Minggu, 17 Agustus 2008

Mohamad Natsir menurut tulisan Peneliti LIPI di Kompas

Supaya lebih jelas dan tidak keliru atas tulisan Asvi Warman Adam saya
postingkan tulisannya di kompas tanngal 17 Juli 2008 , diambil dari
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/17/00452911/natsir.pahlawan

----


Natsir Pahlawan Nasional Jul 20, '08 10:25 AM

Oleh Asvi Warman Adam

Tanggal 17 Juli 2008, tepat 100 tahun kelahiran Mohammad Natsir. Kali
ini, peringatan tidak hanya mengenang pemikiran dan kepribadian tokoh
yang bersih dan konsisten, tetapi ada usul untuk mengangkatnya sebagai
pahlawan nasional.

Mohammad Natsir berjasa mengembalikan bentuk pemerintahan federal
menjadi negara kesatuan. Ia yang prihatin dengan proses disintegrasi
negara-bangsa berpidato pada sidang DPR Republik Indonesia Serikat
(RIS) tanggal 3 April 1950 yang dikenal sebagai Mosi Integral Natsir.

Negara kesatuan

Ia mengusulkan agar RIS melebur kembali menjadi negara kesatuan
Republik Indonesia. Atas jasanya, Soekarno meminta Natsir untuk
membentuk kabinet yang pertama dari negara kesatuan Republik Indonesia
(1950-1951). Dalam pemilu pertama 1955, ia berprestasi memimpin
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) meraih suara nomor dua
terbanyak setelah PNI (Partai Nasional Indonesia).

Jika kita berbicara tentang etika politik, itu sudah ditunjukkan
Natsir. Ia bisa berdebat sengit dengan Ketua PKI DN Aidit di dalam
sidang, setelah itu berbincang ringan sambil meminum secangkir kopi.
Kehidupan yang asketis juga dijalani politikus Muslim kaliber
internasional ini.

Bila kita kini melihat mobil- mobil mewah diparkir di pelataran gedung
DPR, Natsir menolak ketika seorang pengusaha memberi hadiah sebuah
mobil Chevrolet Impala yang saat itu tergolong mentereng. Padahal, di
rumahnya hanya ada sebuah mobil tua, De Soto.

Ia berpolitik secara santun dan berdakwah tanpa kekerasan. Ia
politikus yang hidup bersahaja. Ia santun terhadap Soekarno dan
bersikap correct terhadap Soeharto. Pada awal Orde Baru ia berjasa
mengirim nota kepada Tunku Abdurrachman dalam rangka pencairan
hubungan diplomatik dengan Malaysia.

Ia mengontak Pemerintah Kuwait agar mau menanamkan modal di Indonesia
dan meyakinkan pemerintahan Jepang tentang kesungguhan Orde Baru
membangun ekonomi. Ironisnya, imbalan yang diberikan penguasa adalah
larangan baginya untuk kembali ke pentas politik.

Pahlawan nasional?

Masalahnya, layakkah ia diangkat sebagai pahlawan nasional? Dalam
kriteria pahlawan nasional ada klausul, orang itu tidak pernah cacat
dalam perjuangannya. Selama Orde Baru kriteria itu digunakan tanpa
ukuran yang jelas. Kabarnya Sanusi Hardjadinata, tokoh PNI, mantan
Menteri era Soekarno dan Gubernur Jawa Barat saat berlangsung
Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955, ditolak menjadi
pahlawan nasional karena pernah menandatangani Petisi 50.

Alasan itu terasa berlebihan karena petisi yang dikeluarkan 50 tokoh
nasional tahun 1980 itu merupakan sikap kritis atas pernyataan
Presiden Soeharto yang otoriter terhadap mereka yang mencoba mengubah
Pancasila dan UUD 1945. Natsir menandatangani petisi itu, juga Sanusi
Hardjadinata, Hugeng, Ali Sadikin, SK Trimurti, dan banyak tokoh lain.
Alasan ini seyogianya tidak digunakan untuk menolak pencalonan
pahlawan nasional.

Petisi jelas berbeda dengan pemberontakan, meskipun Soeharto
menanggapi dengan tindak kekerasan senada. Sebenarnya, yang
memberatkan Natsir adalah keterlibatannya dalam Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958 dan meningkat dengan
pembentukan Republik Persatuan Indonesia (RPI) tahun 1960 yang terdiri
dari 10 negara bagian seperti Republik Islam Aceh dan Republik Islam
Sulawesi Selatan (Audrey dan George Kahin, 1997: 381)

Sjafruddin Prawiranegara

Tahun lalu, Sjafruddin Prawiranegara juga diproses sebagai calon
pahlawan nasional. Namanya lolos seleksi Badan Pembina Pahlawan Pusat.
Namun, usulan ini kandas di tangan Presiden. Tampaknya keterlibatan
Sjafruddin Prawiranegara dalam sebuah pemberontakan tetap tidak bisa
ditolerir kepala negara.

Padahal, Sjafruddin Prawiranegara memiliki jasa besar terhadap negara.
Apa jadinya Indonesia bila Sjafruddin tidak memimpin Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI), pemerintahan gerilya yang bergerak
di Sumatera. Tentu terjadi kevakuman pemerintahan, atau republik
mengalami mati suri sesaat.

Saat ini, pemerintah hanya menetapkan terbentuknya PDRI sebagai hari
bela negara. Selain bintang jasa tertinggi yang diterima, namanya
diabadikan pada dua gedung yang berseberangan di Jl Budi Kemuliaan
Jakarta (di kompleks Bank Indonesia dan satu lagi di Departemen
Pertahanan karena Sjafruddin pernah memimpin kedua instansi ini).

Warga Minangkabau tentu bangga bila pemangku adat Mohammad Natsir yang
bergelar Datuk Sinaro Panjang menjadi pahlawan nasional. Namun, bila
ketentuan menegaskan, tokoh yang terlibat pemberontakan tidak memenuhi
syarat, dengan jiwa besar harus menerimanya. Bukankah Natsir telah
mendapat penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana yang
diberikan semasa pemerintahan Habibie. Meski itu bukan gelar pahlawan
nasional, biarlah asketisme hidupnya senantiasa dikenang masyarakat
dan kebersahajaan beliau menjadi contoh bagi kita semua terutama para
pemimpin di negeri ini.

Asvi Warman Adam Ahli Peneliti Utama LIPI

Tidak ada komentar: