Rabu, 18 Februari 2009

Saafruddin Bahar, tentang Pertemuan LKAAM Sumbar

Pengantar



Pada tanggal 16 dan 17 Februari 2009 bertempat di Asrama Haji di Parupuak, Tabing, Padang, Bp H Azaly Djohan S.H, selalu Ketua Umum Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat (Setnas MHA), Sdr Ahmadsyah Harrofie S.H,M.H selaku Sekretaris Jenderal Sekretariat Bersama Lembaga Adat Rumpun Melayu se Sumatera, dan saya selaku Ketua Dewan Pakar Setnas MHA, menghadiri acara Musyawarah Kerja yang diadakan Pucuk Pimpinan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat.



Acara ini dihadiri oleh kl 200 orang peserta, terdiri dari utusan LKAAM tingkat provinsi, kabupaten, dan kota se Sumbar; Kajari se Sumbar; ketua Pengadilan Negeri se Sumbar; ketua BPN kabupaten dan kota se Sumbar; Kapoltabes/Polres se Sumbar; dan undangan khusus lainnya. Musyawarah Kerja ini dibuka secara resmi oleh Gubernur Sumatera Barat, Gamawan Fauzi.



Berikut saya sampaikan pokok-pokok acara tersebut di atas, khusus bagi para sanak yang berminat untuk mengetahuinya.



Kutipan Kerangka Acuan



1. Dalam Kerangka Acuan Bimbingan Teknis ini tercantum pertimbangan bahwa konflik horizontal di dalam masyarakat SumateraBarat ‘ sudah masuk ke skala intensitas tinggi. Di setiap nagari di Sumatera Barat tidak ada yang tidak terjadi konflik horizontal, seperti : perkelahian massal antar nagari disebabkan persengketaan tapal batas; gugat mengugat antar kaum dalam persengketaan hak sako dan pusako; unjuk kekuatan massal dalam persengketaan pemanfaatan tanah ulayat, perselisihan antar keluarga karena pelanggaran adat yang berlanjut ke tindak kriminal”.

2. “Bimbingan teknis beracara hukum adat adalah suatu kegiatan Pndidikan dan pelatihan (diklat) berbentuk Training of Trainers (ToT) dimana Ketua dan Sekretaris LKAAM kabupaten/kota se Sumatera Barat yang menjadi peserta dapat mengembangkannya kepada seluruh ninik mamak pemangku adat sehingga mereka siap menangani konflik di tengah-tengah masyarakat adat bersama Pemerintah dan lembaga penegak hukum negara. Lingkup materi yang yang akan diberikan adalah pembekalan pengetahuan melalui ceramah terstruktur dengan bahan ajar tertulis dan penyajiannya secara tekstual dan kontekstual dengan media audio visual”.



3. Materi Bimbingan Teknis dan daftar pembicara dalam acara Bimbingan Teknis ini adalah sebagai berikut.

Hari Pertama, 16 Februari 2009

a. Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) serta Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) Pemangku Adat di Nagari dan dalam kaum/Suku, oleh Drs. M.Sayuti Dt Rajo Penghulu,M.Pd, Sekum LKAAM Sumbar.

b. Filsafat Hukum Adat dan Hukum Negara, oleh Bachtiar Abna S.H,M.H, Dt Rajo Suleman.

c. Hak-hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, oleh Waka Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat.

d. Peranan Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat (Setnas MHA) dalam Membela Masyarakat Adat,
dengan tiga makalah, yaitu:

1). Ketua Umum H.Azali Djohan S.H,” Lembaga Adat dan Regenerasi Kepemimpinan Adat dalam Rumpun Melayu”.

2). Wakil Ketua Umum Prof Dr Ruswiati Suryasaputra MS, “Peran Strategis Sekretariat Nasional Masyarakat

Hukum Adat bagi Keberlangsungan Kepemimpinan Adat” [berhalangan hadir karena ada dinas di Jakarta],

3). Ketua Dewan Pakar Dr Saafroedin Bahar, “Arti Penting Inventarisasi Masyarakat Hukum Adat dan Mekanisme Pelaksanaannya”.



Hari Kedua, 17 Februari 2009.

a. Peradilan Hukum Adat dan Peradilan Hukum Negara oleh Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Barat

b. Sinergi Hukum Negara dan Hukum Adat dalam Penyelesaian Sengketa Masyarakat Adat oleh Kapolda Sumatera Barat.

c. UUPA dalam Perspektif Hukum Adat dan Hak Tanah Ulayat oleh Kepala BPN Sumatera Barat



Presentasi Materi dan Tanya Jawab pada Hari Pertama.

Presentasi materi pada hari pertama disajikan oleh lima pembicara berbentuk panel, berlangsung secara amat intensif dari jam 20.00 – 24.10, berbentuk slides PowerPoint dan ceramah, masing-masing selama 25 menit, diikuti oleh tanya jawab dengan para peserta, terdiri dari tiga sesi.


Materi presentasi disajikan secara lugas, sistematis, dan jernih, baik mengenai struktur organisasi, tata kerja, dan tugas pokok serta fungsi pemangku adat, maupun mengenai filsafat hukum adat dan hukum negara, maupun mengenai hak konstitusional masyarakat hukum adat serta peranan Setnas MHA, maupun pertanyaan dan jawaban yang berlangsung setelahnya.


Fokus dari presentasi adalah membangun suasana kelembagaan yang memungkinkan berfungsinya kembali kepemimpinan para ninik mamak pemangku adat dalam menyelesaikan konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau, bekerjasama dengan fihak kepolisian, kejaksaan, serta pengadilan negeri.


Baik pembicara dari LKAAM Sumbar maupun pembicara dari Universitas Andalas menekankan perlunya payung hukum untuk kegiatan pengadilan adat ini, baik dengan memperlakukan hukum adat sebagai lex specialis maupun dengan menghidupkan kembali institusi pengadilan adat yang pernah ada di masa lampau. [Menurut Panitia Pelaksana, dalam kata sambutannya Gubernur Gamawan Fauzi sebagai keynote speaker mengharapkan adanya satu fasal dalam undang-undang yang memberi wewenang untuk hidupnya kembali pengadilan adat.]


Dua orang peserta, yang satu berpangkat ajun komisaris polisi dan yang lain hakim pengadilan negeri, menyampaikan informasi bahwa pada saat ini sudah ada instruksi dari instansinya masing-masing bahwa sengketa adat serta tindak pidana ringan agar diserahkan terlebih dahulu kepada para pimpinan masyarakat adat yang bersangkutan untuk diselesaikan sebelum diproses oleh fihak kepolisian.


Tim dari Setnas MHA menerangkan kegiatan yang telah dilakukan dalam bidang hukum, baik dengan mempersiapkan Naskah Akademik dan Rancangan Undang Undang Ratifikasi Konvensi ILO nomor 169 Tahun 1989 Tentang Hak Masyarakat Hukum Adat serta Kelompok Persukuan di Negara-negara Merdeka; maupun membentuk sebuah Tim Perumus Penyusunan Rancangan Undang-undang Masyarakat Hukum Adat.


Secara khusus saya mengingatkan para peserta, bahwa walaupun nagari sudah lama ada secara de facto, namun secara de iure nagari belum mempunyai legal standing sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang dilindungi oleh Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, oleh karena menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dasar hukum untuk desa dan yang sederajat harus berbentuk peraturan daerah kabupaten. Oleh karena itu, sekali lagi saya menganjurkan agar dibentuk peraturan daerah kabupaten sebagai dasar hukum eksistensi nagari, yang memungkinkannya untuk menjadi Pemohon untuk uji materil pada Mahkamah Konstitusi berdasar Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, seandainya ada hak konstitusional masyarakat hukum adat yang dilanggar oleh undang-undang.


Dalam tanya jawab, seorang peserta menanyakan masalah -- yang selama ini telah menjadi wacana kita di Rantau Net – yaitu masalah posisi anak pisang dalam harta pusaka. Sudah barang tentu tidak ada masalah pusako antara anak pisang dengan induak bakonya. Hubungan yang ada hanyalah hubungan darah melalui nasab Ayahnya saja.



Kesempatan ini saya manfaatkan untuk memberikan informasi kepada para peserta tentang perlunya digunakan “Ranji ABS SBK’, yang berpedoman kepada fatwa Buya Masoed Abidin, bahwa orang Minang bersuku ke Ibu, bernasab ke Bapak, dan bersako ke Mamak. Ranji menurut garis matrilineal digunakan dalam masalah sako dan pusako, sedang ranji patrilineal berdasar nasab menurut ajaran Islam digunakan untuk menelusuri hubungan darah, yang perlu dalam masalah kelahiran, pernikahan, serta kematian.



Kesan


Seingat saya, baru kali ini LKAAM Sumbar melaksanakan Bimbingan Teknis dengan peserta dan pembicara dengan cakupan yang seluas dan sedalam itu. Bimbingan Teknis ini merupakan langkah pro aktif untuk menangani masalah riil yang dihadapi dalam masyarakat di Sumatera Barat, yang bertujuan menciptakan sinergi kelembagaan antara antara ninik mamak pemangku adat dengan pemerintah dan lembaga penegak hukum lainnya.


Saya mendapat kesan kuat, bahwa Bimbingan Teknis oleh LKAAM Sumbar ini merupakan babak baru dalam pembinaan hukum adat dan masyarakat hukum adat di Sumatera Barat, yang tidak lagi [selalu] menoleh ke belakang, tetapi berorientasi ke depan; tidak lagi tertutup tetapi mulai terbuka; tidak lagi berbunga-bunga tetapi lugas; tidak lagi bersifat parokial-lokal tetapi sudah menempatkan diri dalam konteks nasional; tidak lagi reaktif tetapi pro-aktif. Syukur Alhamdulillah.



Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta; Tanjuang, Soetan Madjolelo)
"Basuku ka Ibu; banasab ka Bapak; basako ka Mamak".
Alternate e-mail address: saaf10leo@gmail.com;
saafroedin.bahar@rantaunet.org

Minangkabau atau MANICABO

Batanyo ciek ka rang nan pandai,

Baa kok dalam buku2 catatan urang Eropa nan tuo2, nan baumua 450 tahun ka ateh, namo Minangkabau ko ditulih MANICABO? Liek misalnyo buku Issac Camelin nan ditabik'an tahun 1646 nan judulnyo sampanjang tali baruak: Begin ende voorthgangh, van der Vereenighde Nederlantsche Oost-Indische Compagnie: vervatende de voornaemnste reysen, by de inwoonderen der selver provincien derwaerts gedaen: alles nevens de beschrijvinghen der rijken eylanden, havenen, revieren, stroomen, rheeden, inden, diepten en ondiepten: mitsgaders religien, manieren, aerdt, politie ende regeeringhe der volckeren: ook meede haarder speceryen, drooghen, geldt ende andere koopmanschappen met veele discoursen verrijckt: nevens eenige koopere platen verciert: nut ende dienstigh alle curieuse, ende de andere zee-varende liefhebbers (Amsterdam: jan Janzsz).
Apokoh suku kato -CABO tu ado hubungannyo jo (urang) KUBU kini?

Salam,
Suryadi



Balasan untuak :
Ass.Wr.Wb Bapak Dr.Phil. Suryadi yth.




Par-tamo2 ambo bukan urang pandai doo!!!!
Tapi ambo cubo manjawab partanyoana Bapak Suryadi Ph.D.

Pandapek ambo bunyi dari phonetiknyo CABO iko dari bhs Portugih artinyo kiro2 semenanjung,tanjung, awal/kaki dari Pagunuangan.
Dek nan mulo2 mandapek Nusantara iko kan urang Portugih, (kato Urang Eropa)

Kubu, dari bahaso melaju iko asa katonyo benteng , Exonym URANG KUBU, urang asli, Sakai, Akit, Talang, Tapung, Orang Utan, Orang Rawas, Lubu, Ulu, Rawas, Duwablas, Mountain Kubus, and Benua.

sakitusen dulu P'Doktor Phil. Suryadi
Mudah2an pandapek ambo bisa dianggok batua.

Wassalam,
Muljadi,German

Minggu, 15 Februari 2009

Menhir Matur

Menhir Matur Dibersihkan, Dispar dan Purbakala Sumbar Tinjau Situs Bersejarah




Senin, 16 Februari 2009

Agam, Padek—Begitu mengetahi kondisi keberadaan sejumlah batu purbakala dan memiliki nilai sejarah di jorong Batu Baselo Matur Hilir Agam, Dinas Pariwisata bersama lembaga Purbakala Sumatera Barat turun ke lokasi melihat dari dekat kondisi situs tersebut.



Bahkan dalam waktu dekat kawasan tersebut akan didata dan diteliti, untuk melihat nilai sejarah yang ada di daerah tadi. Sebelumnya keberadaan situs batu purbakala yang diperkirakan sejenis menhir telah diketahui warga sejak puluhan tahun lalu, sehingga masyarakat jorong Batu Baselo kenagarian Matur Hilir melakukan gotong royong masal membersihkan cagar budaya tadi.



Menurut Wali Jorong Batu Baselo, Doni Eka Putera dan Wali Nagari Matur Hilir, keberadaan lusinan batu berbentuk menhir yang sangat mirip dengan batu undakan tempat duduk baselo (bersila), merupakan cikal bakal awal kenapa daerah tersebut bernama Batu Baselo. Di lokasi situs tersebut diperkirakan dahulunya nenek moyang warga Matur Hilir dan sekitarnya bertemu dan merembukkan kegiatan mereka.



Menurut Wali Nagari Matur Hilir, diperkirakan menhir tersebut tidak hanya terdapat pada satu kawasan saja, namun diperkirakan masih ada dan tersebar pada radius 500 meter hingga 1 kilometer dari jorong Batu Baselo. Karena banyak temuan batu lainnya disekitar pemukiman masyarakat, yang diperkirakan saling berhubungan dengan lainnya.



“Kita sangat yakin batu yang terdiri dari berbagai bentuk, seperti kursi, meja pipih, tempat hantaran (sesajian) atau berupa lasuang dan nisan panjang berkaitan dengan budaya. Apalagi karena jorong ini dinamakan Batu Baselo dan banyak ditemukan batu seperti tempat berkumpul orang duduk baselo, maka temuan ini harus dilestarikan,” ungkapnya.



Menhir merupakan tugu batu yang digunakan oleh masyarakat zaman batu pertengahan untuk melakukan sesembahan. Tugu batu tersebut ditemukan di jorong Batu Baselo Matur Hilir, berupa beberapa menhir yang terkumpul di salah saru kawasan. Tumpukan batu aneka bentuk ini dipercaya sebagai menhir oleh warga setempat.



Warga bergotong royong untuk membersihkan situs sejarah yang telah tertimbun tanah tersebut, Sabtu (7/2) lalu. Selain tugu batu di jorong Batu Baselo, juga terdapat batu yang bentuknya seperti orang bersila. Namun hingga saat ini warga belum menemukan batu bersila yang diduga adalah arca tersebut, tapi mereka masih meneruskan pencarian batu bersila yang menjadi asal usul nama jorong mereka.



Sekitar 500 meter dari tempat tersebut, tepatnya di Sungai Batang Matua jorong Aia Sumpu juga ditemukan batu dengan pahatan serupa, namun berbeda ukuran. Batu ini tidak lagi tertata rapi, karena sepintas tidak ada yang bisa menduga kalau batu ini memiliki pahatan yang hampir sama satu sama lain. Tapi jika diperhatikan lebih seksama, batu tersebut memiliki bentuk yang identik satu sama lain. (*)

http://www.padangekspres.co.id/content/view/30711/106/

Kamis, 05 Februari 2009

Sia ka ganti Gamawan ko ?

Putra Terbaik Belum Dipilih

Pemilihan Pemimpin di Indonesia Berbiaya Tinggi

Jumat, 6 Februari 2009 | 00:05 WIB

Padang, Kompas - Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi mengatakan, putra bangsa yang mempunyai kualitas terbaik belum tentu terpilih sebagai pemimpin bangsa ini. Hal itu disebabkan oleh sistem pemilihan pemimpin yang belum mengakomodasi mereka yang di luar partai.


”Putra bangsa yang terbaik belum tentu yang terpilih. Diharapkan, (putra bangsa) yang terpilih menjadi yang terbaik. Kalau konsep yang terjadi di bangsa ini, bisa saja tokoh-tokoh yang lahir, tetapi tidak mempunyai fasilitas, akses, maupun dukungan lain, tidak akan muncul dan terlihat di kancah nasional,” kata Gamawan seusai menghadiri Milad Ke-62 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Kamis (5/2).


Menurut Gamawan, perlu ada desain ulang sistem penjaringan putra terbaik di Indonesia. Kalau ada tokoh-tokoh berkualitas yang muncul, perlu dibiayai negara untuk ikut berkampanye sebagai calon pemimpin.

Untuk itu, kata Gamawan, diperlukan sejumlah indikator guna menentukan tokoh yang berkualitas sebagai pemimpin bangsa.


Di sisi lain, partai juga harus ikhlas menerima bila ada tokoh di luar partai yang berkualitas dalam memimpin bangsa ini. Seleksi tokoh yang berkualitas juga bisa berasal dari sejumlah organisasi masyarakat (ormas) seperti HMI.


Menjaring

Di Sumatera Barat, Gamawan mengaku menghadiri beberapa acara yang diadakan sejumlah ormas dalam rangka menjaring putra terbaik di Sumatera Barat yang bisa diusulkan untuk meneruskan tongkat kepemimpinan.

Masa kepemimpinan Gamawan akan berakhir tahun 2010. Kendati baru menjabat satu kali, Gamawan mengaku enggan mencalonkan kembali sebagai gubernur.

Dia juga mengaku enggan ikut maju sebagai calon presiden dalam Pemilu 2009.


Biaya tinggi

Di tempat terpisah, presidium Korps Alumni HMI Prof Nanad Fatah Natsir menilai, sistem pemilihan legislatif dan presiden di Indonesia masih membutuhkan biaya tinggi.

Politik berbiaya tinggi yang terjadi saat ini, dinilai Nanad, tidak akan melahirkan pemimpin yang berkualitas.


Balik modal

Pemimpin yang mendapatkan jabatan akan terfokus pada upaya pengembalian uang yang telah dikeluarkan selama proses pemilihan.

”Kalau ini terjadi terus-menerus, itu bisa terjadi kebangkrutan bangsa. Karena itu, persoalan kaderisasi kepemimpinan harus segera diselesaikan,” kata Nanad seusai acara pelantikan presidium Korps Alumni HMI di Padang.

Dia mencontohkan, kebutuhan dana calon bupati di Pulau Jawa dalam proses pencalonan mencapai Rp 15 miliar.

Setelah duduk sebagai bupati, gaji yang diterima tidak akan mencukupi untuk mengembalikan modal itu.

Oleh karena itu, segala kebijakan yang ditelurkan bupati akan terfokus pada pengembalian dana kampanye.


Kepercayaan merosot

Nanad juga menyebutkan, selama ini merosotnya kepercayaan publik kepada lembaga legislatif terjadi lantaran kebijakan yang dihasilkan tidak berpihak kepada rakyat.

Dia berharap sistem pemilihan pemimpin bisa segera disempurnakan untuk mendapatkan pemimpin berkualitas sehingga mampu menyejahterakan masyarakat. (ART)

Tapal Batas antar Kabupaten Tanah Datar

Singgalang Online, Rabu, 04 February 2009
Padang Panjang ‘Serobot’ Tanah Datar

Batusangkar, Singgalang
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tanah Datar menyatakan kesiapannya untuk membuat komitmen dan melakukan perundingan dengan Pemko Padang Panjang. Perundingan itu diperlukan guna menetapkan tapal batas dan menghindari tindakan sepihak dan penyerobotan teritorial yang akan dapat melahirkan persoalan hukum di kemudian hari.
Demikian dikatakan Kepala Bagian Tata Pemerintahan (Tapem) Setdakab Tanah Datar, Drs. H. Armen Yudi, M.Si, menjawab Singgalang, Rabu (4/2), terkait dengan terbukanya peluang konflik perbatasan dan tidak adanya kepastikan peta yang digunakan antara Tanah Datar dan Padang Panjang.


“Perkembangan Kota Padang Panjang tidak bisa dilepaskan dari peran dua kecamatan yang menjadi etalase Tanah Datar serta berbatasan langsung, yakni Kecamatan X Koto dan Kecamatan Batipuh. Warga yang berasal dari Tanah Datar itu sesungguhnya secara kultural telah menyatu dengan Padang Panjang, namun secara administrasi pemerintahan harus ada ketegasan patokan batas wilayah. Apalagi secara historis, Padang Panjang adalah sebuah nagari yang pernah berada dalam lingkup X Koto,” terang Armen.
Menurut dia, berbicara soal tapal batas antara Tanah Datar dengan Padang Panjang, sesungguhnya mengandung banyak persoalan-persoalan yang cukup sensitif. Itu pulalah sebabnya, Armen mengaku selaku membuka diri membuat komitmen bersama dengan Pemko Padang Panjang untuk penyelesaiannya. Tanah Datar, tegasnya, mustahil akan ‘menyerobot’ teritorial Padang Panjang. Alasannya, hubungan kedua daerah diibaratkan hubungan ayah dengan anak. “Tak mungkinlah ayah akan menyerobot harta anak. Tapi kalau harta ayah yang digasak anak, itu sudah lumrah dan sering terjadi,” ucapnya diplomatis.


Lantaran menganut filosofis hubungan ayah dengan anak itu pulalah, hingga kini Pemkab Tanah Datar tak ingin mendesak Pemko Padang Panjang terkait dengan penyelesaian perbatasan tersebut, akan tetapi cenderung menunggu inisiatif dan niat baik dari sang anak itu sendiri.
Armen sendiri mengaku, bila Pemko Padang Panjang punya komitmen untuk menyelesaikannya tahun ini juga, Pemkab Tanah Datar siap. Bahkan, dana Rp100 juta yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tanah Datar Tahun 2009 untuk menyelesaikan persoalan-persoalan perbatasan Tanah Datar dengan daerah-daerah tetangga, bisa dialihkan untuk menyelesaikan masalah batas Tanah Datar dengan Padang Panjang.


“Beda dengan daerah-daerah lainnya di Sumatra Barat. Kota Padang Panjang dikelilingi Kabupaten Tanah Datar. Tak ada kota atau kabupaten lain yang berbatasan dengan Padang Panjang kecuali Tanah Datar. Itu artinya, lawan berunding Padang Panjang hanya satu, tidak serumit masalah yang dihadapi Tanah Datar sendiri. Wajar kalau niat baik mereka kami nanti-nanti,” tekan Armen.
Dikatakan, saat ini tiga kecamatan di Tanah Datar telah masuk ke dalam wilayah hukum Padang Panjang, yakni Batipuh Selatan, Batipuh dan X Koto. Fakta demikian dapat dilihat dari wilayah kerja Polres Padang Panjang, Pengadilan Agama Padang Panjang dan Pengadilan Negeri Padang Panjang. Namun, tegasnya, ketiga kecamatan tersebut tetap berada dalam wilayah administratif Tanah Datar. Persoalan itulah, kata Armen, yang harus segera dibereskan agar tidak jadi permasalahan di kemudian hari.


Pemkab Tanah Datar telah berhasil menyelesaikan tapal batasnya dengan Kabupaten Agam dan Kabupaten Limapuluh Kota.. Sementara perbatasan dengan Kabupaten Solok, Sijunjung, Padang Pariaman, Kota Sawahlunto dan Padang Panjang hingga kini baru para tahap menunggu komitmen bersama dan pembicaraan-pembicaraan tahap awal, belum jelas kapan tercapainya kata sepakat dan pemancangan tapal batas itu. o006

Senin, 02 Februari 2009

Pornografi dalam kajian Sosial oleh Wahyu Wicaksono

Selasa, 3 Februari 2009 | 00:32 WIB

WAHYU WICAKSONO



Artikel Frans H Winarta (Kompas, 23/1/2009) menarik untuk ditanggapi. Tulisan ini menyoroti sikap atas seksualitas masyarakat Indonesia dari sudut sejarah dan budaya yang bersumber dari studi Utomo (2002).

Studi Utomo perlu dipaparkan kembali agar pihak yang pro dan kontra terhadap Undang-Undang Pornografi mendapat gambaran sikap atas seksualitas pada budaya masyarakat Indonesia secara proporsional melalui pendekatan sejarah dan budaya.

Pornografi-pornoaksi dan seksualitas ibarat dua sisi dari satu koin. Di satu sisi, norma dan nilai yang dilekatkan pada individu (aspek rekreasi) yang bersifat spesifik secara sejarah dan budaya. Sisi lain, sifat alamiah manusia (fungsi biologis-prokreasi).

Sikap masyarakat Indonesia terbuka terhadap seksualitas yang mempunyai akar sosiokultural yang berubah dari waktu ke waktu. Setidaknya, hal ini bisa dilihat jejaknya dari Kakawin Arjunawiwaha (Mpu Tantular) dan Serat Centhini (Paku Buwono V). Kedua karya besar itu eksplisit menunjukkan secara terbuka karena aktivitas seksual dipandang sebagai hal alami.

Awal konservatisme
Menurut Supomo, pandangan konservatif terhadap seksualitas dibentuk oleh pengaruh ajaran Islam saat itu dan sistem pendidikan Belanda yang diliputi semangat viktorian. Ini terbukti dengan munculnya literatur yang semakin konservatif sepanjang abad ke-19 karena para penulisnya mengikuti sistem pendidikan Belanda.
Akibatnya, masyarakat kelas menengah atas cenderung bersikap lebih konservatif daripada masyarakat pedesaan yang tidak mengenyam sekolah. Pendapat ini selaras dengan pendapat Hull yang menyatakan moralitas ”tradisional” yang menyalahkan hubungan seksual pranikah lebih dipengaruhi moralitas impor dari kolonialisme Belanda ketimbang pola sosial tradisional Melayu- Polinesia. Pendapat ini diperjelas Reid yang menunjukkan, sebelum abad ke-16, pandangan seksualitas orang Indonesia-Asia Tenggara lebih kendur atau bebas ketimbang bangsa Barat.

Perbedaan sikap
Sikap kontra sehubungan dengan diundangkannya UU Pornografi yang terjadi di Provinsi Bali dan Sulawesi Utara dapat dipahami melalui sudut pandang sejarah. Penelitian Schurhammer membuktikan, di Sulawesi Utara pada masa pra-Islam, perzinahan dengan perempuan yang belum menikah diperbolehkan, tetapi jika perzinahan dilakukan dengan perempuan yang telah terikat perkawinan, dikenai hukuman mati.

Sementara itu, di Bali, Hirschfeld menemukan, hampir semuanya, tanpa kecuali, perempuan dewasa dan remaja bertelanjang dada sampai pusar, sedangkan perempuan kecil telanjang bulat. Mereka dengan bangga menunjukkan keindahan dada. Dr Kruse, dokter berwarga negara Jerman yang lama berpraktik di Bali, menuliskan dalam bukunya, hanya pelacur yang menutup dada mereka untuk membangkitkan rasa penasaran dan memikat laki-laki meski pendapat ini perlu diuji kebenarannya lebih lanjut.

Budaya petani Minangkabau menempatkan suami dalam posisi dipelihara oleh perempuan. Suami tinggal di luar rumah dan sekali-kali digunakan untuk kepentingan hubungan seks. Posisi ini lalu dianggap para suami sebagai posisi individu yang tidak memiliki harga diri dan mendorong mereka bermigrasi ke Indochina mencari pekerjaan dan kondisi hidup yang lebih baik.

Di kerajaan Jawa (Vorstenlanden), seorang sunan hidup di istana yang menguasai 450 perempuan, dengan hanya 34 yang dijadikan sebagai istri. Sisanya adalah penari dan pelayan yang, jika diinginkan raja, harus siap menjadi selir.
Selain karya literatur dan aktivitas seksual, keterbukaan sikap terhadap seksualitas juga terlihat dari kesenian tradisional masyarakat yang masih bisa disaksikan saat ini. Tayub, ronggeng, dombret, dan jaipong, di mana gerakan-gerakan erotis yang mengeksploitasi pinggul, dada, dan pantat jelas terlihat.

Benturan nilai
Perbedaan sikap terhadap seksualitas di berbagai budaya di Indonesia tidak bisa disatukan menjadi kesamaan sikap. Sikap budaya yang terbuka terhadap seksualitas sebagai hal alamiah sudah lama dipraktikkan dan mustahil dihapus jejaknya.
Benturan dengan nilai dan norma ”baru” yang datang kemudian, yaitu pandangan Islam dan agama-agama lain, serta sistem pendidikan Belanda baru terjadi ”kemarin sore”. Ini akan memunculkan dua kubu yang berhadapan, seperti terjadi saat ini. Resistensi pasti terjadi di satu sisi, sementara keinginan untuk ”menyucikan” budaya juga terjadi di sisi lain.

Dua domain akan sibuk mendefinisikan pengertian pornografi-pornoaksi yang pada dasarnya tidak akan mudah (untuk tidak mengatakan tidak pernah bisa) karena landasan pijak yang berbeda.

Ada atau tidak ada UU Pornografi, sexual misconduct dalam bentuk apa pun akan tetap dan akan terus terjadi atau bahkan tidak pernah terjadi, tergantung dari individu yang memberi nilai, norma, dan pengertian yang dimiliki. Serahkan manajemen tubuh berikut persepsinya pada kesadaran diri individu masing- masing, bukan tekanan, keharusan, dan hukuman dari luar.


WAHYU WICAKSONO Psikolog Sosial

Tan Malaka

Diyakini 90 Persen, Makam Tan Malaka Akan Digali Maret



PadangKini.com | Senin, 2/2/2009, 10:10 WIB





PADANG--Makam pahlawan nasional asal Minangkabau, Tan Malaka atau Ibrahim bin Rasad gelar Datuak Tan Malaka, yang diduga berada di Desa Selopanggung, Jawa Timur, akan digali.

Ibarsyah, suami Aina Zarni, kemenakan Tan Malaka, mewakili keluarga besar Tan Malaka mengatakan, penggalian akan dilakukan sekitar bulan Maret atau April.

"Kami menunggu izin tertulis dari Kementerian Sosial, kalau izin secara lisan dari Pak Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah sudah," kata Ibarsyah yang dikontak, Senin (2/2).

Menurut Ibarsyah, keyakinan makam Tan Malaka di Selopanggung 90 persen. Untuk memastikan itu makam akan digali dan kerangka akan dites DNA dan dicocokkan dengan pihak keluarga ayah dan ibu Tan Malaka.

"Kalau benar itu makam Tan Malaka maka rencananya makam tersebut akan tetap di Selopanggung, hanya akan dipindahkan sekitar 200 meter lebih ke atas, karena tempat makam sekarang di lembah dan di pemakaman umum, kalau mau dipugar nanti takut makam lainnya terganggu," ujarnya.

Menurut Ibarsyah, warga Selopanggung sangat antusias dan mendukung agar kuburan Tan Malaka tetap di Selopanggung. Bahkan, katanya, kepala desa Selopanggung juga akan membantu jika nanti butuh pembebasan lahan untuk makam baru.

Selain penggalian makam Tan Malaka, Panitia Peringatan 112 Tahun Tan Malaka akan meluncurkan buku terjemahan dari karangan Profesor Harry A Poeze tentang Tan Malaka. (yanti/s)

http://padangkini.com/headline.php?sub=berita&id=3307



Sejumlah Acara Disiapkan Peringati 112 Tahun Kelahiran Tan Malaka



PadangKini.com | Minggu, 1/2/2009, 19:07 WIB





PADANG--Sejumlah acara disiapkan memperingati 112 tahun (1897-2009) kelahiran tokoh nasional legendaris asal Minangkabau, Tan Malaka.

Informasi yang disampaikan Panitia Peringatan 112 Tahun Tan Malaka menyebutkan, ada tiga agenda kegiatan dalam rangka peringatan Tan Malaka yang dilahirkan 1897 dan hilang atau tewas pada 19 Februari 1949.

Agenda itu pencarian dan penggalian dugaan makan Tan Malaka di Selopanggung, Jawa Timur, penerbitan buku kenangan dari sejumlah tokoh sezaman dan ahli yang belum pernah diterbitkan, dan pembuatan film dokumenter tentang Tan Malaka berjudul "Ironi Ketiga".

Pencarian dan penggalian makam yang diduga sebagai makam Tan Malaka di Selopanggung didukung sejarawan Universitas Leiden, Belanda, Profesor Harry A Poeze, tim ahli arkeologi, dan Departemen Sosial.

Rencananya setelah makam digali, tulang-belulang akan dicocokkan dengan Zulfikar, keponakan kandung Tan Malaka.

Sedangkan penerbitan buku kenang-kenangan yang akan diterbitkan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Tan Malaka berisi artikel-artikel dari tokoh atau pemimpin yang hidup sezaman dengan Tan Malaka yang belum diterbitkan, ditambah tulisan para ahli berbagai bidang, serta aktivis dan simpatisan. (s)

http://padangkini.com/headline.php?sub=berita&id=3303

Selasa, 27 Januari 2009

Penjelasan filosofi ABS-SBK

PENJELASAN FILOSOFI,
PENJABARAN DAN IMPLEMENTASI
ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABULLAH

Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah merupakan landasan dari sistem nilai pandangan hidup yang menjadikan Islam sebagai sumber utama dalam tata dan pola perilaku yang melembaga dalam masyarakat Minangkabau. Artinya, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalah kerangka untuk memahami keberadaan insan Minangkabau sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Masyarakat Minangkabau sadar akan adanya pergeseran sistem nilai dan pola perilaku, sehingga Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah perlu digali, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sebagai salah satu ikhtiar mempertebal semangat kebangsaan dalam tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dalam pergaulan dunia.
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang menjadi sumber pencerahan bagi kebangkitan manusia Minangkabau berasal dari titik temu perpaduan antara sistem nilai adat dengan agama Islam.

Maka masyarakat Minangkabau menggali kembali nilai-nilai Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah sebagai sumber pencerahan kebangkitan manusia Minangkabau dalam menghadapi masa depan yang penuh kompetisi yang dinamis antar bangsa, sehingga menciptakan alur perjalanan bangsa yang tidak linier.

Sistematika penggalian nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah kita rangkai dalam sub bab tentang: Filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Ilahiyah dan Insaniyah, Insan Minangkabau, Pola Interaksi Masyarakat Minangkau, dan Pelembagaan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.


A. FILOSOFI ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABULLAH
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalah kerangka pandangan hidup orang Minangkabau yang memberi makna hubungan antara manusia, Allah Maha Pencipta dan alam semesta. Sesungguhnya Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah sebagai konsep nilai, yang kini menjadi jati diri orang Minangkabau, lahir dari kesadaran sejarah masyarakatnya melalui proses pergulatan yang panjang. Semenjak masuknya Islam ke dalam kehidupan masyarakat Minangkabau terjadi titik temu dan perpaduan antara ajaran adat dengan Islam sebagai sebuah sistem nilai dan norma dalam kebudayaan Minangkabau yang melahirkan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah bertujuan untuk memperjelas kembali jati diri etnis Minangkabau sebagai sumber harapan dan kekuatan yang menggerakkan ruang lingkup kehidupan dan tolok ukur untuk melihat dunia Minangkabau dari ranah kehidupan berbangsa dan bernegara, dan dalam pergaulan dunia.

Islam masuk ke Minangkabau mendapati suatu kawasan yang tertata rapi dengan apa yang disebut “adat”, yang mengatur segala bidang kehidupan manusia dan menuntut masyarakatnya untuk terikat dan tunduk kepada tatanan adat tersebut. Landasan pembentukan adat adalah “budi” yang diikuti dengan akal, ilmu, alur dan patut sebagai adalah alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk. Islam membawa tatanan apa yang harus diyakini oleh umat yang disebut aqidah dan tatanan apa yang harus diamalkan yang disebut syariah atau syarak. Syariat Islam lahir dari keyakinan Iman, Islam, Hakikat dan Makrifat serta tauhid.

Adat dipahami orang Minangkabau sebagai suatu kebiasaan yang mengatur hubungan sosial yang dinamis dalam suatu komunitas, (seperti suku, kampung, dan nagari). Adat dipahami juga sebagai ujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai budaya, norma, hukum dan aturan yang satu sama lainnya berkaitan menjadi suatu sistem.

Sebagai sebuah sistem nilai dan norma, adat mempengaruhi perilaku individu dan masyarakat yang mewujudkan pola perilaku ideal. Dengan kemampuan dan kearifan, orang Minangkabau membaca setiap gerak perubahan yang akhirnya antara Adat dan Islam saling topang menopang seperti, “aur dengan tebing” membentuk sebuah konfigurasi kebudayaan Minangkabau. Titik temu antara Adat dan Islam, dapat dilacak melalui pandangan “teologis” terhadap alam semesta.

Proses perenungan dan penghayatan terhadap unsur-unsur kehidupan yang berpijak pada kemampuan dan intensitas pembacaan orang Minang terhadap alam. Alam adalah segala-galanya bagi mereka. Dari alam mereka belajar, berguru, memperbaharui diri, dan lewat alam pula mereka menemukan inspirasi dan kekuatan hidup. Banyak ayat-ayat Tuhan mengenai alam, khusus ayat-ayat kauniyah, yang diperuntukkan bagi manusia sehingga melalui alam manusia dapat menemukan dirinya dan Sang Khaliqnya. Alam dipahami sebagai tempat lahir, tumbuh dan mencari kehidupan. Tetapi juga bermakna sebagai kosmos yang memiliki nilai dan makna filosofis. Pandangan orang Minangkabau terhadap alam terlihat dalam ajaran; pandangan dunia (world view) dan pandangan hidup (way of life) yang seringkali mereka tuangkan melalui pepatah, petitih, mamangan, petuah, yang diserap dari bentuk, sifat, dan kehidupan alam.

Nilai dasar dari Adat Bersendi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalah nilai ilahiyah dan insaniyah yang mendapat legitimasi dari Adat dan Islam sebagai rujukannya. Nilai-nilai ilahiyah muncul dari proses pembacaan atas semesta “Alam Takambang Jadi Guru”. Allah, melalui penciptaan alam semesta memperlihatkan Kekuasaan-Nya.

Alam dengan segala isinya memperlihatkan tanda-tanda akan diri-Nya agar insan sampai pengenalan kepada Allah yang telah menciptakan dirinya. “Seseorang baru bisa sampai mengenal Allah, apabila ia mampu membaca dan memahami “dirinya”. Proses pembacaan terhadap alam dan diri merupakan salah satu metode yang mengantarkan insan pada kesadaran akan hubungan dirinya dengan Allah, yang menciptakannya. Dalam tradisi orang Minangkabau yang mengajarkan alam semesta dengan segala isinya menjadi guru yang membimbing mereka memahami dirinya dan mencari sumber kekuatan dalam hidup. Ini merupakan sumbangan adat Minangkabau dalam falsafah “Alam Takambang Jadi Guru” cermin hubungan manusia dengan Allah Tuhan Maha Pencipta dan alam.

Secara teologis kekuatan ilahiyah berporos pada Sang Khalik. Dalam kehidupan kekuatan ilahiyah berperan sebagai pengembangan dan pemeliharan kualitas insaniyah melalui amal shaleh pancaran dari keimanan seseorang. Dalam sistem Adat, semua nilai bertumpu pada kekuatan budi sebagai landasan perilaku dan perbuatan. Menurut pandangan Adat Minangkabau, semua tindakan dan kerja sosial diarahkan untuk peningkatan dan pengayaan kualitas diri untuk mendorong setiap individu dan masyarakat agar selalu mempertinggi, memperkuat dan memelihara harkat dan martabat kemanusiaan .

Kedua kekuatan nilai-nilai ilahiyah dan insaniyah sebagai landasan nilai Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai patokan dalam kehidupan bermasyarakat.

1. Prinsip kebenaran, merupakan nilai dasar yang mutlak dalam pergaulan umat manusia pancaran dari hakikat “tawhid” dan menjadi ‘modal dasar’ dalam setiap jiwa insan sebagai khalifah-Nya. Tawhid atau jiwa ketuhanan adalah konsep penghambaan dari pembebasan manusia dengan Allah.
Kebenaran adalah nilai dasar tempat berpijak, bergerak dan berakhirnya semua kehidupan. Watak dasar insan yang hanif menuntun mereka untuk selalu berpegang pada prinsip-prinsip kebenaran, melakukan yang benar dan mengarahkan semua kerja sosialnya pada kebenaran itu sendiri. Bagi orang Minang kebenaran merupakan sebuah usaha untuk menciptakan tatanan yang adil dalam kehidupan masyarakat.” Orientasi hidup pada kebenaran lahir dari kesepakatan dan pengakuan bahwa setiap manusia memiliki hak dasar yang sama yang menjadi pilar dari segala aktivitas kemanusiaan. Segala kebijakan, keputusan dan kehidupan sosial harus berdasarkan pada kebenaran atau “nan bana. Kebenaran merupakan alas dari setiap produk sosial, politik, hukum, ekonomi, budaya, sekaligus menjadi harapan kehidupan yang berharkat dan bermartabat. Alurnya adalah “kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana. Nan ‘bana tagak dengan sendiri” – Al haqqu mir-rrabik.

2. Prinsip keadilan adalah bagian yang menggerakkan kehidupan manusia. Tanpa keadilan kehidupan masyarakat akan selalu goyah. Dengan keadilan akan terjamin kehidupan masyarakat yang sejahtera. Dengan keadilan Minangkabau akan meraih kembali harkat dan martabatnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep adil adalah ciri taqwa, ajaran kemanusiaan yang harmonis yang didambakan oleh setiap manusia. Hakikat dari kebenaran, keadilan dan kebajikan penting bagi terciptanya kebangkitan Minangkabau. Prinsip kebenaran digerakkan oleh nilai-nilai kebajikan.

3. Prinsip kebajikan akan lebih bermakna jika ditopang oleh prinsip kebenaran dan prinsip keadilan yang melahirkan kehidupan insan yang lebih bermakna.

Kebenaran, keadilan dan kebajikan merupakan “tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan”. Kebenaran menjadi landasan teologis atau nilai dasar, sedangkan keadilan merupakan nilai operasionalnya.

Ketiga unsur ini merupakan perpaduan yang saling terkait dan terikat. Kebenaran tidak dapat berdiri sendiri tanpa ditopang nilai keadilan. Kebenaran dan keadilan akan bermakna apabila diikuti dengan nilai-nilai kebajikan.

Prinsip kebenaran, keadilan dan kebajikan menjadi pijakan dalam menerjemahkan nilai-nilai ilahiyah dan nilai-nilai insaniyah. Dalam Adat Bersendi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah terkandung juga beberapa prinsip di antaranya: adab atau budi, kejujuran, kemandirian, etos kerja, keterbukaan, kesetaraan, berfikir dialektis, kearifan, visioner, saraso-tenggang manenggang, sahino-samalu, saiyo-sakato, sanasib sapananggungan, sopan santun, kerjasama dan tolong menolong, keberagaman, kebersamaan, dan tanggung jawab.

Dalam Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah juga terkandung prinsip dasar dan nilai operasional yang melembaga dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau.

1. adab dan budi, inti dari ajaran adat Minangkabau, sebagai pelaksanaan dari prinsip adat. “indak nan indah pado budi, indak nan elok dari baso” .Tidak ada yang indah dari pada budi dan baso basi. Yang dicari bukan emas, bukan pangkat, akan tetapi budi pekerti yang dihargai. Agar jauh silang sengketa, perhalus basa dan basi (budi pekerti).

2. kebersamaan, lahir dari hasil musyawarah bulek aia ke pambuluah, bulek kato ka mufakat, yang dijabarkan “dalam senteang ba-bilai, singkek ba-uleh” sebagai pancaran iman kepada Allah swt. Di dalam masyarakat yang beradat dan beradab (madani) mempunyai semangat kebersamaam, sa-ciok bak ayam, sadancing bak basi”. Membangun kebersamaan dengan mengikutsertakan setiap unsur anggota masyarakat di setiap korong, kampung dan nagari di Minangkabau, sehingga semua yang dicita-citakan tidak akan sulit diujudkannya.

3. keragaman masyarakat yang terdiri dari banyak suku dan asal muasal dari berbagai ranah bersatu dalam kaedah “hinggok mancakam, tabang basitumpu”, menyesuaikan dengan lingkungan dan saling menghargai, dima bumi dipijak, disatu langit dijunjung.

4. kearifan, kemampuan menangkap perubahan yang terjadi, sakali aia gadang, sakali tapian baralieh, sakali tahun baganti, sakali musim batuka,” Perubahan tidak mengganti sifat adat. Perubahan adalah sunatullah. Setiap usaha untuk mencari jalan keluar dari problematika perubahan sosial, politik dan ekonomi menjauhkan fikiran dengan menjauhkan dari hal yang tidak mungkin. Seorang yang arif tidak boleh melarikan diri dari perbedaan pendapat, karena pada hakekatnya perbedaan itu membuka peluang untuk memilih yang lebih baik.

5. tanggungjawab sosial yang adil, seia sekata menjaga semangat gotong royong. Semua dapat merasakan dan memikul tanggung jawab bersama pula. Saketek bari bacacah, banyak bari baumpuak, Kalau tidak ada, sama-sama giat mencarinya, dan sama pula menikmatinya.

6. keseimbangan antara kehidupan rohani dan jasmani berujud dalam kemakmuran, Munjilih di tapi aia, mardeso di paruik kanyang. Memerangi kemaksiatan, diawali dengan menghapus kemiskinan dan kemelaratan. Rumah gadang gajah maharam, lumbuang baririk di halaman, lambang kemakmuran.

7. toleransi sesuai dengan pesan Rasulullah, bahwa sesungguhnya zaman berubah, masa berganti. Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat Minangkabau diarahkan kepada pandai hidup dengan jiwa toleran, Seorang yang arif tidak boleh melarikan diri dari perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat mendorong dan membuka peluang untuk memilih yang lebih baik di antara beberapa kemungkinan yang tersedia. (Hujarat ;13).

8. kesetaraan, timbul dari sikap bermusyawarah yang telah hidup subur dalam masyarakat Minangkabau. Sejalan dengan itu diperlukan saling tolong menolong dengan moral dan buah pikir dalam mempabanyak lawan baiyo (musyawarah), melipat gandakan teman berunding. Sikap musyawarah membuka pintu berkah dari langit dan bumi. Kedudukan pemimpin, didahulukan selangkah, ditinggikan seranting.

9. kerjasama mengutamakan kepentingan orang banyak dengan sikap pemurah yang merupakan sikap mental dan kejiwaan yang tercermin dalam mufakat. Mufakat bertujuan menegakkan kebenaran dengan pedoman tunggal, hidayah dari Allah.

10. sehina semalu, dasar untuk memahami persoalan berdasarkan atas masalah seseorang dengan bersama dan bersama dengan seseorang. Dalam adat Minangkabau sesuatu hal adalah sebagian dari keseluruhan, yang satu bersangkut paut dengan lainnya, semuanya topang menopang walau hal sekecil apa pun.

11. tenggang rasa dan saling menghormati adalah inti dari fatwa adat tentang budi atau akhlaqul karimah.

12. keterpaduan, saling meringankan dengan kesediaan memberikan dukungan dalam kehidupan. “barek sapikua, ringan sajinjiang”, Kerja baik dipersamakan dengan saling memberi tahu sanak saudara dan jiran. “Karajo baiak baimbauan, karajo buruak baambauan. Apabila musibah menimpa diri seseorang, maka tetangga serta merta menjenguk tanpa diundang.

Prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip operasional yang melembaga di dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau. Jiwa ilahiyah menjadi pendorong bagi tindakan sebagai makhluk Allah yang mempunyai tanggungjawab sebagai khalifah. Setiap kebijakan, keputusan dan tindakan berorientasi pada kebajikan dan kemashlahatan ummat; pengayom bagi yang kecil dan menjadi suluh bagi orang banyak. Jiwa insaniyah merupakan sebuah aksi kemanusiaan dalam melakukan transformasi sosial. Dalam kerangka inilah masyarakat Minangkabau ditempatkan dan berproses dengan amal saleh untuk kemashalahatan umat.

Nilai operasional menjadi kerangka acuan dalam menentukan arah dan corak kehidupan masyarakat Minangkabau. Sementara prinsip kebenaran, keadilan dan kebajikan menjadi semangat dan jiwa dalam segala tindakan, sikap dan watak orang Minangkabau. Watak dan sikap tersebut diungkapkan dalam ”hiduik baraka, mati bariman”. Hidup berakal bermakna tidak ada kehidupan yang dilalui tanpa pertimbangan akal. Ikatan antara ’raso’ -rasa- yang timbul dari ’pareso’ - hati nurani- melahirkan ketajaman pikiran, keseimbangan hakiki yang ingin dicapai oleh insan Minangkabau dalam mengembalikan harkat dan martabat melalui akal dan budi.

Bertolak dari pandangan falsafah tersebut, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalah rujukan dalam merumuskan berbagai kebijakan terhadap kelangsungan hidup orang Minangkabau yang beriman, beradat, berbudaya, berharkat dan bermartabat. Dengan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Minangkabau membangun menuju masa depannya yang tidak boleh tercerabut dari kearifan dan nilai dasar serta nilai operasional tersebut. Artinya dengan segala kearifan Minangkabau melangkah ke masa depannya.


B. ILAHIYAH DAN INSANIYAH
Nilai yang terkandung dalam Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, adalah gambaran kehidupan yang ideal terhampar dalam alam pikiran Minangkabau, kehidupan yang lahir dari “roh” ilahiyah dan insaniyah. Dengan ‘roh ilahiyah” menemukan makna kehidupannya, dan melalui semangat insaniyah segala aktivitas kemanusiaan bernilai amal shaleh. Dengan kekuatan kedua nilai tersebut orang Minangkabau membentuk dan mengembangkan kehidupan sosialnya yang utuh, terpadu dalam sebuah tatanan yang harmonis dan penuh dengan keseimbangan.

Tuhan, Sang Khaliq dengan segala Iradah-Kehendak- dan Qudrat-Kuasanya-, telah mengalirkan sifat-sifat ketuhanan ke dalam diri manusia. Penitahan Tuhan kepada manusia sebagai khalifatullah di muka bumi menjadi bukti bahwa kehidupan manusia bertumpu pada Tuhan. Dalam kehidupan manusia, yang diridhai oleh Sang Khaliq, amat diperlukan sebuah kesadaran kosmis bahwa ilahiyah adalah sesuatu yang melekat dalam dirinya. Dan, dalam hubungan ini sejatinya manusia, pemegang amanah sebagai khalifah, dituntut untuk senantiasa mencerminkan nilai-nilai ilahiyah dalam siklus kehidupan yang serba pendek ini.

Nilai-nilai ilahiyah dan nilai-nilai insaniyah merupakan mata air tempat mengalirnya nilai-nilai universal sebagai tenaga penggerak kehidupan. Kedua nilai tersebut terpadu dalam diri manusia. Tidak satu pun dalil yang meniadakan kedua nilai ini dalam diri manusia, sebab manusia sebagai ciptaan Tuhan, sebenarnya terikat dengan segala sesuatu yang bersumber dan bermuara pada Allah Maha Pencipta. Dengan kata lain, jika manusia ingin memperlihatkan keberadaannya, maka ia selalu mempertahankan dirinya sebagai bagian dari struktur sosial.

Pada hakikinya, nilai ilahiyah dan insaniyah adalah kanal Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang memiliki muatan nilai-nilai kecil yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Ketika kebenaran, keadilan dan kebajikan telah menjadi gagasan orang Minangkabau, maka nilai-nilai ilahiyah dan insaniyah akan mendorong membebaskan manusia dari taghut (berhala) individualistik yang selama ini menggerogoti nilai-nilai kebersamaan, kesetaraan, dan toleransi dalam mengembangkan kehidupan masyarakat Minangkabau.

Nilai-nilai ilahiyah lahir dari proses pembacaan dan pemaknaan orang Minangkabau atas semesta dalam falsafah “Alam Takambang Jadi Guru”. Tuhan melalui penciptaan semesta dengan segala isinya memperlihatkan tanda-tanda Kekuasaan-Nya. Akhirnya manusia yang mampu membaca dan memahami “dirinya” akan mengenal Allah, Tuhan yang telah menciptakan “dirinya”. Proses pembacaan terhadap alam dan diri merupakan salah satu metode yang mengantarkan kesadaran manusia mengenal Tuhannya. Dalam tradisi Minangkabau alam semesta dengan segala isinya menjadi guru yang membimbingnya memahami dirinya sekaligus mencari sumber kekuatan dalam hidup.

Secara filosofis, dalam diri manusia mengalir “jiwa ketuhanan” yang menghubungkannya dengan Allah Maha Pencipta. Firman Tuhan dalam Surat Ar-Ruum ayat 30 yang menitahkan agar manusia menghadapkan dirinya kepada agama yang hanif, dan menyuruh manusia agar tetap pada fitrah Tuhan yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, menjadi isyarat tentang hubungan ini. Ayat ini, di samping menunjukkan hubungan manusia dengan Tuhan, sementara nilai ilahiyah (fitrah) itu sendiri sesungguhnya berada dalam dirinya. Manusia akan tetap bergerak dalam dimensi ilahiyah melalui proses penghayatan secara terus menerus yang berujung pada pengembangan kualitas insaniyah manusia. Tawhid atau keimanan adalah poros segala dimensi ilahiyah, sementara manusia adalah pusat dari insaniyah itu sendiri. Perpaduan keduanya terlihat dalam aktivitas kemanusiaan -amal shaleh- yang merupakan ceminan dari keimanannya kepada Tuhan.

Roh ilahiyah merupakan hakikat tawhid dan menjadi ‘modal dasar’ dalam setiap jiwa manusia yang telah dititahkan Tuhan sebagai khalifah-Nya. Hanya Tuhan pusat penghambaan, dan seluruh aktifitas sebagai khalifah pun yang tidak terlepas dari rasa terikat kepada Tuhan. Tawhid adalah konsep penghambaan dan pembebasan manusia dari segala bentuk kungkungan. Pembebasan bermakna, bagaimana jiwa ilahiyah menjadi pendorong bagi tindakan manusia sebagai mahluk Tuhan yang mempunyai tanggungjawab sebagai khalifah. Setiap kebijakan, keputusan dan tindakan harus berorientasi pada kebajikan dan kemashlahatan ummat manusia; pengayom bagi yang kecil dan menjadi suluh bagi orang banyak. Kesimpulannya ialah, jiwa insaniyah merupakan sebuah perjanjian aksi kemanusiaan untuk melakukan perubahan sosial. Dalam kerangka inilah manusia Minangkabau ditempatkan, bergerak dan berproses dalam kaedah nilai ilahiyah dan insaniyah yang berorientasi pada amal shaleh dan kemashalahatan umat yang akhinya tercapai keindahan dalam hidup ini.

C. KEBENARAN, KEADILAN, KEBAJIKAN DAN KEINDAHAN
Orang Minangkabau berada dalam kehidupannya yang serbaberagam. Keragaman bermakna pilihan yang paling sadar dari masing-masing orang Minangkabau dalam menentukan hidup dan kehidupan mereka. Dalam keberagaman makna, pada hakikinya, sesunguhnya aliran kehidupan itu mengalun dengan semangat dan nilai yang sama antar satu dengan yang lainnya. Sesuai dengan khittahnya, manusia terlahir dalam keadaan fitrah. Fitrah adalah sebuah potensi dasar manusia yang selalu cenderung kepada kebenaran, keadilan dan kebajikan.

Kebenaran sebagai nilai dasar (fundamental) tempat berpijak, bergerak dan berakhir semua kehidupan. Watak dasar manusia yang hanif menuntun manusia untuk selalu berpegang pada prinsip-prinsip kebenaran, melakukan yang benar dan menentukan arah yang tepat semua kerja sosialnya. Bagi orang Minangkabau kebenaran merupakan sebuah keniscayaan untuk menciptakan tatanan yang adil dalam interaksi antar masyarakat. Kebenaran atau “nan bana” dalam konteks sosial bermakna bahwa segala kebijakan, keputusan dan siklus kehidupan sosial harus berlandaskan pada kebenaran. Kebenaran merupakan alas dari setiap produk sosial; politik hukum, ekonomi, budaya, sekaligus menjadi harapan dan impian tentang kehidupan madani yang beriman, mandiri dan bermartabat.

Orientasi hidup pada kebenaran yang diatur dalam bentuk kesepakatan dan kearifan yang mengakui manusia mempunyai hak yang sama. Pengakuan itu adalah hak dasar yang menjadi pilar dari segala aktivitas kemanusiaan. Kebenaran dalam prakteknya senantiasa ditopang oleh nilai-nilai keadilan dan nilai-nilai kebajikan. Kebenaran, keadilan, dan kebajikan adalah sesuatu yang terus menurus dicari, karena manusia sangat rindu akan tatanan yang adil dan dilaksanakan atas prinsip kebenaran yang digerakkan oleh nilai-nilai kebajikan.

Keadilan adalah sesuatu yang penting menopang kehidupan orang Minangkabau. Keadilan menjadi mesin penggerak dunia Minangkabau sebagai sebuah entitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks yang sesungguhnya, kebenaran merupakan sandaran keadilan. Orang selalu dituntut untuk selalu mentransformasikan suatu kebenaran, dan dengan kebenaran itu pulalah manusia menjalankan keadilan. Jika kebenaran menjadi jalan bagi keadilan, maka kebajikan adalah pakaian yang akan membuat perjalanan hidup lebih indah dan mengagumkan.

Baik Adat maupun Islam selalu mengajarkan dan mendorong orang untuk melakukan kebajikan karena kebajikan merupakan hal yang esensial bagi kehidupan manusia, tanpa kebajikan sepenuhnya kehidupan tidak lagi bermakna. Bagi orang Minangkabau, kebajikan adalah cermin kehidupan yang akan mengantarkan hubungan sosial yang lebih integratif berbasis sumber daya manusia dan sumber daya alam.

Sebagai nilai dasar dari perpaduan yang terjadi antara Adat dengan Islam, kebenaran, keadilan, dan kebajikan akan melahirkan gugusan-gugusan nilai-nilai operasional struktur sosial dan kultural Minangkabau. Oleh karena itu penting menegaskan kembali hakikat dari kebenaran, keadilan dan kebajikan yang akan mendorong terciptanya kebangkitan dunia Minangkabau berdasarkan internalisasi dari nilai-nilai kearifan universal yang berasal dari perpaduan Islam dengan Adat.

Prinsip-prinsip kebenaran, keadilan dan kebajikan yang lahir dari nilai ilahiah dan insaniah menjadi kerangka acuan dalam menentukan arah dan corak kehidupan. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah sebagai kerangka filosofis orang Minangkabau menjadi semangat dan jiwa dalam tindakan, sikap dan watak orang Minangkabau. Berdasarkan “kebenaran, keadilan dan kebajikan” kemudian menggiring masyarakat Minangkabau menganut paham pada falsafah hidup yang tegas dan mengikat.


D. INSAN MINANGKABAU
Insan Minangkabau adalah orang yang siap menatap masa depan. Siap bergumul dan bergulat dalam zaman yang senantiasa berubah, sesuai ungkapan adat, ”sakali aia gadang, sakali tapian berubah”. Sesungguhnya, kesiapan dan keberanian orang Minangkabau menghadapi tantangan zamannya lahir dari kemampuan atas intensitas pembacaan terhadap semesta. Pembacaan terhadap semesta merupakan sebuah proses yang senantiasa mengalir dalam siklus kehidupan manusia.

Fasafah ”Alam Takambang Jadi Guru” menjadi titik sentral bagi orang Minangkabau dalam memaknai kehidupannya. Proses perenungan dan penghayatan terhadap materi-materi kehidupan, yang berpijak pada kemampuan dan intensitas pembacaan mereka terhadap alam, mempunyai makna yang dalam bagi orang Minangkabau. Alam adalah segala-galanya bagi mereka, sebagai tempat lahir, tumbuh dan mencari kehidupan, serta sebagai sebuah kosmos yang memiliki nilai dan makna filosofis. Implikasi dari pemaknaan orang Minangkabau terhadap alam terlihat jelas dalam ajaran; pandangan dunia (world view) dan padangan hidup (way of life) yang seringkali mereka nisbahkan melalui pepatah, petitih, mamangan, petuah, yang diserap dari bentuk, sifat, dan kehidupan alam.

Falsafah ”Alam Takambang Jadi Guru”, sebagai pencerminan Allah Tuhan Yang Maha Kuasa, yang menjadi anutan bagi orang Minangkabau, suatu konsep kemanusiaan yang ”egaliter” dalam sistem kodrat ”alam” yang dikotomis menurut alurnya yang harmonis. Pengertian alur yang harmonis dalam ”alam” ialah dinamika dalam sistem musyawarah dan mupakat berdasarkan ”alur” dan ”patut”, yaitu etika hukum yang layak dan benar. Sebagai masyarakat yang beragama, maka kebenaran yang benar berada di jalan Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

Pandangan kosmos ini pada akhirnya membawa mereka melihat keteraturan semesta bukanlah sesuatu yang tiba-tiba, melainkan muncul melalui proses pergulatan antara pertentangan dan keseimbangan. Filsafat ‘Alam Takambang Jadi Guru’ mengandung pengertian bahwa setiap orang ataupun kelompok memiliki kedudukan sama, baik sebagai individu, maupun sebagai kelompok, sebagai hasil dari musyawarah. Pandangan ini mendorong untuk mandiri dan berkompetisi dalam meningkatkan martabat dan harga diri setiap individu. Dalam masyarakat Minangkabau yang komunal, setiap individu diberi peluang untuk mengembangkan diri atas dorongan kerabatnya sendiri. Dia disegani, berwibawa dan berwawasan yang luas, “ba alam lapang, ba padang laweh”. Berwawasan luas dan luwes. Prinsip ini, gadang diambak, tinggi dianjung, suatu pengakuan menjadi besar dan tinggi karena lingkungan komunitasnya. Sebaliknya ia pun harus membela masyarakatnya agar makin berharga dalam dan di luar lingkungannya. Lambat laun prinsip ini melembaga dalam diri setiap individu, bahwa masyarakat itu merupakan milik dan bagian penting dari dirinya. Demikianlah masyarakat Minangkabau menyikapi cara melihat dirinya dan melihat alam dan perubahannya.

Proses dialektika dipahami oleh orang Minang tidak sebatas pergulatan, tapi sebagai proses yang telah membentuk insan Minangkabau sebagai individu yang memiliki karakter, watak dan sikap yang jelas dalam menjalani siklus kehidupan. Di antara karakter itu adalah;

Pertama, orang Minangkabau selalu menekankan nilai-nilai adab atau budi. Setiap individu dituntut untuk mendasarkan kekuatan budi dalam menjalani kehidupannya.

Kedua, etos kerja yang didorong oleh kekuatan budi, sehingga setiap individu dituntut untuk selalu melakukan sesuatu yang berarti bagi diri dan komunitasnya. Melalui semangat inilah kemudian mereka memiliki etos kerja yang tinggi.

Ketiga, kemandirian. Semangat kerja atau etos kerja dalam rangka melaksanakan amanah sebagai khalifah menjadi kekuatan bagi orang Minangkabau untuk selalu hidup mandiri, tanpa harus bergantung pada orang lain. “Baa di urang, baitu di awak” dan “malawan dunia urang” adalah sebuah filosofi agar individu dituntut untuk mandiri dalam memperjuangkan kehidupan yang layak.

Keempat, saraso, tenggang menenggang dan toleran. Kompetisi adalah sesuatu yang sah dan dibenarkan untuk mempertinggi harkat dan martabat, namun ada kekuatan rasa yang mengalir dari lubuk budi. Setiap invididu hidup bukan sekedar memenuhi kebutuhan pribadi, melainkan juga berjuang dan memelihara komunitasnya. Hidup dalam pergaulan sosial harus didasarkan pada kekuatan rasa. Rasa akan melahirkan sikap tenggang menenggang dan toleran terhadap orang lain dengan segala perbedaan yang ada. Etos kerja dan semangat kemandirian muncul dari lubuk “pareso” (akal pikiran), sedangkan sikap tenggang menenggang dan toleran muncul dari kekuatan “raso”(hati nurani).

Kelima, kebersamaan yang menempatkan insan dalam posisi individu dan komunal yang memberi ruang untuk menjalin kehidupan bersama dalam kebersamaan. Selain penempatan seseorang dalam ranah individu dan masyarakat, kekuatan rasa, tenggang rasa dan toleran memperkuat munculnya kebersamaan dalam masyarakat Minangkabau. Kebersamaan itu sesungguhnya lahir dari pola penempatan seseorang dalam ranah individu dan masyarakat. Meskipun sebagai individu diberi ruang gerak untuk dirinya sendiri, namun ia harus bersikap saling tenggang menenggang dan menghargai setiap perbedaan yang ada.

Keenam, visioner, semangat yang kemudian membuat orang Minang memiliki visi yang jelas dalam menjalani kehidupannya Dari kekuatan budi, etos kerja yang tinggi, watak kemandirian, nilai saraso, tenggang menenggang, dan kebersamaan, orang Minang bergerak maju, dinamis, dan melihat ke masa depan.

Gugusan watak dan sikap di atas, akhir dari proses hidup dialektik yang terpercik dari falsafah”hiduik baraka, mati barimanan”. ”Hidup ba raka” bermakna tidak ada kehidupan yang dilalui tanpa pertimbangan akal. Akal sesungguhnya bermakna ikatan antara ’rasa’ yang timbul dari hati nurani dengan ’pareso’ yang lahir dari kedalaman pikiran. Keseimbangan hakiki yang ingin dicapai oleh setiap orang Minangkabau. Orang Minangkabau terus menerus bergulat dengan akal dan budi dalam mempercepat pencapaian harkat, martabat dan hakikat kebenaran dalam kehidupan. Selanjutnya, ”mati bariman ” yang menjiwai manusia Minangkabau merupakan turunan yang integral dari proses ”hidup ba raka”.

Orang Minangkabau tidak rela meninggalkan generasinya sebagai kaum yang lemah dan mudah ditindas, baik moral, mau pun materiil. Mereka berpantang mati sebelum meninggalkan ”pusako”, kebajikan yang ingin ditransformasikan, -baik dalam ucapan, sikap, dan tindakan-. sebagai bekal bagi keturunannya. Sikap kejiwaan ini terhujam dalam dan menjadi pilar bagi orang Minangkabau.

Bagi orang Minangkabau, Tuhan Yang Abadi sebagai suatu realitas yang mengaliri kehidupannya sesungguhnya di dunia ini. Pilihan hidup ”mati bariman” adalah satu-satunya gerbang kebajikan yang sesungguhnya. Melalui penghayatan ini, orang Minangkabau selalu terdorong menciptakan tatanan dinamis, terbuka, seimbang dan kuat dalam membangun individu mandiri, berdaulat, beradab dan beriman untuk mewujudkan masyarakat madani yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi.

Orang Minangkabau adalah pribadi yang selalu menuju kesimbangan dalam menjalin corak hidup dari iman, ilmu, dan amal. Ini makna sesungguhnya dari falsafah ”tali tigo sapilin, tungku tigo sa jarangan”. Akidah tauhid sebagai ajaran Islam dipupuk melalui baso basi atau budi dalam tata pergaulan di rumah tangga dan di tengah masyarakat.

Dengan penjiwaan ini, orang Minangkabau adalah sosok pribadi dari masyarakat yang tidak gentar, bahkan amat sadar akan tantangan zamannya; mereka selalu menghadap ke depan, dan mereka tidak akan rela menyeret diri kembali ke belakang; mereka selalu terbuka terhadap setiap perubahan ”sakali aia gadang, sakali tapian barubah”. Walaupun demikian orang Minangkabau tidak mudah terseret ke dalam arus yang menafikan kearifan kulturalnya ”walau duduak lah bakisa, tapi bakisa dilapiak nan sahalai, walaupun tagaklah barubah, nan tatap di tanah nan sabingkah”. ”Zaman boleh berubah, tapi realitas tidak boleh tercerabut dari akarnya”. Diktum ini kian mempertegas hidup orang Minangkabau dalam sebuah nilai yang bermuara pada nilai-nilai kebajikan.


E. POLA INTERAKSI PERGAULAN MASYARAKAT MINANG
Dialektika berbagai kekuatan dan ragam kehidupan telah mengantarkan dunia Minangkabau pada tatanan harmonis dan berada dalam keseimbangan. Dialektika bagi orang Minangkabau dipahami sebagai sebuah konsep yang menempatkan orang berfikir dalam suatu totalitas. Dalam struktur sosial, terdapat hal-hal yang berbeda, namun kemudian menyatu membentuk struktur baru dalam kehidupan.

Dalam amanah Allah menjadikan ”manusia dan jin semata untuk mengabdi padaNya”. Di samping itu sebagai khalifah, Allah pun mengamahahkan ”manusia yang dijadikanNya berkaum, bersuku dan berbangsa untuk saling mengenal satu sama lainnya.” Kedua ayat ini menjadikannya manusia Minangkabau berkeyakinan yang benar (tawhid), beragama yang taat dan berakhlaq yang mulia.

Hal ini diterapkan juga dalam sistem sosial adat Minangkabau yang matrilineal dan Islam yang patrineal, kemudian membentuk sistem sosial baru dalam kebudayaan Minangkabau, dengan bentuk: Orang Minangkabau bernasab kepada ayah (sistem patrilineal), bersuku kepada ibu (matrilineal) dan bersako (pewarisan gelar) kepada mamak”.

Dalam sistem pewarisan, harta pusaka tinggi diwariskan kepada kemenakan (sistem matrilineal) dan pusaka rendah diwariskan kepada anak (sistem patrilineal). Orang Minangkabau mengamalkan hukum adat, hukum agama dan hukum negara (undang-undang).
Masyarakat Minangkabau selalu mengatur pola interaksi antara sesama manusia yang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh dan mengatur kehidupan yang sejahtera di bumi Tuhan. Kebenaran, keadilan dan kebajikan yang menjadi prinsip orang Minangkabau untuk mengatur proses dialektika lam persentuhan antara individu dengan individu, kelompok dengan kelompok, individu dengan kelompok, dan sebaliknya. Oleh karenanya orang Minangkabau dalam pergaulannya bertindak dalam jalur moralitas bahwa hidup harus dijalankan dengan penuh semangat kekeluargaan.

Perimbangan pembagian dalam menata antara ruang dan waktu untuk menjalani kehidupan terus mengalir pada wawasan (matra) yang lebih luas. Bahwa orang Minangkabau lebih mudah menyesuaikan diri dalam melihat beragam corak dan perbedaan ragam kehidupan. Bagi orang Minang perbedaan – terutama perbedaan pendapat-- adalah hal yang lazim sebagai proses dialektis. Basilang kayu di tungku, mako api hiduik. Silang pendapat merupakan benang merah untuk mencapai kesepakatan. Prinsip kebersamaan, baik secara moril maupun materil, terus mengalir dalam pola hidup yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau. Prinsip diatur sedemikian rupa dalam menjalani proses hidup dan kehidupan sebagai makhluk yang selalu bersinggungan dengan makhluk lainnya yang tidak membedakan antara satu dengan yang lainnya. Prinsip ini melahirkan paham egaliterianisme bahwa manusia ditakdirkan sama derajatnya. Selain kebersamaan yang dijunjung tinggi, orang Minangkabau memahami bahwa dalam perbedaan perlu dikelola sedemikian rupa sehingga menciptakan suatu harmonisasi dalam perbedaan dan perimbangan [dialektika] kehidupan yang kompleks.

Perbedaan merupakan suatu “keindahan tersendiri” bagi masyarakat Minangkabau dalam dialektika kehidupan yang selalu bersentuhan antara satu sama lain. Nilai estetis yang terkandung dalam perbedaan bahkan sangat dijunjung tinggi dan dianggap sebuah kewajaran yang memberikan warna dalam kehidupan yang dinamis. Kehidupan yang selayaknya hanya akan berjalan dengan adanya perbedaan yang harmonis dan saling melengkapi dalam proses bagaimana kehidupan itu dijalani.

Prinsip hidup yang tidak membedakan antara satu sama lain diperkokoh dengan keikhlasan dalam menerima perbedaan yang terjadi dalam dialektika kehidupan. Keikhlasan dalam menerima ragam perbedaan yang ada dalam masyarakat melahirkan kearifan melihat dan memahami sisi-sisi lain dari kehidupan yang berbeda. Di balik peristiwa itu tersirat berbagai makna dalam menjalani kehidupan yang terus mengalir dalam ruang dan waktu yang selalu berubah. Dalam perubahan ruang dan waktu ada proses pemaknaan alam dan lingkungan tersebut. Oleh karena itu, orang Minangkabau berhati-hati, baik dalam berkata maupun berbuat, karena adanya kepekaan yang tinggi terhadap alam dan lingkungan. Orang Minangkabau mempertimbangkan segala sesuatu hingga taraf kemapanan yang sangat tinggi, namun tetap luwes dalam setiap masalah yang dihadapi. Maka menempatkan sesuatu tanggung jawab masing-masing merupakan perwujudan dari kearifan yang diserap dari lingkungan tersebut.

Hubungan sosial yang tercipta atas persentuhan antar satu sama lain dalam proses interaksi dalam bingkai etika yang mapan. Dalam hal ini, orang Minangkabau menempatkan budi sebagai ajaran tertinggi Adatnya. Hanya dengan budi, pertalian yang akrab antar anggota masyarakat dapat diwujudkan. Tuhan pun menyuruh manusia untuk berlemah lembut, tidak boleh berlaku kasar. Maka bingkai dari semua interaki yang berjalan seiring dengan dinamika kehidupan adalah adab atau budi sebagai cerminan budaya yang menempatkan masing-masing orang bertanggung jawab tanpa membedakan antara satu sama lain. Hal tersebut terlihat, antara lain, dari tradisi dialog secara santun dalam bertutur kata dengan semua orang. Perkataan pun diatur dalam ritme dan intonasi yang berbeda terhadap semua orang sesuai dengan kapasitasnya. Pola komunikasi tersebut dibingkai dengan santun dan rasa empati.

Rasa santun dan empati terhadap semua orang melahirkan rasa tanggungjawab yang tinggi. Rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap sesama dalam kehidupan melahirkan sikap yang tanggap dalam kegoncangan atau turun naiknya kehidupan yang digambarkan sebagai roda pedati. Sehingga solidaritas antar sesama melahirkan sikap saling tolong menolong dalam kesulitan. Dalam kehidupannya, orang Minangkabau selalu berbagi sesama dalam semua kesempatan maupun kesempitan. Dalam hidup semua keuntungan untuk semua orang, dan semua kerugian ditanggung bersama.

Dalam hal tanggungjawab, orang Minangkabau meletakkannya dalam wilayah eksternal. Sementara memegang teguh prinsip disiplin dan keterbukaan dalam wilayah internal. Dalam kedua dimensi ini sesungguhnya orang Minang mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang terkait dengan dua dimensi tersebut pada wilayah individu dan masyarakat. Dengan jalinan antara kedua segi pertanggungjawaban yang dipikulkan di atas pundaknya, orang Minangkabau memelihara keselarasan perbuatan yang berkaitan masyarakatnya. Rasa tanggungjawab bermuara pada harga diri yang dipertahankan sampai titik darah terakhir. Artinya orang Minangkabau tidak mudah tergoda dengan segala iming-iming yang dijanjikan atas penyelewengan yang menguntungkan sepihak.
Dalam mempertahankan prinsip harga diri, baik itu harga diri secara individu, maupun harga diri yang sifatnya kolektif (keluarga, suku dsb).

Orang Minangkabau menanamkan pendirian yang teguh daripada menggadaikan harga diri. Harga diri bagi orang Minangkabau merupakan sesuatu yang tidak dapat ditakar dengan emas berbilang. Sehingga tidak ada tawar menawar dan tarik ulur dalam hal ini. Mempertahankan harga diri merupakan “ruh” untuk hidup di lingkungan sehingga etos kerja mereka sangat tinggi untuk mengumpulkan emas berbilang, nama terbilang. Usaha yang dilakukan dalam mendapatkan emas berbilang, nama terbilang, ketulusan dan keikhlasan dalam berusaha menjadi faktor pendukung utama dalam meningkatkan taraf hidup (ekonomi) agar harkat dan martabat mereka terjaga.


F. PELEMBAGAAN ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABULLAH
Prinsip-prinsip dasar tersebut merupakan prinsip operasional dari prinsip kebenaran, keadilan dan kebajikan. Prinsip-prinsip operasional dilembagakan ke dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah tidak semata sistem nilai konseptual, tapi yang lebih penting, bagaimana nilai-nilai tersebut dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Sistem nilai yang berhubungan dengan struktur kultural berupa struktur kognitif (pengetahuan) dan afektif (perasaan). Penerapan nilai yang berhubungan dalam struktur sosial berupa hubungan antar manusia membentuk ”perilaku”. Bila berhubungan dengan kultural akan membentuk ”sifat mental” yang dapat mempengaruhi dan mengendalikan perilaku. Wujudnya dengan segala keadaan masyarakat akhirnya membentuk “struktur mental” manusia yang menjadi anggotanya.

Dengan demikian, nilai-nilai yang terkandung dalam Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah diterapkan dan dilembagakan ke dalam struktur kultural dan struktur sosial masyarakat Minangkabau. Pelembagaan nilai-nilai Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah harus menyentuh wilayah sosial empirik (pengetahuan dan pengalaman masyarakat) seperti struktur interaksi, struktur kepemimpinan, struktur musyawarah dan mufakat, struktur kepemilikan, struktur pewarisan, dan lain sebagainya. Ini berarti bahwa pranata sosial; pola kepemimpinan, musyawarah dan mufakat (struktur politik dan hukum), pola kepemilikan dan pewarisan (struktur ekonomi) serta pola interaksi (struktur budaya) mesti merujuk pada Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Konsekuensinya adalah bahwa sistem politik, hukum, ekonomi dan budaya hendaknya mencerminkan nilai-nilai budaya orang Minangkabau; atau institusi sosial dan kultural (tradisional) yang masih ada perlu direvitalisasi (dihidupkan kembali).

Oleh karena itu, konsep Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. dipahami sebagai:

Pertama, konsep usaha Minangkabau untuk merumuskan ”siapa dirinya”, sebagai sebuah masyarakat madani yang beriman, beradat, berbudaya, berharkat, bermartabat, dan visioner. Hal ini berarti bahwa meninggalkan nilai-nilai falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah., berarti keluar dari ”Minangkabau”.

Kedua, konsep ini berfungsi sebagai penentu tingkat hirarki nilai, Artinya secara kerohanian (transendental) yang dapat dipertanggung jawabkan.

Ketiga, konsep ini adalah landasan motivasi melakukan perubahan yang sekaligus menjadi standar dalam menentukan keabsahan setiap perubahan sosial yang akan dijalani.

Minggu, 25 Januari 2009

Ciloteh Lapau

CILOTEH LAPAU ANTARA DIALEKTIKA DAN DINAMIKA MINANGKABAU
Oleh : H.Mas’oed Abidin

WILAYAH MINANGKABAU
Masyarakat Minangkabau adalah salah satu suku bangsa di antara puluhan suku bangsa yang membentuk bangsa Indonesia. Masyarakat Minangkabau hidup di sekitar wilayah Sumatera Bagian Tengah, atau yang dalam Tambo Minangkabau disebutkan wilayah Minangkabau itu meliputi kawasan, “… dari Sikilang Aia Bangih sampai ka Taratak Aia Itam. Dari Sipisok-pisok pisau anyuik sampai ka Sialang Balantak basi. Dari Riak nan Badabua sampai ke Durian ditakiak (ditakuak) Rajo”, (artinya, dari Sikilang Air Bangis sampai ke Taratak Air Hitam, dari Sipisok-pisok Pisau Hanyut sampai ke Sialang Belantak Besi, dari Riak yang berdebur sampai ke Durian Ditekuk Raja).
Orang Minangkabau menamakan tumpah darahnya dengan Alam Minangkabau, yang secara geografis wilayahnya berpusat di selingkar Gunung Merapi, di Sumatera Barat. Wilayah itu meluas menjadi Luhak dan Rantau. Wilayah Luhak terletak di nagari-nagari yang berada di sekitar Gunung Merapi, sedangkan wilayah Rantau berada di luarnya, yaitu di sekitar wilayah pantai bagian Barat dan Timur Minangkabau.

Dalam Tambo dikisahkan bahwa Alam Minangkabau mempunyai tiga buah Luhak yang disebut dengan Luhak Nan Tigo (Luhak yang Tiga). Terbagi kepada Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Kota. Dari Luhak tersebut, kemudian berkembang menjadi Luhak Kubang Tigobaleh, yang terletak di sekitar Gunung Talang, Kabupaten Solok sekarang.
Wilayah Rantau terletak di luar Luhak-luhak tadi. Semula rantau adalah tempat mencarikan hidup para penduduk, terutama dalam bidang perdagangan. Wilayah rantau, berubah menjadi tempat menetap turun temurun dari para perantau Minangkabau. Terjadilah pembauran dan pemesraan (asimilasi) antara nan datang mencengkam hinggap bersitumpu. Kemudian berkembang menjadi bagian dari pusat pemerintahan di Minangkabau dulu, yakni Kerajaan Pagaruyuang, yang mempunyai Basa Ampek Balai, berninik bermamak, berdatuk dan berpenghulu. Berlakukah pula di wilayah rantau itu, adat istiadat Minangkabau.
ISTILAH MINANGKABAU
Minangkabau lebih dikenal sebagai satu bentuk pusat kebudayaan dengan masyarakatnya yang berstatus matrilineal – atau keturunan menurut garis keibuan. Hubungan kekerabatan ini, adalah perpaduan dan pemesraan antara istiadat (urf) dan syariat agama Islam. Garis matrilineal yang dianut adalah, bahwa anak yang dilahirkan bernasab kepada ayahnya, bersuku kepada ibunya, dan bersako terhadap mamaknya. Hubungan kekerabatan seperti ini, mungkin tidak ada duanya di Indonesia.
Sistem kekerabatan Minangkabau satu hal yang nyata, dan masih berlaku, walau perubahan terjadi di masa global ini. Kekuatan yang mengikat sistim kekerabatan Minangkabau, terlihat dari berbagai arah dan sudut pandang. Berpengaruh pada semua sisi kehidupan masyarakat Minangkabau.
Kekuatan kekerabatan itu misalnya, berpengaruh kuat pada aspek jiwa dagang masyarakatnya, mobilitas penduduknya, dengan kesukaan merantau ke negeri lain untuk mencari ilmu, mencari rezeki. Sistim kekerabatan sedemikian itu pula, yang telah mendorong lajunya mobilitas horizontal dalam bentuk imigrasi, dan mobilitas vertical yang menuju kepada peningkatan kualitas.

JALINAN BAHASA DAN KEPERCAYAAN DI MINANGKABAU
Dari sisi kebudayaan dan berbagai hubungan perilaku, terbentuk hubungan jalin berkelindan antara Bahasa dan Kepercayaan orang Minangkabau. Pembauran dengan makna asimilasi adalah pemesraan antara dua unsur atau lebih dalam suatu wadah tertentu. Unsur yang satu menjadi bagian dari unsur yang lain, saling isi mengisi timbal balik. Salah satu bentuk pemesraan itu adalah bahasa dan kepercayaan dalam wadah kesusasteraan di Minangkabau.
Penjiwaan dari kehidupan keseharian masyarakat Minangkabau, terasa ada pemesraan antara Bahasa dan Kepercayaan rakyat di Minangkabau. Perasaan itu terbawa kemana saja. Ada di ranah, dan terpakai di rantau. Di mana bumi dipijak di sana adat dipakai. Kaidah hidup ini adalah satu keniscayaan yang lahir dari keyakinan dari generasi berbudaya Minangkabau, di mana saja.
Kata "percaya" berarti pendapat, itikad, kepastian dan keyakinan. Kepercayaan diartikan sebagai kebenaran yang diperoleh pikiran. Keyakinan adalah suatu kebenaran yang diperoleh jiwa, dikuatkan oleh pikiran. Kebenaran agama adalah keyakinan. Selanjutnya, kebenaran ilmu pengetahuan, filsafat dan intelektual adalah kepercayaan. Masalah kepercayaan adalah masalah manusia yang banyak berkaitan dengan kehidupannya.
Sejarah kehidupan awal dari masyarakat manusia memberi pengetahuan kepada kita bahwa tiada suatu bangsapun yang hidup atau kelompok manusia yang tinggal pada suatu tempat yang tidak mengenal kepercayaan sebagai satu naluriah hidup yang vital. Kepercayaan timbul bersama dorongan-dorongan lain sebagai perlengkapan hidup manusia umumnya, seperti dorongan rohaniah manusia, yang selalu mengajar mereka untuk berbuat dan menyelesaikannya.
Dorongan-dorongan dari dalam jiwa itu berkembang tiada hentinya (dinamis) pada setiap masalah demi masalah yang tidak akan henti-hentinya dalam hidup manusia. Naluri juga diartikan dengan dorongan hati atau keinginan yang berasal dari pembawaan yang menggerakkan untuk berbuat sesuatu. Naluri itu dapat pula disebut instink atau fitrah.
Dorongan hati manusia dibedakan antara yang bersifat perasaan biologis dan yang bersifat perasaan rohaniah. Dengan demikian, berkepercayaan adalah salah satu dari perasaan rohaniah yang dapat juga disebut "perasaan keagamaan". Maka dorongan-dorongan atau perasaan-perasaan yang bersifat biologis seperti dorongan untuk makan, mempertahankan diri, dan melangsungkan keturunan adalah keperluan jasmani. Selanjutnya kepercayaan adalah naluri atau dorongan hati secara fitrah lebih mutlak daripada yang lainnya.
Agama adalah tuntunan dan tuntutan hidup yang dapat membebaskan manusia dari kekacauan dan ketakutan. Dalam agama ada suatu ikatan antara manusia dengan kekuatan gaib.
Agama dimaknai dengan aturan yang mengikat manusia atau ad-din atau syari’at (syarak). Kata religious dalam bahasa Latin berarti "mengikat". Perilaku manusia terikat dengan pengabdian kepada kekuatan besar yang maha dahsyat atau kekuatan ghaib, baik dalam bentuk kultus maupun dalam sikap hidup keagamaan.
Sumber utama kepercayaan atau rasa keagamaan ini adalah fitrah manusia yang merupakan anugerah Ilahi, dan melengkapi batin manusia melakukan kegiatan hidup sebagai makhluk yang lemah. Betapapun bersahajanya manusia ternyata kepercayaan membentuk tuntutan naluriahnya. Kepercayaan adalah salah satu dari kekuatan yang mengendalikan perasaan manusia.
Kepercayaan menuntut adanya bentuk perbuatan nyata (amal) pada semua tindakan manusia. Pada tingkat ini dapat dirasa hubungan agama dengan kesadaran manusia ada keterikatan erat dengan tenaga di luar diri manusia itu, yang membuat alam nyata manusia, atau syarak mangato adaik mamakaikan.
Fungsi naluri dari kepercayaan manusia kepada tenaga gaib itu membentuk keharusan menyatakan diri menjadi pengabdi dengan rasa rohaniah lahir dalam bentuk penghayatan pada berbagai tindakan dan ucapan. Tidak ada suatu macam agama yang tidak dimulai dengan kepercayaan. Di dalam agama Islam, dasar keagamaan disimpulkan atas enam pokok yang disebut dengan Rukun Iman, yaitu mempecayai adanya Allah, Malaikat, Kitab Suci, Pesuruh Tuhan, Hari Kemudian, dan mempercayai adanya kadar Tuhan atas yang baik atau yang buruk.
Mengikuti pola rasa rohaniah manusia, maka berkepercayaan atau beragama adalah keperluan manusia yang harus dipenuhi, disamping keperluan pokok lainnya yang bersifat naluri. Kepercayaan bermula dalam tingkat penerimaan dari ilmu pengetahuan. Keyakinan berada pada taraf intensitas dari kepercayaan. Keyakinan selanjutnya meminta keharusan untuk melakukan aktivitas, sedangkan pada kepercayaan belum mempunyai keharusan untuk itu. Kepercayaan (syarak) itulah yang berasimilasi dengan bahasa dalam kesusasteraan Minangkabau.

ASIMILASI ANTARA TUTUR BAHASA DAN KEPERCAYAAN
Pemesraan antara bahasa dan kepercayaan, telah memperkaya Kesusasteraan Minangkabau, terutama kesusasteraan lama atau khazanah kesusasteraan lisannya. Kesusasteraan Minangkabau sesungguhnya mempunyai pengertian yang dalam, yaitu "hasil bahasa Minangkabau yang indah".
Titik berat kesusasteraan Minangkabau bersifat lisan, terungkap dalam puisi dan prosa berirama. Tidak sedikit khazanah kesusateraan Minangkabau telah ditulis dalam tulisan-tulisan lama memakai huruf arab melayu. Pemakaian huruf hijaiyah tersebut dalam mengungkapkan kosa kata melayu, adalah bagian dari pemesraan antara bahasa dan kepercayaan masyarakat Minangkabau yang beragama Islam.
Kesusasteraan tidak hanya sekadar hasil seni bahasa belaka. Kesusateraan adalah juga hasil pemikiran, hasil pengalaman, hasil merasa, bahkan hasil dari kehidupan seseorang atau masyarakat dan lingkungannya. Kesusateraan adalah pula hasil bertutur kata, berciloteh dengan sadar, bukan dengan mimpi. Hasil sastera dapat disimak dalam kehidupan masyarakat pada suatu waktu, menjadi kebudayaan satu suku bangsa atau suatu bangsa. Salah satu aspek yang amat berpengaruh membentuk kehidupan masyarakat adalah hubungannya dengan sesama, dan hubungannya dengan Penciptanya. Hubungan-hubungan itu tampak nyata di dalam bentuk kesusasteraan.
Kesusasteraan Minangkabau juga memberi jawaban pengaruh hubungan itu. Seperti tersua dalam ungkapan, “Kanan jalan ka Kurai, sasimpang jalan ka Ampek Angkek. Kok iyo pangulu ganti lantai, kok bapijak jan manjongkek. Adaik taluak timbunan kapa, Adaik lurah timbunan aie. Kok bukik timbunan angin, biaso gunuang timbunan kabuik. Adaik pamimpin tahan upek.”
Dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, selalu diperhatikan antara dua kekuatan, yang satu secara lahiriah sikap dalam diri insan bernyawa, dan yang kedua adalah kekuatan keyakinan theis (agama) yang mengatur nyawa itu.
Kesusasteraan lahir dan dibentuk oleh dua unsur, yakni unsur nyawa yang memiliki rasa dan periksa, dan unsur agama yang membimbing rasa dan periksa itu. Budaya kehidupan yang dibimbing oleh keyakinan agama, melahirkan sikap malu. Budaya malu, membentuk masyarakatnya hidup dengan kehati-hatian, serta ingat dan hemat dalam bertindak. Selanjutnya sikap-sikap budaya seperti ini menumbuhkan dinamika dalam kehidupan. Tampak jelas dalam cara bertutur, berciloteh sampai ke lapau-lapau ataupun di surau-surau.

JIWA BAHASA DI MINANGKABAU
Keindahan akan tercipta, ketika hasrat timbul untuk mengembalikan keindahan yang abadi dengan ajaran agama dan keagungan nama Ilahi, ke dalam bentuk-bentuk karya sastera. Asimilasi antara bahasa dan kepercayaan dalam kesusasteraan Minangkabau terasa kental sekali. Mempersoalkan hubungan yang mesra antara bahasa sastera dan kepercayaan kepada kekuasaan Allah Subhanu wa Ta’ala, menjadikan karya sastera itu indah abadi.
Menggali mutiara milik bangsa yang kaya dengan pemesraan antara agama dan adat istiadat etnik, yang akan memperkuat ke tunggal-ikaan dari puncak-puncak kebudayaan bangsa Indonesia. Mutiara terpendam yang dapat diselami adalah bahwa kesusasteraan yang hakiki membentuk keperibadian satu bangsa, amat terkait dengan keyakinan pencipta sastera dan pendukungnya, yang keduanya mengabdi kepada Ilahi.
Kesusasteraan Minangkabau adalah pengasimilasian antara bahasa dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam satu ungkapan, adaik basandi syarak, menjadi kekuatan besar untuk meraih keberhasilan di setiap masa. Pengasimilasian antara bahasa dan kepercayaan dalam kesusasteraan sudah tercipta. Kepercayaan adalah fungsi jiwa manusia, dan kemajuan ilmu pengetahuan, telah membawa perubahan-perubahan terhadap jiwa manusia yang kompleks, namun satu keniscayaan belaka bahwa konsepsi kehidupan manusia tergantung pada alat-alat yang ada pada manusia itu sendiri.
Pada masyarakat Minangkabau, fungsi jiwa dibangun oleh kepercayaan kepada Tuhan, Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Esa itu tampak nyata dalam setiap aspek kehidupan kebudayaannya dan riak kehidupan sasteranya. Terutama dalam sastera bertutur dan berciloteh.
Sifat umum masyarakat tradisional Minangkabau di masa ini masih terasa, dan sukar untuk melepaskan kepercayaan dalam kehidupan tradisi mereka. Pada dasarnya manusia itu bersifat konservatif. Sukar melepaskan perhiasan hidup lama, ingin menyimpan pusaka lama. Di antara pusaka lama itu, banyak di antara kita yang ingin memeliharanya dalam keasliannya".
Pengukuhan adat bersendi syariat menjadi sangat penting. Jika hal ini dapat tetap ujud dan terpelihara baik, akan banyak manfaatnya menyalurkan nilai-nilai yang berharga dari satu budaya daerah, hasil masa lampau ke dalam kebudayaan Indonesia modern. Menggali khazanah kebudayaan lama Minangkabau, yang banyak tersimpan di dalam bahasa lisan, serta dan menaikkannya ke atas permukaan kehidupan, menjadi bahasa tulisan, niscaya akan memberi sumbangan besar di dalam memupuk kebudayaan nasional, sesuai dengan keperibadian bangsa Indonesia.
Untuk melakukan kompilasi dari nilai-nilai pusaka Minangkabau yang menjadi mutiara kehidupan berbudaya dengan adat bersendi syari’at, perlu dilakukan observasi yang dipertajam untuk menapak Minangkabau yang kuat di masa depan. Menuntut keharusan pula adanya penelitian historis, terutama diarahkan kepada penyelidikan bentuk-bentuk sastera lisan yang banyak terdapat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, seperti pidato-pidato adat yang masih dihayati dalam kehidupan nyata, serta sopan santun dan kearifan dalam berciloteh baik di lapau atau di surau.
Memang amat sukar untuk menentukan berapa jumlah pendukung kesusasteraan lisan Minangkabau itu. Berapa banyak yang masih tersisa di dalam khazanah golongan terkemuka dalam adat atau penghulu (ninik mamak). Serta berapa banyak yang sudah diidentifikasi kembali oleh golongan cerdik pandai, suluah bendang di nagari, atau mereka yang dapat dianggap mengetahui bentuk-bentuk kesusasteraan lisan itu.
Berlakunya adaik istiadat nan salingka nagari, telah memberi warna perlakuan pribadi dan masyarakatnya, di dalam berinteraksi sesama. Adat istiadat yang menjadi kebiasaan pada setiap nagari dan luhak, menjadi kekayaan amat berharga, terutama di nagari-nagari yang masih menjaga nilai-nilai utama yang luhur. Termasuk di dalam berciloteh bersama di lapau dan di mana saja.

PERILAKU BERBUDAYA DAN BERAKHLAK DALAM PENGGUNAAN BAHASA
Perilaku berbudaya dan berakhlak masih dihayati dalam keseharian mereka, disebabkan tetap berlakunya ketentuan syariat agama Islam dengan kuat. Dan terjaganya dengan baik fungsi-fungsi urang ampek jinih dalam lingkungan kekerabatan di nagari-nagari.
Faktor penghayatan lahiriah dalam melaksanakan adat bersendi syariat, akan lebih banyak berbicara daripada konsep-konsep yang bersifat teoritis. Kearah ini kompilasi harus mengarah.
Kehidupan bermasyarakat di Sumatera Barat sudah lama direkat oleh kentalnya hubungan kebersamaan (ta’awun) di dalam tataran budaya berat sepikul ringan sejinjing sebagai perwujudan nyata nilai-nilai Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK).
Tataran budaya sedemikian telah terbukti dalam masa sangat panjang mampu memberikan dorongan-dorongan beralasan (motivasi) bagi semua gerak perubahan (reformasi) dari satu generasi ke generasi berikut di Ranah Bundo ini. Bahkan telah pula terbukti menjadi modal sangat besar untuk meraih kemajuan di berbagai bidang pembangunan di daerah dan nagari, di dusun dan taratak. Serta memberikan sumbangan yang tidak kecil dalam mewujudkan persatuan bangsa dan kesatuan wilayah di Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini.
Adat Minangkabau yang disebut sebagai adat lama pusaka usang, artinya adatnya bukan baru dibuat atau baru disusun, tapi adat itu memang sudah lama dengan sifatnya yang luhur. Kemudian pusakanya yang usang berarti suatu peninggalan lama dari nenek moyang yang diwariskan kepada yang hidup sekarang. Dari pelajaran adat dikatakan bahwa nenek moyang orang Minang membagi adat itu atas empat kategori, yakni : Adat nan sabananyo adat (Adat yang sebenarnya adat), Adat nan diadatkan (Adat yang diadatkan), Adat nan taradat (Adat yang teradat) dan Adat Istiadat.
Dari empat bagian adat tersebut ada adat yang berbuhul mati dan ada adat yang berbuhul sentak. Berbuhul mati artinya tidak dapat dibuka atau dicabut, sedangkan yang berbuhul sentak artinya dapat dibuka atau dicabut. Adat yang berbuhul mati adalah adat yang sebenarnya adat yang tak akan berubah disebut tak lekang oleh panas, tak lapuk karena hujan, karena dia adalah undang-undang alam (natuurwet), natural law dan sunnatullah. Keyakinan bahwa Yang Maha Kuasa menciptakan alam raya dengan aturan nyata. Tak pernah berubah selamanya. Contoh nyata adat api menghanguskan, adat air membasahi. Tak pernah pula di antara keduanya yang bertukar peran atau bertimbang.
Adat nan Diadatkan yakni adat yang digariskan oleh nenek moyang orang Minang, seperti tokoh legendaris Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih nan Sabatang misalnya aturan-aturan yang dibuat orang dahulu dalam sistem kekerabatan menurut garis ibu (matrilineal). Pusaka turun ke kemenakan (maksudnya pusaka tinggi-sako dan pusako). Aturan nikah kawin (eksogami dan matrilokal), yang dalam fatwa adat disebut “sigai mencari enau. Enau tetap, sigai beranjak. Tepatan tinggal, bawaan kembali, suarang babagi, sekutu dibalah, kerbau tegak kubangan tinggal. Nikah dengan si perempuan, kawin dengan ninik mamak, sumando pada korong kampung”.
Adat nan teradat adalah hasil mufakat di dalam kaum, suku atau nagari tentang sesuatu masalah. Misalnya mufakat turun ke sawah, upacara nikah kawin dan lompat pagar (antar nagari), cara atau tata tertib penobatan Penghulu (Datuk), aturan sangsako, dan sebagainya.
Sedangkan yang dikatakan Adat istiadat adalah kebiasaaan yang sudah menjadi tradisi turun temurun. Misalnya adat istiadat masuk puasa Ramadhan, Idul Fitri, kunjung berkunjung di hari baik bulan baik, jalang menjalang ketika ada musibah, baralek (pesta), membangun rumah gadang, menghela tonggak (tiang rumah gadang) dan sebagainya. Pada dasarnya dalam empat kategori adat itu hanya Adat nan sabana adat yang tak akan berubah sedangkan yang lainnya dapat berubah dengan kata mufakat.
Hanya saja pada kategori Adat nan Diadatkan meski boleh berubah, namun Adat nan Diadatkan harus dilestarikan, dipelihara dan dilindungi agar tetap seperti sedia kala seperti adat Islami (adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, Syarak mangato, adat mamakai, disebut juga adat sebatang panjang). Sedangkan adat nan teradat dan adat istiadat lebih bersifat adat nan salingka nagari (selingkar nagari). Terlihatlah di sini kearifan nenek moyang orang Minang bahwa dalam menghadapi putaran zaman yang akan berubah di masa datang maka adat Minang bersifat terbuka. Berubahlah apa yang mestinya berubah, tapi ada yang tak akan berubah yakni Adat nan sabana adat yang sunnatullah, wet alam yakni yang datang dari Yang Maha Kuasa. Dalam adagium adat disebutkan : “sakali aie gadang, sakali tapian baraliah” (sekali air bah datang, sekali pula tepian berubah). Yang berubah itu adalah lokasi tepian yang tadinya berlokasi di sebelah atas, kini beralih ke sebelah bawah. Namun yang tepian tidak berubah, sementara nilai dukung boleh berubah dengan kesepakatan bersama melalui musyawarah.
Tutur kata dalam budaya di Minangkabau menjadi bagian tak terelakkan di dalam mempertahankan budaya lama sekaligus juga menggali dan menampilkan ajaran tradisional yang relevan dengan tuntutan zaman yang sedang berubah. Ungkapan tradisional itu dapat berarti pepatah, kato pusako, mamang, pituah, andai-andai, dan lain-lain. Ungkapan tradisional tersebut ada yang berbentuk pantun, seloka, gurindam, dan sebagainya yang kadangkala dengan kalimat metafora sebagai bandingan atau kebalikannya. Semuanya bernilai nasehat, hukum, arahan dan ketentuan-ketentuan (norma). Tapi ungkapan semata ada juga yang tidak bermuatan pepatah, pituah, dan lain-lain. Hanya kata melereng (kiasan) semata.
Ungkapan-ungkapan tradisional di Minangkabau ribuan banyaknya, berisi kearifan yang disindirkan, mencakup budi pekerti, seperti “Nan kuriak iyolah kundi. Nan sirah iyolah sago, Nan baiak iyolah budi, Nan indah iyolah bahaso”. Dalam ungkapan bahasa Indonesia berarti “yang kurik ialah kundi, yang merah ialah saga, yang baik ialah budi, yang indah ialah bahasa”. Para tetua leluhur orang Minangkabau telah mengambil contoh pada buah kundi dan buah saga yang warnanya kurik (rintik) dan merah yang sifatnya tetap tidak berubah dalam warna merahnya dan kurik rintiknya. Ungkapan tradisional ini mengiaskan bahwa budi baik dan keindahan bahasa tidak boleh tanggal dari diri pribadi anak turunan Minangkabau di manapun kita berada.
Sikap mulia akan menjadi buah tutur orang di mana saja. Talangkang karando kaco / Badarai carano kendi / Itu nan urang canggangkan./ Bacanggang karano baso / Bacarai karano budi / Itu nan urang pantangkan. Bila di turunkan di dalam bahasa nasional Telengkang keranda kaca, berderai cerana kendi, itu yang orang canggangkan, bercenggang karena bahasa, bercerai karena budi, itu yang orang pantangkan. Fatwa adat ini menasehatkan pandai-pandai menggunakan bahasa. Karena ucapan berbahasa yang mungkin dinilai kasar atau tak sepantasnya dapat berakibat persahabatan jadi bercanggang atau berjarak.
Begitu pula halnya budi atau kelakuan (perangai) yang tak senonoh dan tidak pantas, dapat berakibat persahabatan atau hubungan pergaulan akan rusak dan bahkan perceraian satu sama lain. Mengikat sebuah dinamika di dalam pergaulan tidak semata ada pada alur tutur kata. Juga pada tindak laku perbuatan. Di antaranya tepat janji. Tentang janji disebutkan dalam tutur ungkapan yang amat berarti, bahwa “indak nan taguah dari janji, indak nan kokoh dari buek” (tidak yang teguh selain janji, tiada yang kokoh selain dari buatan).
Selalu dalam ciloteh seharian dinasehatkan supaya teguh memegang janji, kokoh tak tergoyahkan terhadap apa yang sudah dibuat dan disepakati. Di dalam ungkapan seharian disebutkan ;
Nak luruih rantangkan tali
Nak mulia tapati janji
Nak kuek paham dikunci
Nak tinggi paelok budi
Nak kayo kuek mancari, dan sebagainya
(Supaya lurus rentangkan tali
Supaya mulia tepati janji
Supaya kuat paham dikunci
Supaya tinggi perbaiki budi
Supaya kaya kuatlah berusaha/ mencari)
Di sebalik itu dituntut dialektika Arif dan Bijak seperti ;
Diagak mako diagiah (buatlah perkiraan, baru dibagi)
Diukua mako dikabuang (memotong sesuatu atau mengerat, membagi, hendaklah setelah diukur, tidak berlaku sembrono memotong/membagi begitu saja . Dianjurkan diukur dulu).
Kemudian dalam satu ciloteh semestinya dipakai satu kearifan dialektis, Malantiang manuju tampuak, Dima buah ka rareh, dan Mamahek manuju barih, Dima lubang ka tabuak, Barundiang manuju bana, Dima mufakat ka dibulati. Artinya dalam bahasa nasional, “melempar menuju tampuak, kira-kira di mana buah itu jatuhnya”, dan “memahat menurut baris, kira-kira di mana lobang itu tembusnya”, atau “berunding berdasarkan kebenaran, sehingga rundingan membuahkan mufakat bulat”.
Kearifan di dalam bertutur kata, baik itu di dalam ungkapan di lingkungan beradat, di balairung, di surau, di mana saja, ada satu kewajiban berhati-hati.
Ungkapan petatah petitih mengingatkan itu semua. “Gabak dahulu makonyo hujan, Cewang di langik tando akan paneh, Ingek sabalun kanai, Kulimek sabalun habih”, atau “Ingek urang nan di ateh, Nan di bawah kok datang malimpok, Bajalan paliharo kaki, Bakato paliharo lidah”. Dapat dicermati dari ungkapan berbahasa dan bertutur ada banyak mendapatkan pelajaran dari alam takambang jadi guru. Di antaranya “mendung dahulu baru akan hujan, cerah di langit tanda hari akan panas”. Atau ungkapan selanjutnya, “ingatlah sebelum kena, berhemat sebelum habis” sebagai satu dinamika kearifan. Kemudian di dalamnya tertera pula nasehat, “ingat dan waspadalah orang yang sedang berkuasa di atas, karena yang di bawah dapat datang menimpa”, serta “kalau berjalan peliharalah kaki, kalau berucap kata pelihara lidah”. Di sini dapat dirasakan dialektika dan dinamika berucap atau berceloteh itu.
Di samping dialektika ada dinamika kehidupan dengan mengedepankan kebersamaan seperti ungkapan, “Ka bukik samo mandaki, Ka lurah samo manurun” (ke bukit sama mendaki, ke kurah sama menurun), atau “Barek sapikua, Ringan sajinjiang” (Berat sepikul, Ringan sejinjing), dan “Malompek samo patah, Manyaruduak samo bungkuak” (Melompat sama patah, Menyeruduk sama bungkuk), serta “Talungkuik samo makan tanah, Tatilantang samo makan angin, Tarandam samo basah, Tarapuang samo hanyuik” (Tertelungkup sama makan tanah, Tertelentang sama makan angin, Terendam sama basah, Terapung sama hanyut). Sebuah nilai keberadatan masyarakat adat yang dapat menumbuhkan dinamika di tengah pergaulan hidup.
Kehidupan masyarakat Sumatera Barat ke depan di Alaf Baru abad ke duapuluh satu dan seterusnya ini, mesti memacu dirinya dengan ajakan agar selalu menanam kebaikan-kebaikan yang makruf. Ajakan tersebut mesti pula dipagari rapat-rapat dari hal-hal yang merusak atau mungkarat. Di dalam diri masyarakatnya semestinya ditanamkan kesadaran yang dapat menumbuhkan harga diri dengan sikap mental mau berusaha dengan giat bekerja (enterprising). Hal tersebut akan lebih mudah terbangunkan karena dialog yang santun, arif dan dinamis.
Pembangunan manusia Minangkabau sesungguhnya adalah mencetak insan yang dapat menolong diri sendiri (independent) serta mampu mereposisi kondisinya dalam mengatasi kemelut, kemiskinan dan ketertinggalan di berbagai bidang.
Insya Allah masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat atau di perantauan akan selalu mendapatkan hak asasinya yang setara dengan kewajiban asasi yang telah ditunaikannya. Sesungguhnya bimbingan aqidah bersendikan Kitabullah, atau kebiasaan adat telah mengajarkan bahwa tidak pantas bagi satu masyarakat yang hanya selalu menuntut hak tanpa dibebani keharusan menunaikan kewajiban.
Martabat satu kaum akan hilang bila yang ada hanya memiliki kewajiban-kewajiban tetapi tidak dapat menentukankan hak apa-apa. Karena itu, hak asasi manusia tidak akan pernah ujud tanpa di dahului oleh kewajiban asasi manusia. Hal ini sangatlah penting ditanamkan kembali dalam upaya mambangkik batang tarandam.
Kandungan Kitabullah mewajibkan kita untuk memelihara hubungan yang langgeng dan akrab dengan karib, baik terhadap tetangga maupun kerabat, sebagai kewajiban iman dan taqwa kita kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa. Firman Allah di dalam Kitabullah (Al Quran) menyebutkan, “Sembahlah Allah, dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang ibu-bapak. Berhubungan baiklah kepada karib kerabat. Berbuat ihsan kepada anak-anak yatim, kepada orang-orang miskin, dan tetangga yang hampir, tetangga yang jauh, dan teman sejawat serta terhadap orang-orang yang keputusan belanja diperjalanan (yaitu orang-orang yang berjalan dijalan Allah) dan terhadap pembantu-pembantu di rumah tanggamu. Sesungguhnya Allah tidak suka terhadap orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS.4, An-Nisak ayat 36).
Menumbuhkan harga diri, dan memperbaiki nasib secara keseluruhan dalam berbagai bidang, diyakini akan terwujud melalui ikhtiar yang terus menerus, disertai akhlak sabar tanpa kesombongan serta mampu melawan sikap mudah menyerah dan tidak mudah berputus asa. Sikap jiwa masyarakat seperti ini seringkali dapat ditempa melalui dialog atau celoteh yang penuh dialektika dan dinamis, di antaranya di surau dan di lapau di Minangkabau, masa laloe. ***