Wilayah
1. Regent Padang, 2. Regent Pariaman, 3. Regent Pulau Cinko, 4. Regent Air Haji;

B. Minangkabau (Afdeeling ini dibagi sebagai berikut ) :
1. Regent Tanah Datar, 2. Regent Tanah Datar Di bawah, 3. Regent Agam dan 5 Regen Limapuluh Koto;

Di bawah Regentschap ini ada Latas (distrik) dan di bawahnya lagi ada Kampung dan Dusun. Di Tapanuli dan Nias yang masa itu tunduk ke Sumatera Barat ada pembahagian lain. Pada mula system Regent ini diadakan, Sultan Alam Bagagar Shah menjabat sebagai Regent seluruh Minangkabau, kemudian turun hanya Tanah Datar saja. Kemudian dikeluarkan lagi wilayah Tanah Datar Bawah dari kekuasaannya.

Menurut Belanda, Sultan Bagagarsyah bercita-cita untuk mengusir Belanda sampai ke laut sehingga mudahlah baginya untuk mendirikan kembali Imperium Tua Minangkabau Pagarruyung bahkan akan meluaskannya. ( “Hij verbeelde zich dan indien wij genoodzaakt waren naar de stranden terug te trekken, het hem gemakkelijk zou vallen het oude Minangkabausche Rijk weder op te rigten en zelfs uit te breiden”).8

Belanda kemudian menyelenggarakan suatu pertemuan besar di Biru, dimana hadir Sentot Ali Basa, Tuanku Sultan Bagagarsyah, Tuanku Nan Cerdik, Tuanku Alam. Disitu dibacakan oleh Residen Elout antara lain sebuah Surat Pengangkatan dari Yang Dipertuan Pagarruyung Sultan Bagagarsyah yang turut juga ditandatangani oleh Tuanku Imam Bonjol, yang menunjuk Tuanku Alam dari Kaman untuk beroperasi di daerah sebagian dari XII Koto (di pedalaman) dan di daerah 4 Raja di Kumpulan buat berontak mengusir Belanda dari tanah Minangkabau.

(“…… een door zekeren in Kaman wonende Toeankoe Alam, ontworpen, door den Jang Dipertoean van Pagarruyung en den Tuanku Imam Bondjol ondertekend stuk”).9 Tuanku Alam langsung ditangkap dan keesokan harinya di hukum pancung oleh Belanda. Begitu juga Tuanku Nan Cerdik ditangkap dan kemudian dibuang ke Betawi tgl.16-3-1833. Komandan Militer Belanda mendesak agar Sentot Ali Basa segera disingkirkan. Kepada Sentot Ali Basa Residen secara diplomatis meminta agar Sentot berangkat ke Betawi guna melaporkan situasi keamanan disana. Ternyata ia tidak dibenarkan kembali ke Sumatera bahkan kemudian dibuang ke Bengkulu. Tentera Jawa Barisannya tetap di Sumatera dan menjadi bahagian dari tentera Belanda.

Dibuang
Mengenai Sultan Alam Bagagar Shah, banyak kalangan Belanda minta agar dia segera disingkirkan, tetapi Residen berpikir menunggu kesempatan yang lebih baik nanti karena Residen menganggap dia lemah pengaruhnya kepada rakyat. 10 (“Men vatte de gedachte op, om de Yang Dipertuan Pagarruyung te verwijderen, doch ditwerd tot gelegener uur uitgesteld”).

Tetapi setelah saat terakhir ditemukan bukti bahwa Regent Tanah Datar menancapkan pengaruhnya masuk kampung keluar kampung, terutama disekitar bulan April 1833, dan setelah diketahui Belanda bahwa Tuanku Sultan Alam Bagagar Shah menulis surat dan minta bantuan Inggris mengirim pasukan sebagai bantuan dari Singapura kepadanya, maka Residen Elout tidak bisa menunggu lebih lama lagi dan harus segera menangkap Regent Tanah Datar itu.

“…………..dat de Regent van Pagarruyung reeds vele maanden vroeger brieven had geschreven aan de Engelschen (waarschinjlijkvan Singapore) om hunne hulp in te roepen tegen ons” (……….. bahwa Regent Pagarruyung sudah sejak berbulan-bulan yang lalu menulis surat kepada Inggris (mungkin ke Singapura) agar mereka memberikan pertolongan melawan kita).11 Ketika akan pulang meninggalkan rapat di Biru itu Residen Elout dengan marahnya mengecam tindak tanduk Sultan Bagagarshah. Lalu serta merta disuruhnya pasukan menangkap Sultan Alam Bagagarsyah dan di bawa ke Padang (2 Mei 1833). Ketika perlawanan rakyat makin menjadi-jadi kemudian ia nanti dibawa ke Jawa (Betawi) untuk dibuang disana.

Dalam suratnya kepada Gubernur Jendral, Elout menulis: “Ik ben nu volkomen overtuigd dat de Regent Tanah Datar met den Ali Basa en Toewankoe nan Tjerdik sedert lang in het complot waren tegen het Gouvernement”. Kemudian didalam, suratnya tgl. 6 Desember 1833 Elout melaporkan lagi kepada Van den Bosch : “……… Untuk lebih perlu memberikan bukti kepada Yang Mulia mengulang kembali pengkhianatan seperti saya laporkan dahulu disertai bukti-bukti tertulis mengenai Yang Dipertuan Pagarruyung, mengingatkan kita bahwa dia sejak zaman Pemerintahan Kolonel dan Residen De Struers, selalu mencoba menentang kita, terbukti dalam surat jawaban kepadanya oleh Toeanku Kapoh, yang saya perlihatkan dulu kepada Yang Mulia ditempat ini (di Padang) dan juga balasan dari surat-menyurat dari Tuanku Alam yang kegiatan hebatnya di mana-mana sudah diketahui dan dalam surat menyurat yang sudah disampaikan kepada Yang Mulia. Kedua mereka ini sudah dikenal aktivitasnya satu persatu; dan sebaliknya begitu baiknya tindak tanduknya dibela di Betawi oleh Yang Dipertuan Pagarruyung”. 12

Ternyata 2 hari sesudah penangkapannya, seharusnya Sultan Alam Bagagar Shah akan mengepalai sebuah rapat besar di Sumpur, di mana akan ditentukan jam dan hari proklamasi serentak pemberontakan terhadap Belanda diseluruh alam Minangkabau. Memang berita penangkapan dan pembuangan Sultan Alam Bagagarsyah menimbulkan aksi luas yang luarbiasa diseluruh Minangkabau. Di bawah pimpinan Regent Buah, yang juga kerabat dari Sultan Bagagar Shah dia, memerintahkan kepada beberapa orang Dubalang, menyerang Letnan Hendriks, pada malam 12 Mei 1833, tetapi dalam keadaan sekarat Hendriks dapat selamat lari ke benteng. Kemudian benteng Belanda di Gugung Sigandang dikepung gerilyawan rakyat, di mana komandan benteng, Letnan Tomsos, dapat ditewaskan bersama pasukannya dan benteng dibakar. Di Ambacang, benteng Fort de Kock dan benteng Belanda di Kuriri di kepung dan diserang gerilyawan rakyat. Belanda menunjukkan kekejamannya dengan memenggal 15 orang pejuang rakyat yang dapat tertangkap.13

Kejadian baru di Sumatera Barat itu membangkitkan ketakutan Belanda akan kemungkinan berulangnya lagi perang besar “Bonjol II”.Sehingga dengan terburu-buru didatangkanlah dari Betawi bantuan pasukan sebesar 1100 serdadu bersama dengan Mayor Jenderal Riesz didampingi Komisaris Hindia Belanda, Van den Bosch. Sultan Alam Bagagar Shah dibuang di Betawi dan mangkat di sana 1849. Selama masa pembuangan di Betawi kegiatannya terus dipantau oleh intel Belanda. Tetapi bagaimanapun sampai akhir hayatnya ia tidak pernah berkhianat dalam tujuan perjuangannya.
Dari berbagai sumber



WASPADA Online
Sunday, 06 April 2008 00:42 WIB

Mandeh Sitti ( 1881-1965 ), Singa Betina dari Manggopoh

Mandeh Sitti ( 1881-1965 ), Singa Betina dari Manggopoh

Mandeh Sitti Manggopoh( 1881-1965 ), pahlawan daerah sumbar, pejuang wanita dari sumbar,Sejak tahun 1908 api perlawanan terhadap Belanda berkobar di Manggopoh. Aksi penjajah Belanda yang menyengsarakan rakyat memicu pemberontakan di berbagai tempat, termasuk di Manggopoh. Sitti – dikenal dengan sebutan Mandeh Sitti Manggopoh , seorang wanita pejuang dalam perang Manggopoh bersama suami dan kelompoknya Mandeh Sitti yang dikenal sangat cantik, luwes namun lihai beladiri silek, dikenal pembenci penjajah.

Hal itu dibuktikan Mandeh Sitti bersama pasukannya berhasil menghabisi serdadu Belanda di markasnya sendiri, 55 orang serdadu Belanda tewas. Penyerbuan itu nestapa luar biasa bagi Belanda. Sitti lahir 15 Juni 1881 di Manggopoh, Lubukbasung, Agam. Orangtuanya petani biasa. Sitti tak pernah menduduki bangku sekolah , karena waktu itu belum ada sekolah rendah sekalipun. Untuk pendidikannya Sitti hanya belajar mengaji di surau, menimba ilmu sekaligus mempelajari adat istiadat Minangkabau.

Usia 15 tahun, Sitti dikawinkan orangtuanya dengan Rasyid, yang dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik. Walau sudah berkeluarga dan mengurus anak, kebencian Sitti terhadap penjajah Belanda justru kian menumpuk, apalagi akhir 1907 pemerintah Belanda bersiap mengembangkan sayap jajahannya.

Apalagi penindasan kian menyakitkan, Belanda menerapkan ­kewajiban belasting (pajak) pada rakyat , tak peduli kehidupan masyarakat yang susah. Rakyat Minangkabau, termasuk di Manggopoh tidak menerima aturan itu di berbagai tempat muncul protes sehingga memicu pemberontakan.

Diawali Perang Kamang yang berlanjut di Manggopoh, Lintau, Solok Rao dan berbagai daerah lain. Perang Manggopoh meletus akibat rasa benci pada Belanda yang semena-mena warga disiksa, disuruh kerja paksa, wanita-wanita diperkosa serta berbagai tindakan biadab lain yang membuat hati warga mendidih.

Akibatnya di Manggopoh terbentuk badan perjuangan yang terdiri dari 14 orang pemuda militan masing-masing Rasyid alias Hasyik, Sitti ( isteri Rasyid ), Majo Ali, St . Marajo Dullah, Tabat, Dukap Marah Sulai­man, Sidi Marah Kalik, Dullah Pakih Sulai, Muhammad, Unik , Tabuh St. Mangkuto, Sain St.Malik, Rahman Sidi Rajo dan Kana.

Adalah Majo Ali yang dianggap paling radikal dan diayomi oleh rakyat karena dikenal ahli beladiri juga berpengalaman dalam perang Kamang sehingga dia menguasai teknik gerilya, persenjataan dan mengetahui kelemahan Belanda. Di suatu malam di asrama tentara Belanda terdengar gelak tawa penjajah akibat minuman keras, tentara Belanda tengah asyik berjudi. Dalam suasana gelap itulah seorang wanita cantik masuk ke asrama itu. Kedatangan wanita cantik itu tidak mengundang curiga, padahal yang muncul adalah Sitti buruan pemberontak yang paling dicari tentera Belanda. Siti yang sudah mempersiapkan rencana bersama kelompoknya membaur dengan tentera Belanda yang mabuk.

Karena kelelahan dan teler karena minuman keras, akhirnya puluhan tentara Belanda sudah terkapar di lantai tak sadarkan diri. Melihat peluang itu, Sitti segera memadamkan lampu dan memberi tanda pada para pejuang yang sudah siaga di luar markas Belanda itu.

Para pejuang menyerbu markas Belanda, terjadilah aksi pembantaian. Siti dengan garangnya menghabisi puluhan tentara Belanda yang panik karena ada serangan tiba-tiba. Para pejuang betul-betul beringas melampiaskan dendam rakyat Manggopoh yang ditindas dan disengsarakan Belanda.

Dalam aksi pembantaian di markas tentera Belanda itu tercatat 55 orang nyawa tentara marsose melayang, hanya dua orang yang berhasil kabur ke Lubukbasung walau dengan luka-luka serius di sekujur tubuhnya. Akibat pembantaian itu Belanda murka – namun delapan pedati harus dikerapkan untuk membawa mayat serdadu Belanda yang dibantai pejuang. Bahkan Belanda sengaja mendatangkan bantuan tentara dari Bukittinggi untuk membumihanguskan Manggopoh. Banyak warga tak bersalah jadi korban akibat tembakan membabi buta tentara Belanda yang murka .Bahkan patroli Belanda intensif ke perkampungan penduduk

Dampak aksi pejuang Manggopoh mendapat perhatian dari seorang ulama yakni Tuanku Padang yang langsung berangkat ke Manggopoh. Diam-diam diadakannya rapat lima orang pejuang Manggopoh, yakni, Tabat, Sidi Marah Khalik, Muhammad dan Kana. Mereka memutuskan mengadakan penyerbuan yang kedua. Kedua ke markas Belanda itu dilakukan sore hari pukul 5.30, para pejuang hanya menggunakan senjata tajam. Namun aksi penyerangan itu berakhir naas, lima pejuang berani itu tewas ditembak senjata otomatis milik Beland.

Besoknya Belanda makin garang melakukan patroli, tentara penjajah berhasil menembak Majo Ali dan St. Marajo. Sudah 7 nyawa pejuang dari kelompk 14 yang melayang . Adapun Sitti dan Rasyid bersembunyi di Tarok Bajolang. Pelarian Sitti dan suaminya berlanjut bersama kawannya Tabuh, menuju ke Batu Rubiah, tapi suami isteri pejuang itu berhasil ditangkap tentara Belanda di Bawan.

Keduanya menjalani hukuman, Rasyid dibuang ke Menado sedang Sitti dibuang ke Pariaman. Keduanya hidup dalam rajaman penderitaan. Kedua pejuang kemerdekaan ini tak pernah bertemu lagi sampai akhir hayatnya. Mandeh Sitti Manggopoh, hingga kini belum ditetapkan sebagai pahlawan nasional, namun pemerintah sudah mengakui jasanya, dengan menetapkan mandeh Sitti sebagai Perintis Kemerdekaan, sesuai surat keputusan Menteri Sosial tanggal 17 januari 1964, nomor Pol: 1379/64/P.K. Lembaran Negara nomor 19/1964.

Mandeh Sitti Manggopoh wafat tanggal 20 Agustus 1965 jam 15.30 WIB di Gasan Gadang, Padang Pariaman dalam usia 84 tahun dimakamkan dengan upacara kenegaraan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Lolong, Padang. Namun, hingga kini di saat seabad peringatan perang Manggopoh, semangat juang Mandeh Sitti Singa Betina yang ditakuti penjajah Belanda akan tetap hidup. (men/berbagai sumber ) Sumber: Padang Ekspres
Foto : Masjid Siti Manggopoh, Tanjung Mutiara, Agam Barat



3 August, 2008

Copyright 2007 MinangKita.com

Rabu, 18 Juni 2008

 

Balai Adat Tapi Kotogadang

 

Masjid Nurul Iman Kotogadang semasa masih utuh belum runtuh dihoyak gempa

 

Masjid Nurul Iman Kotogadang semasa masih utuh

 

Jam Gadang Bukittinggi
Posted by Picasa

Jumat, 09 Mei 2008

Akidah Tauhid Sumber Kekuatan di Minangkabau

AQIDAH TAUHID DAN UKHUWWAH ISLAMIYAH
SUMBER KEKUATAN DI MINANGKABAU


Oleh : H. Mas’oed Abidin


Goresan sejarah membuktikan bahwa kekerabatan yang mendalam itu, telah memberi kekuatan melaksanakan da'wah amar ma'ruf nahi munkar, ditengah berbagai tekanan dan pemaksaan kehendak.


Di Bukittinggi (Fort de Kock), pada tanggal 19 Agustus 1928 berlangsung satu rapat besar "Majlis Permusyawara¬tan Ulama Minangkabau" pertama. Dihadiri 800 ulama ulama, dan 200 utusan utusan dari 115 Persyarikatan Ummat Islam di Minangkabau.

Musyawarah Besar Minangkabau ini menelorkan MOSI MENOLAK GURU ORDONANSI 1925 yang terkenal itu.

Tiga bulan berikut, 3 - 4 Nopember 1928, di tempat yang sama, Surau Inyiak Jambek, berlangsung lagi Permusyawaratan Ulama Mingakabau Kedua.
Jumlah yang hadir lebih banyak,1500 orang.
Inilah buah dari keakraban iman.


Mungkin di waktu peristiwa besar itu, sebagian besar dari kita belum lahir.
Namun dapat membaca kembali di dalam buku PERINGATAN (Verslag) dari Majelis Permusyawaratan Oelama Minangkabau, dikumpulkan oleh A. 'Imran Djamil dan H. Abdul Malik Karim (Hamka), diterbitkan oleh Boekhandel en Taman Poestaka "Summatera Thawalib" Fort de Kock, di cetak pada Snelpers Drukkerij Gebr. "LIE" Fort de Kock, 1928.

Disebutkan di dalamnya bahwa para ulama, intelektual dan pemimpin Ummat Islam, Ninik Mamak dan Muslimat di Minangkabau telah biasa berjuang membentengi Adat dan Agama di Minangkabau.

Dapat dibuktikan dengan terbitnya satu Seroean dan Harapan yang ditujukan kepada pemerintah (Penguasa Hindia Belanda) pada tahun 1941.

Seruan itu diterbitkan berkenan dengan undang undang yang dikeluarkan oleh Resident Sumatera Barat ten¬tang "Verordening betreffende vergrijpen tegen de adat" atau "Aturan tentang melanggar adat" yang berdampak menghilangkan "nilai nilai adat itu sendiri".

Yang sangat menarik dari seruan pemimpin ummat Islam Minangkabau (Sumatera Barat) tersebut adalah persatuan yang mereka miliki.

Penanda tanganan seraun itu terdiri dari lima orang ulama besar.
Mereka adalah Syeikh Daoed Rasyidi, Syeik Mohammad Djamil Djambek, Syeik Mohammad Dajmil Djaho, Syeikh Sulaiman ar Rasoeli, dan Syeik Ibrahim Moesa.
Kemudian ada pula lima orang Ninik Mamak Alam Minangkabau, yaitu Dt. Simarajo Simabur Pariangan Padang panjang, Datuk Maharajo Dirajo Batipuh, Datuk Tungga Air Angat, Datuk Bandaro Sati bukit Surungan, dan Datuk Majo Indo Batu Sangkar.
Diperkuat oleh para intelektual, organisator, para pendiri pendidikan, saudagar (pedagang), yang dapat digolongkan cendikiawan di masa itu.
Tokoh tokoh berbobot di zaman itu adalah A.R. St. Mansoer (Muhammadiyah), Anwar (Bank Nasional), S.J. St. Mangkoeto (Bank Moeslimin Indonesia), Rky. Rahmah el Junu¬sijjah (Muslimat, Diniyah Putri), A. Kamil dan Zoelkarnaini (Angkatan Moeda Muhammadiyah yang kemudian dikenal dengan panggilan Buya Zoel.

Ini gambaran nyata dari kuatnya ikatan “tungku tigo sajarangan” atau “tali nan sapilin tigo” di Minangkabau dalam menghadapi sikap arogansi para penjajah ranah bundo.
Hasil nyata dari Seruan bertanggal 1 Januari 1941 itu adalah, Resident Sumatera Barat tidak jadi mengeluarkan undang undang yang membatasi wewenang adat ini. (lihat Typ. Tandikat PP 1941).

Hasil besar ini di perdapat karena adanya satu landasan kuat.
Kekuatan Tauhid, Aqidah Islamiyah yang di dukung oleh persa¬tuan dan Ukhuwah Islamiyah serta rasa kekeluargaan jua adanya.

Soal persatuan dan kesatuan semata mata bukanlah soal ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak hanya semata masalah HAM dan demokratisasi.
Tidak bisa dibantah, bahwa ruh persatuan dan kesatuan itu akan berpengaruh besar bagi perkembangan iptek maupun HAM dan demokratisasi itu.

Persatuan adalah aplikasi dari Tauhid (iman), yang akan mampu melahirkan "persaudaraan".


Bersaudara tumbuh dari adanya Keimanan Kepada Allah.
Sekaligus adalah aplikasi dari Ad Dinul Islam.
Konsekwensinya bila keimanan Tauhid melemah, maka akan hilanglah pula "rasa bersau-dara".

Punahnya rasa bersaudara ini dampaknya ikatan persatuan akan menjadi lemah.
Persatuan yang sesungguhnya tidak bisa di beli dengan uang ataupun materi. Soal persatuan adalah soal hati (qalb).

Tujuan yang akan di capai sebagai khittah yang telah digariskan terpulang kepada nawaitu yang telah diniat¬kan oleh hati.
Di sinilah terdapat kemurnian (pure, kebersihan) amal perbuatan untuk mencapai tujuan sesuai yang diikhlaskan (bersih) hati.

Bukanlah niat kita untuk sekedar membalik balik lembar sejarah dalam memenuhi hasrat nostalgia.
Tujuan kita sudahlah jelas.
Wijhah itu adalah satu.
Yaitu "keridhaan Allah" semata.

Keridhaan Allah itu lah bagi kita yang menjadi motivasi bagi mewujudkan amal nyata "membentuk masyarakat utama" (khaira ummah) yang memotivasi kita untuk memilih berbuat atau tidak berbuat, bahkan memotivasi untuk bertindak dan kalau perlu adamasanya mesti diam.

Mencari keridhaan Allah yang di pegang oleh setiap mukmin, adalah menjadi tujuan hidup dan menjadi tujuan mati, dan menjadi ikatan pemersatu ummat.

Sebelum satu program yang dihasilkan bisa diwujudkan dalam satu langkah oleh satu ummat di dalam Persyarikatan Muhammadiyah, kerja nomor satu adalah menyatukan wijhah yakni keredhaan Allah.

Bukan keredhaan orang lain.
Bukan pula asal aku senang, atau juga tidak karena demi golongan.

Perlu disimak kembali pesan Bapak M. Natsir, "carilah keredhaan Allah Yang Satu, supaya kita dapat bersatu".
Dan Ki Bagus Hadikusumo, 50 tahun silam mengatakan, "jangan cari benda benda bertebaran, nanti kita akan bertebaran lantarannya".
Ini suatu agenda besar bagi "ummat utama", yakni Ummat Muhammad Shallallahu 'alaihi Wassalam.

Apabila perpegangan ini tetap adanya dalam setiap tindak tanduk perjuangan, Insya Allah akan terhindar dari perpecahan (tafarruq) dan terjauh pula dari tanazu' (sikut menyikut).
Yang akan lahir adalah perlombaan sehat dan jujur (fastabiqul khairaat).

Ada lagi yang berbahaya, berobah niat di tengah perjalanan.
Apa yang tadi telah dirumuskan semula menjadi kabur tak terbaca.
Pada awalnya hendak menanam "cinta dan Takut kepada Allah" berubah menjadi "cinta kekuasaan dan takut mati".
Yang diniatkan pada awalnya "dakwah Ilallah" (mengajak ummat utama kepada Allah), berobah tumbuh menjadi "dakwah ghairullah (kepentingan diri, jual tampang untuk aku).

Perbuatan 'aku isme" atau "ananiyah" akan menyuburkan tafarruq dan tanazu' itu.
Ada beberapa tindakan yang mungkin dilakukan segera.

Pertama. Melakukan introspeksi di kalangan kita sendiri.
Mulai dari kelompok yang terkecil, bahkan keluarga.
Masihkah prinsip prinsip utama masih dipertahankan.

Kedua. Masing masing berusaha mengambil inisiatif dan aktif untuk mengikat kembali tali ukhuwah, kekerabatan dan kekeluargaan di antara keluarga tanpa gembar gembor, namun secara jujur dalam mengatasi satu dua persoalan di tengah ummat yang kita pandu.

Ketiga, Memelihara kesempatan kesempatan yang ada dan tersedia dalam melakukan tatanan kekerabatan di tengah "keluarga" kita, dengan memperbesar frekwensi pertukaran fikiran secara informal dalam berbagai masalah ummat, dalam suasana jernih, tenang dan bersih serta tidak berprasangka.

Keempat, Berusaha mencari titik titik pertemuan (kalimatun sawa) di antara kalangan kita, antara kalangan dan pribadi pribadi para intelektual muslim (zu'ama), para pemegang kendali sistim *umara), dan para ikutan ummat utama, para ulama dan aktifis pergerakan baik tua maupun muda, dalam ikatan iakatan yang tidak tegang dan kaku, karena kekuatan terletak pada keluwesan pikiran dan keteguhan prinsip.

Kelima, Menegakkan secara sungguh dan bertanggung jawab Nizhamul Mujtama' (tata hidup bermasyarakat) diatas dasar 'Aqidah Islamiyah dan Syari'ah, dengan memelihara mutu ibadah di kalangan ummat utama, Mu'amalah (sosial, ekonomi, siyasah) dan Akhlak (pemeliharaan tata nilai melelui pendidikan dan kaderisasi yang terarah).

Ummat utama tidak bisa ditegakkan dan di bentengi secara dadakan.
Hanya mungkin dilakukan melalui didikan, latihan, ujian lahir dan bathin, setaraf demi setaraf.
Mengutamakan perbaikan dari dalam.***

Selasa, 06 Mei 2008

Sesudut Perjalanan


Kekeluargaan Matrilineal di Minangkabau


KEKELUARGAAN MATRILINEAL

Oleh : H Mas'oed Abidin

Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan klen dari perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam klen-nya sebagaimana yang berlaku dalam sistem patrilineal. Oleh karena itu, waris dan pusaka diturunkan menurut garis ibu pula.

Menurut Muhammad Radjab (1969) sistem matrilineal mempunyai ciri-cirinya sebagai berikut;
1. Keturunan dihitung menurut garis ibu.
2. Suku terbentuk menurut garis ibu
3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami)
4. Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku
5. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori, terletak di tangan “ibu”, tetapi jarang sekali dipergunakan, sedangkan
6. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya
7. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya
8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.

Sistem kekerabatan ini tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang. Bahkan selalu disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan sistem adatnya. Terutama dalam mekanisme penerapannya di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu peranan seorang penghulu ataupun ninik mamak dalam kaitan bermamak berkemanakan sangatlah penting.

Bahkan peranan penghulu dan ninik mamak itu boleh dikatakan sebagai faktor penentu dan juga sebagai indikator, apakah mekanisme sistem matrilineal itu berjalan dengan semestinya atau tidak.

Jadi keberadaan sistem ini tidak hanya terletak pada kedudukan dan peranan kaum perempuan saja, tetapi punya hubungkait yang sangat kuat dengan institusi ninik mamaknya di dalam sebuah kaum, suku atau klen.
Sebagai sebuah sistem, matrilineal dijalankan berdasarkan kemampuan dan berbagai penafsiran oleh pelakunya; ninik-mamak, kaum perempuan dan anak kemenakan. Akan tetapi sebuah uraian atau perincian yang jelas dari pelaksanaan dari sistem ini, misalnya ketentuan-ketentuan yang pasti dan jelas tentang peranan seorang perempuan dan sanksi hukumnya kalau terjadi pelanggaran, ternyata sampai sekarang belum ada. Artinya tidak dijelaskan secara tegas tentang hukuman jika seorang Minang tidak menjalankan sistem matrilineal tersebut.

Sistem itu hanya diajarkan secara turun temurun kemudian disepakati dan dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya. Namun begitu, sejauh manapun sebuah penafsiran dilakukan atasnya, pada hakekatnya tetap dan tidak beranjak dari fungsi dan peranan perempuan itu sendiri. Hal seperti dapat dianggap sebagai sebuah kekuatan sistem tersebut yang tetap terjaga sampai sekarang.

Pada dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau memperkuat peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk menjaga, melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang, tanah pusaka dan sawah ladang.

Bahkan dengan adanya hukum faraidh dalam pembagian harta menurut Islam, harta pusaka kaum tetap dilindungi dengan istilah “pusako tinggi”, sedangkan harta yang boleh dibagi dimasukkan sebagai “pusako randah”.

Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau tempat penyimpanan. Itulah sebabnya dalam penentuan peraturan dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak.

Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak untuk mengatur dan mempertahankannya.

Perempuan tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak. Perempuan Minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka tidak memerlukan emansipasi lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan gender, karena sistem matrilineal telah menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan perempuan.

Para ninik-mamak telah membuatkan suatu “aturan permainan” antara laki-laki dan perempuan dengan hak dan kewajiban yang berimbang antar sesamanya.

Oleh karena itulah institusi ninik-mamak menjadi penting dan bahkan sakral bagi kemenakan dan sangat penting dalam menjaga hak dan kewajiban perempuan. Keadaan seperti ini sudah berlangsung lama, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala plus minusnya.

Keunggulan dari sistem ini adalah, dia tetap bertahan walau sistem patrilineal juga diperkenalkan oleh Islam sebagai sebuah sistem kekerabatan yang lain pula. Sistim matrilieal tidak hanya jadi sebuah “aturan” saja, tetapi telah menjadi semakin kuat menjadi suatu budaya, way of live, kecenderungan yang paling dalam diri dari setiap orang Minangkabau.

Sampai sekarang, pada setiap individu laki-laki Minang misalnya, kecenderungan mereka menyerahkan harta pusaka, warisan dari hasil pencahariannya sendiri, yang seharusnya dibagi menurut hukum faraidh kepada anak-anaknya, mereka lebih condong untuk menyerahkannya kepada anak perempuannya.

Anak perempuan itu nanti menyerahkan pula kepada anak perempuannya pula. Begitu seterusnya. Sehingga Tsuyoshi Kato dalam disertasinya menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat dalam diri orang-orang Minang walaupun mereka telah menetap di kota-kota di luar Minang sekalipun. Sistem matrilineal tampaknya belum akan meluntur sama sekali, walau kondisi-kondisi sosial lainnya sudah banyak yang berubah.

Untuk dapat menjalankan sistem itu dengan baik, maka mereka yang akan menjalankan sistem itu haruslah orang Minangkakabu itu sendiri.



Untuk dapat menentukan seseorang itu orang Minangkabau atau tidak, ada beberapa ketentuannya, atau syarat-syarat seseorang dapat dikatakan sebagai orang Minangkabau. Syarat-syarat seseorang dapat dikatakan orang Minangkabau;
1. Basuku (bamamak bakamanakan)
2. Barumah gadang
3. Basasok bajarami
4. Basawah baladang
5. Bapandan pakuburan
6. Batapian tampek mandi

Seseorang yang tidak memenuhi ketentuan tersebut di dalam berkaum bernagari, dianggap “orang kurang” atau tidak sempurna.
Bagi seseorang yang ingin menjadi orang Minang juga dibuka pintunya dengan memenuhi berbagai persyaratan pula.
Dalam istilah inggok mancangkam tabang basitumpu.
Artinya orang itu harus masuk ke dalam sebuah kaum atau suku, mengikuti seluruh aturan-aturannya.

Ada beberapa aspek penting yang diatur dalam sistem matrilienal.
Pengaturan harta pusaka
Harta pusaka yang dalam terminologi Minangkabau disebut harato jo pusako.
Harato adalah sesuatu milik kaum yang tampak dan ujud secara material seperti sawah, ladang, rumah gadang, ternak dan sebagainya.
Pusako adalah sesuatu milik kaum yang diwarisi turun temurun baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Oleh karena itu di Minangkabau dikenal pula dua kata kembar yang artinya sangat jauh berbeda; sako dan pusako.

1. Sako
Sako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang tidak berbentuk material, seperti gelar penghulu, kebesaran kaum, tuah dan penghormatan yang diberikan masyarakat kepadanya. Sako merupakan hak bagi laki-laki di dalam kaumnya. Gelar demikian tidak dapat diberikan kepada perempuan walau dalam keadaan apapun juga.
Pengaturan pewarisan gelar itu tertakluk kepada sistem kelarasan yang dianut suku atau kaum itu.

Jika menganut sistim kelarasan Koto Piliang, maka sistem pewarisan sakonya berdasarkan; patah tumbuah. Artinya, gelar berikutnya harus diberikan kepada kemenakan langsung dari si penghulu yang memegang gelar itu. Gelar demikian tidak dapat diwariskan kepada orang lain dengan alasan papun juga. Jika tidak ada laki-laki yang akan mewarisi, gelar itu digantuang atau dilipek atau disimpan sampai nanti kaum itu mempunyai laki-laki pewaris.

Jika menganut sistem kelarasan Bodi Caniago, maka sistem pewarisan sakonya berdasarkan hilang baganti. Artinya, jika seorang penghulu pemegang gelar kebesaran itu meninggal, dia dapat diwariskan kepada lelaki di dalam kaum berdasarkan kesepakatan bersama anggota kaum itu. Pergantian demikian disebut secara adatnya gadang balega.

Di dalam halnya gelar kehormatan atau gelar kepenghuluan (datuk) dapat diberikan dalam tiga tingkatan:
a. Gelar yang diwariskan dari mamak ke kemenakan. Gelar ini merupakan gelar pusaka kaum sebagaimana yang diterangkan di atas. Gelar ini disebut sebagai gelar yang mengikuti kepada perkauman yang batali darah.

b. Gelar yang diberikan oleh pihak keluarga ayah (bako) kepada anak pisangnya, karena anak pisang tersebut memerlukan gelar itu untuk menaikkan status sosialnya atau untuk keperluan lainnya. Gelar ini hanya gelar panggilan, tetapi tidak mempengaruhi konstelasi dan mekanisme kepenghuluan yang telah ada di dalam kaum. Gelar ini hanya boleh dipakai untuk dirinya sendiri, seumur hidup dan tidak boleh diwariskan kepada yang lain; anak apalagi kemenakan. Bila si penerima gelar meninggal, gelar itu akan dijemput kembali oleh bako dalam sebuah upacara adat. Gelar ini disebut sebagai gelar yang berdasarkan batali adat.

c. Gelar yang diberikan oleh raja Pagaruyung kepada seseorang yang dianggap telah berjasa menurut ukuran-ukuran tertentu. Gelar ini bukan gelar untuk mengfungsinya sebagai penghulu di dalam kaumnya sendiri, karena gelar penghulu sudah dipakai oleh pengulu kaum itu, tetapi gelaran itu adalah merupakan balasan terhadap jasa-jasanya. Gelaran ini disebut secara adat disebabkan karena batali suto. Gelar ini hanya boleh dipakai seumur hidupnya dan tidak boleh diwariskan. Bila terjadi sesuatu yang luar biasa, yang dapat merusakkan nama raja, kaum, dan nagari, maka gelaran itu dapat dicabut kembali.

2. Pusako
Pusako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang berbentuk material, seperti sawah, ladang, rumah gadang dan lainnya.
Pusako dimanfaatkan oleh perempuan di dalam kaumnya.
Hasil sawah, ladang menjadi bekal hidup perempuan dengan anak-anaknya.
Rumah gadang menjadi tempat tinggalnya.
Laki-laki berhak mengatur tetapi tidak berhak untuk memiliki.

Karena itu di Minangkabau kata hak milik bukanlah merupakan kata kembar, tetapi dua kata yang satu sama lain artinya tetapi berada dalam konteks yang sama.
Hak dan milik.
Laki-laki punya hak terhadap pusako kaum, tetapi dia bukan pemilik pusako kaumnya.
Dalam pengaturan pewarisan pusako, semua harta yang akan diwariskan harus ditentukan dulu kedudukannya.

'Kedudukan harta pusaka itu terbagi dalam;

a. Pusako tinggi.
Harta pusaka kaum yang diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis ibu.
Pusaka tinggi hanya boleh digadaikan bila keadaan sangat mendesak sekali hanya untuk tiga hal saja;
pertama, gadih gadang indak balaki,
kedua, maik tabujua tangah rumah,
ketiga, rumah gadang katirisan.
Selain dari ketiga hal di atas harta pusaka tidak boleh digadaikan apalagi dijual.

b. Pusako randah.
Harta pusaka yang didapat selama perkawinan antara suami dan istri.
Pusaka ini disebut juga harta bawaan, artinya modal dasarnya berasal dari masing-masing kaum.
Pusako randah diwariskan kepada anak, istri dan saudara laki-laki berdasarkan hukum faraidh, atau hukum Islam.
Namun dalam berbagai kasus di Minangkabau, umumnya, pusako randah ini juga diserahkan oleh laki-laki pewaris kepada adik perempuannya.
Tidak dibaginya menurut hukum faraidh tersebut. Inilah mungkin yang dimaksudkan Tsuyoshi Kato bahwa sistem matrilineal akan menguat dengan adanya keluarga batih.
Karena setiap laki-laki pewaris pusako randah akan selalu menyerahkan harta itu kepada saudara perempuannya.
Selanjutanya saudara perempuan itu mewariskan pula kepada anak perempuannya.
Begitu seterusnya.
Akibatnya, pusako randah pada mulanya, dalam dua atau tiga generasi berikutnya menjadi pusako tinggi pula.

Peranan laki-laki
Kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam adat Minangkabau berada dalam posisi seimbang.
Laki-laki punya hak untuk mengatur segala yang ada di dalam perkauman, baik pengaturan pemakaian, pembagian harta pusaka, perempuan sebagai pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu untuk keperluannya anak beranak.
Peranan laki-laki di dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus dijalankannya dengan seimbang dan sejalan.

1. Sebagai kemenakan
Di dalam kaumnya, seorang laki-laki bermula sebagai kemenakan (atau dalam hubungan kekerabatan disebutkan; ketek anak urang, lah gadang kamanakan awak).
Sebagai kemenakan dia harus mematuhi segala aturan yang ada di dalam kaum.
Belajar untuk mengetahui semua aset kaumnya dan semua anggota keluarga kaumnya.
Oleh karena itu, ketika seseorang berstatus menjadi kemenakan, dia selalu disuruh ke sana ke mari untuk mengetahui segala hal tentang adat dan perkaumannya.
Dalam kaitan ini, peranan Surau menjadi penting, karena Surau adalah sarana tempat mempelajari semua hal itu baik dari mamaknya sendiri maupun dari orang lain yang berada di surau tersebut.

Dalam menentukan status kemenakan sebagai pewaris sako dan pusako, anak kemenakan dikelompokan menjadi tiga kelompok:
a. Kemenakan di bawah daguak
b. Kemenakan di bawah pusek
c. Kemenakan di bawah lutuik

Kemenakan di bawah daguak adalah penerima langsung waris sako dan pusako dari mamaknya.
Kemenakan di bawah pusek adalah penerima waris apabila kemenakan di bawah daguak tidak ada (punah). Kemenakan di bawah lutuik, umumnya tidak diikutkan dalam pewarisan sako dan pusako kaum.

2. Sebagai mamak
Pada giliran berikutnya, setelah dia dewasa, dia akan menjadi mamak dan bertanggung jawab kepada kemenakannya.
Mau tidak mau, suka tidak suka, tugas itu harus dijalaninya.
Dia bekerja di sawah kaumnya untuk saudara perempuannya anak-beranak yang sekaligus itulah pula kemenakannya.
Dia mulai ikut mengatur, walau tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan mamaknya yang lebih tinggi, yaitu penghulu kaum.

3. Sebagai penghulu
Selanjutnya, dia akan memegang kendali kaumnya sebagai penghulu.
Gelar kebesaran diberikan kepadanya, dengan sebutan datuk.
Seorang penghulu berkewajiban menjaga keutuhan kaum, mengatur pemakaian harta pusaka.
Dia juga bertindak terhadap hal-hal yang berada di luar kaumnya untuk kepentingan kaumnya.
Setiap laki-laki terhadap kaumnya selalu diajarkan; kalau tidak dapat menambah (maksudnya harta pusaka kaum), jangan mengurangi (maksudnya, menjual, menggadai atau menjadikan milik sendiri).

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa peranan seorang laki-laki di dalam kaum disimpulkan dalam ajaran adatnya; Tagak badunsanak mamaga dunsanak Tagak basuku mamaga suku Tagak ba kampuang mamaga kampuang Tagak ba nagari mamaga nagari

4. Peranan di luar kaum
Selain berperan di dalam kaum sebagai kemanakan, mamak atau penghulu, seorang anak lelaki setelah dia kawin dan berumah tangga, dia mempunyai peranan lain sebagai tamu atau pendatang di dalam kaum isterinya.
Artinya di sini, dia sebagai duta pihak kaumnya di dalam kaum istrinya, dan istri sebagai duta kaumnya pula di dalam kaum suaminya.
Satu sama lain harus menjaga kesimbangan dalam berbagai hal, termasuk perlakuan-perlakuan terhadap anggota kaum kedua belah pihak.

Di dalam kaum istrinya, seorang laki-laki adalah sumando (semenda).

Sumando ini di dalam masyarakat Minangkabau dibuatkan pula beberapa kategori;
a. Sumando ninik mamak. Artinya, semenda yang dapat ikut memberikan ketenteraman pada kedua kaum; kaum istrinya dan kaumnya sendiri. Mencarikan jalan keluar terhadap sesuatu persoalan dengan sebijaksana mungkin. Dia lebih berperan sebagai seorang yang arif dan bijaksana.

Dua sifat berikut ini tidak boleh dipakai.
b. Sumando kacang miang. Artinya, sumando yang membuat kaum istrinya menjadi gelisah karena dia memunculkan atau mempertajam persoalan-persoalan yang seharusnya tidak dimunculkan. Sikap seperti ini tidak boleh dipakai.
c. Sumando lapik buruk. Artinya, sumando yang hanya memikirkan anak istrinya semata tanpa peduli dengan persoalan-persoalan lainnya. Dikatakan juga sumando seperti seperti sumando apak paja, yang hanya berfungsi sebagai tampang atau bibit semata. Sikap seperti ini juga tidak boleh dipakai dan harus dijauhi.

Sumando tidak punya kekuasan apapun di rumah istrinya, sebagaimana yang selalu diungkapkan dalam pepatah petitih; Sadalam-dalam payo Hinggo dado itiak Sakuaso-kuaso urang sumando Hinggo pintu biliak

Peranan sumando yang baik dikatakan; Rancak rumah dek sumando Elok hukum dek mamaknyo

Kaum dan Pesukuan Orang Minangkabau yang berasal dari satu keturunan dalam garis matrilineal merupakan anggota kaum dari keturunan tersebut.
Di dalam sebuah kaum, unit terkecil disebut samande.
Yang berasal dari satu ibu (mande). Unit yang lebih luas dari samande disebut saparuik.
Maksudnya berasal dari nenek yang sama.

Kemudian saniniak maksudnya adalah keturunan nenek dari nenek.
Yang lebih luas dari itu lagi disebut sakaum. Kemudian dalam bentuknya yang lebih luas, disebut sasuku. Maksudnya, berasal dari keturunan yang sama sejak dari nenek moyangnya.

Suku artinya seperempat atau kaki.
Jadi, pengertian sasuku dalam sebuah nagari adalah seperempat dari penduduk nagari tersebut.
Karena, dalam sebuah nagari harus ada empat suku besar.

Padamulanya suku-suku itu terdiri dari Koto, Piliang, Bodi dan Caniago.
Dalam perkembangannya, karena bertambahnya populasi masyarakat setiap suku, suku-suku itupun dimekarkan.

Koto dan Piliang berkembang menjadi beberapa suku; Tanjuang, Sikumbang, Kutianyir, Guci, Payobada, Jambak, Salo, Banuhampu, Damo, Tobo, Galumpang, Dalimo, Pisang, Pagacancang, Patapang, Melayu, Bendang, Kampai, Panai, Sikujo, Mandahiliang, Bijo dll.

Bodi dan Caniago berkembang menjadi beberapa suku; Sungai Napa, Singkuang, Supayang, Lubuk Batang, Panyalai, Mandaliko, Sumagek dll.

Dalam majlis peradatan keempat pimpinan dari suku-suku ini disebut urang nan ampek suku.
Dalam sebuah nagari ada yang tetap dengan memakai ampek suku tapi ada juga memakai limo suku, maksudnya ada nama suku lain; Malayu yang dimasukkan ke sana.

Sebuah suku dengan suku yang lain, mungkin berdasarkan sejarah, keturunan atau kepercayaan yang mereka yakini tentang asal sulu mereka, boleh jadi berasal dari perempuan yang sama.
Suku-suku yang merasa punya kaitan keturunan ini disebut dengan sapayuang.
Dari beberapa payuang yang juga berasal sejarah yang sama, disebut sahindu.
Namun, yang lazim dikenal dalam berbagai aktivitas sosial masyarakat Minangkabau adalah; sasuku dan sapayuang saja.
Sebuah kaum mempunyai keterkaitan dengan suku-suku lainnya, terutama disebabkan oleh perkawinan.
Oleh karena itu kaum punya struktur yang umumnya dipakai oleh setiap suku;

Struktur di dalam kaum
Di dalam sebuah kaum, strukturnya sebagai berikut;
a. Mamak yang dipercaya sebagai pimpinan kaum yang disebut Penghulu bergelar datuk.
b. Mamak-mamak di bawah penghulu yang dipercayai memimpin setiap rumah gadang, karena di dalam satu kaum kemungkinan rumah gadangnya banyak.

Mamak-mamak yang mempimpin setiap rumah gadang itu disebut; tungganai.
Seorang laki-laki yang memikul tugas sebagai tungganai rumah pada beberapa suku tertentu mereka juga diberi gelar datuk.
Di bawah tungganai ada laki-laki dewasa yang telah kawin juga, berstatus sebagai mamak biasa.
Di bawah mamak itulah baru ada kemenakan.

Struktur dalam kaitannya dengan suku lain.
Akibat dari sistem matrilienal yang mengharuskan setiap anggota suku harus kawin dengan anggota suku lain, maka keterkaitan akibat perkawinan melahirkan suatu struktur yang lain, struktur yang mengatur hubungan anggota sebuah suku dengan suku lain yang terikat dalam tali perkawinan tersebut.

a. Induk bako anak pisang
Induak bako anak pisang merupakan dua kata yang berbeda; induak bako dan anak pisang. Induak bako adalah semua ibu dari keluarga pihak ayah. Bako adalah semua anggota suku dari kaum pihak ayah. Induak bako punya peranan dan posisi tersendiri di dalam sebuah kaum pihak si anak.

b. Andan pasumandan
Andan pasumandan juga merupakan dua kata yang berbeda; andan dan pasumandan. Pasumandan adalah pihak keluarga dari suami atau istri. Suami dari rumah gadang A yang kawin dengan isteri dari rumah gadang B, maka pasumandan bagi isteri adalah perempuan yang berada dalam kaum suami. Sedangkan andan bagi kaum rumah gadang A adalah anggota kaum rumah gadang C yang juga terikat perkawinan dengan salah seorang anggota rumah gadang

Bundo Kanduang
Dalam masyarakat Minangkabau dewasa ini kata Bundo Kanduang mempunyai banyak pengertian pula, antara lain;
a) Bundo kanduang sebagai perempuan utama di dalam kaum, sebagaimana yang dijelaskan di atas.
b) Bundo Kanduang yang ada di dalam cerita rakyat atau kaba Cindua Mato. Bundo Kanduang sebagai raja Minangkabau atau raja Pagaruyung.
c) Bundo kanduang sebagai ibu kanduang sendiri.
d) Bundo kanduang sebagai sebuah nama organisasi perempuan Minangkabau berdampingan LKAAM.

Bundo kanduang yang dimaksudkan di dalam adat adalah Bundo Kanduang sebagai perempuan utama.
Bundo kanduang sebagai perempuan utama.
Apabila ibu atau tingkatan ibu dari mamak yang jadi penghulu masih hidup, maka dialah yang disebut Bundo Kanduang, atau mandeh atau niniek.
Dialah perempuan utama di dalam kaum itu.

Budaya Minangkabau dalam adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” menempatkan perempuan pada posisi peran.
Kadangkala dijuluki dengan sebutan;
~ orang rumah (hiduik batampek, mati bakubua, kuburan hiduik dirumah gadang, kuburan mati ditangah padang),
~ induak bareh (nan lamah di tueh, nan condong di tungkek, ayam barinduak, siriah bajunjuang),
~ pemimpin (tahu di mudharat jo manfaat, mangana labo jo rugi, mangatahui sumbang jo salah, tahu di unak kamanyangkuik, tahu di rantiang ka mancucuak, ingek di dahan ka mahimpok, tahu di angin nan basiruik, arih di ombak nan basabuang, tahu di alamat kato sampai),

Pemahamannya berarti perempuan Minang sangat arif, mengerti dan tahu dengan yang pantas dan patut, menjadi asas utama kepemipinan di tengah masyarakat.

Anak Minangkabau memanggil ibunya dengan bundo karena perempuan Minangkabau umumnya menjaga martabat,
(1). Hati-hati (watak Islam khauf), ingek dan jago pado adat, ingek di adat nan ka rusak, jago limbago nan kasumbiang,
(2). Yakin kepada Allah (iman bertauhid), jantaruah bak katidiang, jan baserak bak amjalai, kok ado rundiang ba nan batin, patuik baduo jan batigo, nak jan lahie di danga urang.
(3). Perangai berpatutan (uswah istiqamah), maha tak dapek di bali, murah tak dapek dimintak, takuik di paham ka tagadai, takuik di budi katajua,
(4). Kaya hati (Ghinaun nafs), sopan santun hemat dan khidmat,
(5). Tabah (redha), haniang ulu bicaro, naniang saribu aka, dek saba bana mandatang,
(6). Jimek (hemat tidak mubazir), dikana labo jo rugi, dalam awal akia membayang, ingek di paham katagadai, ingek di budi katajua, mamakai malu dengan sopan.

Dalam ungkapan sehari-hari, perempuan Minang disebut pula padusi artinya padu isi dengan lima sifat utama; (a). benar,
(b). jujur lahir batin,
(c). cerdik pandai,
(d). fasih mendidik dan terdidik,
(e). bersifat malu (Rarak kalikih dek mindalu, tumbuah sarumpun jo sikasek, kok hilang raso jo malu, bak kayu lungga pangabek.

Selanjutnya, Anak urang Koto Hilalang, Handak lalu ka Pakan Baso, malu jo sopan kalau lah hilang, habihlah raso jo pareso, artinya didalam kebenaran Islam, al hayak nisful iman = malu adalah paruhan dari Iman.

Falsafah hidup beradat mendudukkan perempuan Minang pada sebutan bundo kandung menjadi limpapeh rumah nan gadang, umbun puro pegangan kunci, umbun puruak aluang bunian, hiasan di dalam kampuang, sumarak dalam nagari, nan gadang basa batauah, kok hiduik tampek ba nasa, kalau mati tampek ba niaik, ka unduang-unduang ka madinah, ka payuang panji ka sarugo.

Ungkapan ini sesungguhnya amat jelas mendudukkan betapa kokohnya perempuan Minang pada posisi sentral, menjadi pemilik seluruh kekayaan, rumah, anak, suku bahkan kaum, dan kalangan awam di nagari dan taratak menggelarinya dengan “biaiy, mandeh”, menempatkan laki-laki pada peran pelindung, pemelihara dan penjaga harta dari perempuan-nya dan anak turunannya.

Dalam siklus ini generasi Minangkabau lahir bernasab ayah (laki-laki), bersuku ibu (perempuan), bergelar mamak (garis matrilineal), memperlihatkan egaliternya suatu persenyawaan budaya dan syarak yang indah.(2)

Kebenaran Agama Islam menempatkan perempuan (ibu) mitra setara (partisipatif) dan lelaki menjadi pelindung wanita (qawwamuuna 'alan‑nisaa'), karena kelebihan pada kekuatan, badan, fikiran, keluasaan, penalaran, kemampuan, ekonomi, kecerdasan, ketabahan, kesigapan dan anugerah (QS. An Nisa' 34).

Perempuan dibina menjadi mar'ah shalihah (= perempuan shaleh yang ceria dan lembut, menjaga diri, memelihara kehormatan, patuh (qanitaat) kepada Allah, hafidzaatun lil ghaibi bimaa hafidzallahu (= memelihara kesucian faraj di belakang pasangannya, karena Allah menempatkan faraj dan rahim perempuan terjaga, maka tidak ada keindahan yang bisa melebihi perhiasan atau tampilan "indahnya wanita shaleh" (Al Hadist). Kodrat perempuan memiliki peran ganda; penyejuk hati dan pendidik utama, menempatkan sorga terhampar dibawah telapak kaki perempuan (ibu, ummahat).

Kebenaran Agama Islam menempatkan perempuan (ibu) mitra setara (partisipatif) dan lelaki menjadi pelindung wanita (qawwamuuna 'alan‑nisaa'), karena kelebihan pada kekuatan, badan, fikiran, keluasaan, penalaran, kemampuan, ekonomi, kecerdasan, ketabahan, kesigapan dan anugerah (QS. An Nisa' 34).

Perempuan dibina menjadi mar'ah shalihah (= perempuan shaleh yang ceria dan lembut, menjaga diri, memelihara kehormatan, patuh (qanitaat) kepada Allah, hafidzaatun lil ghaibi bimaa hafidzallahu (= memelihara kesucian faraj di belakang pasangannya, karena Allah menempatkan faraj dan rahim perempuan terjaga, maka tidak ada keindahan yang bisa melebihi perhiasan atau tampilan "indahnya wanita shaleh" (Al Hadist).

Kodrat perempuan memiliki peran ganda; penyejuk hati dan pendidik utama, menempatkan sorga terhampar dibawah telapak kaki perempuan (ibu, ummahat).

Di bawah naungan konsep Islam, perempuan berkepribadian sempurna, bergaul ma'ruf dan ihsan, kasih sayang dan cinta, lembut dan lindung, berkehormatan, berpadu hak dan kewajiban.

Terpatri pada tidak punya arti sesuatu kalau pasangannya tidak ada dan tidak jelas eksistensi sesuatu kalau tidak ada yang setara di sampingnya, inilah kata yang lebih tepat untuk azwajan itu.[1] Secara moral, perempuan punya hak utuh menjadi Ikutan Bagi Umat.

Masyarakat baik lahir dari relasi kemasyarakatan pemelihara tetangga, perekat silaturrahim dan tumbuh dengan pribadi kokoh (exist), karakter teguh (istiqamah, konsisten) dan tegar (shabar, optimis) menapak hidup.

Rohaninya (rasa, fikiran, dan kemauan) dibimbing keyakinan hidayah iman. Jasmaninya (gerak, amal perbuatan) dibina oleh aturan syari'at Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.

شَرَعَ لَكُمْ مِنْ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِه إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ِأَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهَِ

“Allah telah menyari’atkan dasar hidup “ad-din” bagi kamu seperti telah diwasiatkanNya kepada Nuh, dan telah dipesankan kepadamu (Muhammad). Agama yang telah dipesankan kepada Ibrahim, Musa, Isa dengan perintah agar kalian semua mendaulatkan agama ini dan jangan kalian berpecah dari mengikutinya…” (QS.Syura : 13).

Perilaku kehidupan menurut mabda' (konsep) Alquran, bahwa makhluk diciptakan dalam rangka pengabdian kepada Khaliq (QS. 51, Adz Dzariyaat : 56), memberi warning peringatan agar tidak terperangkap kebodohan dan kelalaian sepanjang masa. Manusia adalah makhluk pelupa (Al Hadist).[2]

Tegasnya, seorang Muslim wajib menda'wahkan Islam, menerapkan amar ma'ruf dan nahi munkar (QS. Ali 'Imran :104), dimulai dari diri sendiri, agar terhindar dari celaan (QS. Al Baqarah :44 dan QS. Ash‑Shaf :3). Amar ma'ruf nahi munkar adalah tiang kemashlahatan hidup umat manusia, di dasari dengan Iman billah (QS. Ali 'Imran :110) agar tercipta satu bangunan umat yang berkualitas (khaira ummah).

Maka posisi perempuan atau bundo kanduang di dalam Islam ada dalam bingkai (frame) ini. Perempuan yang disebut bundo anduang dalam kaumnya, mempunyai kekuasaan lebih tinggi dari seorang penghulu karena dia setingkat ibu, atau ibu penghulu itu betul. Dia dapat menegur penghulu itu apabila si penghulu melakukan suatu kekeliruan. Perempuan-perempuan setingkat mande di bawahnya, apabila dia dianggap lebih pandai, bijak dan baik, diapun sering dijaikan perempuan utama di dalam kaum.

Secara implisit tampaknya, perempuan utama di dalam suatu kaum, adalah semacam badan pengawasan atau lembaga kontrol dari apa yang dilakukan seorang penghulu.

Catatan :

[1] Dalam Ajaran Islam, penghormatan kepada Ibu menempati urutan kedua sesudah iman kepada Allah (konsep tauhidullah). Bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada Ibu, diwasiatkan sejalan untuk seluruh manusia. Penghormatan kepada Ibu (perempuan) menjadi disiplin hidup yang tidak boleh diabaikan. Disiplin ini tidak dibatas oleh adanya perbedaan anutan keyakinan. Hubungan hidup duniawi wajib dipelihara baik dengan jalinan ihsan (lihat QS. 31, Luqman : 14-15). Universalitas (syumuliyah) Alquran menjawab tantangan zaman (QS. Al Baqarah, 2 dan 23) dengan menerima petunjuk berasas taqwa (memelihara diri), tidak ragu kepada Alquran menjiwai hidayah, karena Allahul Khaliqul 'alam telah menciptakan alam semesta amat sempurna, tidak ditemui mislijk kesiasiaan (QS. 3, Ali 'Imran, ayat 191), diatur dengan lurus (hanif) sesuai fithrah yang tetap (QS. 30, Ar Rum, ayat 30) dalam perangkat natuur‑wet atau sunnatullah yang tidak berjalan sendiri, saling terkait agar satu sama lain tidak berbenturan. Kandungan nilai pendidikan dan filosofi ini terikat kokoh kasih sayang, hakikinya semua datang dan terjadi karena Rahman dan RahimNya dan akan berakhir dengan menghadapNya, maka kewajiban asasi insani menjaga diri dan keluarga dari bencana (QS. At Tahrim :6) dengan memakai hidayah religi Alqurani.

[2] "Ibu (an-Nisak) adalah tiang negeri" (al Hadist). Jika kaum perempuan suatu negeri (bangsa) berkelakuan baik (shalihah), niscaya akan sejahtera negeri itu. Sebaliknya, bila berperangai fasad akibatnya negeri itu akan binasa seluruhnya. Banyak hadist Nabi menyatakan pentingnya pemeliharaan hubungan bertetangga, menanamkan sikap peduli, berprilaku mulia, solidaritas tinggi dalam kehidupan keliling dan memelihara citra diri. "Demi Allah, dia tidak beriman”, "Siapakah dia wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Yaitu, orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatan-kejahatannya". (Hadist diriwayatkan Asy-Syaikhan). Pentingnya pendidikan akhlak Islam, “Satu bangsa akan tegak kokoh dengan akhlak (moralitas budaya dan ajaran agama yang benar)”. Tata krama pergaulan dimulai dari penghormatan kepada perempuan (ibu) dan rumah tangga, dikembangkan kelingkungan tetangga dan ketengah pergaulan warga masyarakat (bangsa), sesuai QS.41, Fush-shilat, ayat 34.