Selasa, 05 Agustus 2008

Sulthan Tunggul Alam Bagagarsyah

Artikel lama (April 2008) dari Harian Waspada Medan, nampaknyo belum pernah di posting (CP) ke Palanta, sebagai penambah nambah pengetahuan kita mengenai sejarah Ranah Minang.



Salam.


Oleh Tuanku Luckman Sinar Basarshah-II
Sultan Serdang

TERBAKARNYA Pos Belanda di Padang dan Pariaman telah menimbulkan malu yang sangat besar bagi Belanda. Kebakaran itu dilakukan 2 bersaudara dari Suruasso pada tahun 1714. Setelah itu, keduanya menghilang. Mereka mengaku waris dari tahta Kerajaan Pagarruyung, yang waktu itu tahtanya dipegang oleh Raja Muning Shah alias Tuanku Nan Tuah, yang berhasil menyelamatkan diri dari uberan kaum Paderi. Raja Muning Shah ini mempersunting Tuan Gadis, tetapi kemudian bercerai dan Tuan Gadis kembali ke Suruasso.


Sir Stamford Raffles, Letnan Gubernur Inggris di Bengkulu, pernah meminta bantuan kepada 2 bersaudara bengsawan Suruasso ini untuk mendampinginya melawat ke pedalaman Minangkabau. Ketika Belanda berkuasa, kedua bangsawan Suruasso ini beserta Sultan Alam Bagagar Shah disertai banyak pemukapemuka adat Minangkabau lainnya, dikumpulkan Belanda dengan dalih untuk “melindungi mereka dari ancaman Paderi”. Waktu itu Belanda sudah mendeking mereka dengan 100 orang serdadu ditambah 2 buah meriam besar.

Tetapi alangkah terkejutnya mereka ketika dipaksa dengan ancaman harus menandatangani Pernyataan untuk melepaskan semua tanah Minangkabau buat diserahkan kepada Hindia Belanda. Itu terjadi pada 10-2-1821, ketika itu Raja Muning Shah masih bersembunyi di Lubuk Jambi. Maka dianggap Sultan Alam Bagagar Shah yang menggantikannya.(“Al die hoofden eene overeenkomst was getekend geworden, waarbij een afstand van alle Minangkabausche landen aan het Gouvernement werd bekend gestend”).
Mereka yang menandatangani di bawah ancaman Belanda itu ialah:

- Daulat Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagarshah van Pagarruyung;
- Yang Dipertuan Sutan Kerajaan Alam van Suruasso;
- Yang Dipertuan Raja Tangsir Alam van Suruasso;
- Datuk Basuko en Datuk Mudo (voor zich en de overige 12 penghulu = untuk diri sendiri dan atas nama 12 Penghulu) van Batipuh;
- Datuk Raja Muda en Datuk Palindih (voor zich en de overige 6 penghulu van Singkarak);
- Datuk Raja Muda en Datuk Raja Bagagar (voor zich en de overige 8 penghulu van Saningbakar);
- Datuk Raja Nan Sati (voor zich en de overige 5 penghulu van Bunga Tanjung);
- Datuk Gadang Maharajalela (voor zich en de overige 5 penghulu van Pitalah);
- Datuk Sati (voor zich en de overige 4 penghulu van Tg. Berulak);
- Datuk Raja Bukuet (voor zich en de overige 4 penghulu van Gunung Raja);
- Datuk Penghulu Besar (voor zich en de overige 4 penghulu van Batu Sangkar);
- Datuk Maharaja Lela (voor zich en de overige 6 penghulu van Sumpur);
- Datuk Seripada (voor zich en de overige 6 penghulu van Melala);
- Datuk Nakoda Intan en Datuk Paduka (voor zich en de overige 6 penghulu van Semawang);

“Deze Toewankoe Alam Bagagarshah was zusterkind en dus, volgens de landinstellingen, de wettige opvolger van bovengenoemden Raja Muningshah. Hij is later Regent van Tanah Datar geweest”.1.(Tuanku Alam Bagagarshah ini adalah putera dari saudara perempuan jadi menurut adat istiadat negeri ini, merupakan pengganti yang syah dari Raja Muningsyah tersebut. Ia kemudian menjadi Regent Tanah Datar).

Pada 1824 Tuanku Nan Tuah alias Raja Muning Shah kembali ke Pagarruyung dari tempat persembunyiannya di Lubuk Jambi. Ternyata ia masih populer dan disambut rakyat dengan meriah di sana. Ia kemudian tinggal dengan tenang dan aman, karena tempat itu dijaga oleh pasukan Belanda yang membuat benteng disana sejak tangal 1 Januari 1823.

Pada 1826 Raja Muning Shah mangkat di Pagarruyung. Belanda mau melenyapkan bekas imperium tua Kerajaan Pagarruyung dan lalu memecah konsentrasi kekuasaan di Minangkabau itu. (De oude Vorst van Minangkabau, Raja Muningsyah of Tuanku Nan Tuah, kwam ook in het jaar 1826 te overlijden. Zijn Neef, Sultan Alam Bagagarsyah, was als Regent van Tanah Datar opgetreden en Tuanku Samat, een zoon van een der instellers der Padrische sekte, als Regent van Agam”. (Raja tua dari Minangkabau, Raja Muningsyah atau Tuanku Nan Tuah, mangkat pada tahun 1826. Keponakannya, Sultan Alam Bagagarsyah, diangkat sebagai Regent Tanah Datar dan Tuanku Samat, putera dari salah seorang pendiri Padri, diangkat sebagai Regent Agam).2

Rakyat tidak senang dengan politik pecah belah kekuasaan yang dilakukan Belanda, karena politik licik Belanda agar dengan melalui para Regent (dan bawahannya para Kepala Laras dan Nagari serta Penghulu kampung dan Dusun) lebih mudah mengutip belasting dan mengatur agar perdagangan rakyat tidak bebas lagi. Tidak mustahil jika banyak daerah seperti Sumpur, Batipuh, Sungai Bakau dan lain-lain berusaha sepandai mungkin menghindar dari tekanan Belanda.

(“……….de Resident en militaire Commandant gezamenlijk gemachtigd, onder nadere goedkeuring pachten of belasting in te voeren”)3. Oleh karena itu kaum Paderi berusaha akan membunuh Regent Tanah Datar, karena mereka mencurigai politik Belanda dibelakang layar, nanti akan melebarkan kekuasaan dia sampai ke pedalaman. (“Men wil ook, dat die Tuanku (Pasaman van Lintau). maar wel de Regent van Tanah Datar, Sultan Alam Bagagarsyah, hem om het leven heft doen brengen, voon namelijk uit ijverzucht als bevreesd dat het Gouvernement hem eens het gezag over de binnen landen zou opdragen”.4 Mereka sebenarnya menghendaki ia digantikan oleh seorang Arab bernama Sayed Salimul Jafried, yang ahli hukum Islam tetapi juga pernah jadi orang kepercayaan Kolonel Stuers dulu. Dia ini pandai masuk kesana kemari. 5

Pada akhir tahun 1832, kaum Paderi pimpinan Tuanku Tambusai dibantu Panglimanya Tuanku Rao, telah hampir menguasai seluruh Tapanuli Selatan khususnya Padang Lawas, yang membuat Belanda serba salah karena takut melanggar perjanjian London 1824 dengan Inggris. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sentot Ali Basa, yang menurut Belanda berusaha, mengikat kembali rantai perlawanan menentang Belanda di Tanah Minangkabau bersama wilayah Tapanuli Selatan. Menurut laporan Belanda, Sentot Ali Basa, ini sengaja mau menimbulkan kekacauan kembali, dengan maksud agar dia nanti bisa meredakannya sendiri, dengan harapan agar Belanda mengangkat dia jadi raja (Panembahan) disesuatu daerah di Sumatera.

Untuk itu ia bersedia bekerja sama dengan Regent Tanah Datar Sultan Alam Bagagar Shah dan dengan Tuanku Nan Cerdik. “Terzelfde tijd werd het den Resident en Militiairen Komandant ook duidelijk dat de ontwerpen tot dien opstand geheel bekend waren geweest aan de Ali Basa, aan den Regent van Tanah Datar, Tuanku Pagarruyung en aan Tuanku Nan Tjerdik”. (Bersamaan waktu itu, makin jelaslah bahwa rencana pemberontakan itu seluruhnya diketahui oleh Ali Basa, kepada Regent Tanah Datar, Tuanku Pagarruyung dan kepada Tuanku Nan Cerdik) 6.

Sultan Alam Bagagarsyah secara sembunyi telah menyalakan api perlawanan terhadap Belanda khususnya didaerah Agam dengan 6 distrik, terutama Kamang, Mage, Kota Baru dan Sage masuk kampung keluar kampung dan diketahui penduduk sudah membuat benteng dan hempangan (barikade) dipersimpangan jalan besar pada awal 1833. (“Jang Dipertoean van Pagarruyung immer voortging met de vonken in het geheim aan te blazen, ten dade ook in die oorden den opstand te doen breken”)7. Sesuai dengan Peraturan (Reglement) Residen Sumatera Barat tgl. 27 Okt. 1823 No. 58, pembahagian Pemerintahan di Sumatera Barat sebagai berikut:

A. Padang Wilayah
1. Regent Padang, 2. Regent Pariaman, 3. Regent Pulau Cinko, 4. Regent Air Haji;

B. Minangkabau (Afdeeling ini dibagi sebagai berikut ) :
1. Regent Tanah Datar, 2. Regent Tanah Datar Di bawah, 3. Regent Agam dan 5 Regen Limapuluh Koto;

Di bawah Regentschap ini ada Latas (distrik) dan di bawahnya lagi ada Kampung dan Dusun. Di Tapanuli dan Nias yang masa itu tunduk ke Sumatera Barat ada pembahagian lain. Pada mula system Regent ini diadakan, Sultan Alam Bagagar Shah menjabat sebagai Regent seluruh Minangkabau, kemudian turun hanya Tanah Datar saja. Kemudian dikeluarkan lagi wilayah Tanah Datar Bawah dari kekuasaannya.

Menurut Belanda, Sultan Bagagarsyah bercita-cita untuk mengusir Belanda sampai ke laut sehingga mudahlah baginya untuk mendirikan kembali Imperium Tua Minangkabau Pagarruyung bahkan akan meluaskannya. ( “Hij verbeelde zich dan indien wij genoodzaakt waren naar de stranden terug te trekken, het hem gemakkelijk zou vallen het oude Minangkabausche Rijk weder op te rigten en zelfs uit te breiden”).8

Belanda kemudian menyelenggarakan suatu pertemuan besar di Biru, dimana hadir Sentot Ali Basa, Tuanku Sultan Bagagarsyah, Tuanku Nan Cerdik, Tuanku Alam. Disitu dibacakan oleh Residen Elout antara lain sebuah Surat Pengangkatan dari Yang Dipertuan Pagarruyung Sultan Bagagarsyah yang turut juga ditandatangani oleh Tuanku Imam Bonjol, yang menunjuk Tuanku Alam dari Kaman untuk beroperasi di daerah sebagian dari XII Koto (di pedalaman) dan di daerah 4 Raja di Kumpulan buat berontak mengusir Belanda dari tanah Minangkabau.

(“…… een door zekeren in Kaman wonende Toeankoe Alam, ontworpen, door den Jang Dipertoean van Pagarruyung en den Tuanku Imam Bondjol ondertekend stuk”).9 Tuanku Alam langsung ditangkap dan keesokan harinya di hukum pancung oleh Belanda. Begitu juga Tuanku Nan Cerdik ditangkap dan kemudian dibuang ke Betawi tgl.16-3-1833. Komandan Militer Belanda mendesak agar Sentot Ali Basa segera disingkirkan. Kepada Sentot Ali Basa Residen secara diplomatis meminta agar Sentot berangkat ke Betawi guna melaporkan situasi keamanan disana. Ternyata ia tidak dibenarkan kembali ke Sumatera bahkan kemudian dibuang ke Bengkulu. Tentera Jawa Barisannya tetap di Sumatera dan menjadi bahagian dari tentera Belanda.

Dibuang
Mengenai Sultan Alam Bagagar Shah, banyak kalangan Belanda minta agar dia segera disingkirkan, tetapi Residen berpikir menunggu kesempatan yang lebih baik nanti karena Residen menganggap dia lemah pengaruhnya kepada rakyat. 10 (“Men vatte de gedachte op, om de Yang Dipertuan Pagarruyung te verwijderen, doch ditwerd tot gelegener uur uitgesteld”).

Tetapi setelah saat terakhir ditemukan bukti bahwa Regent Tanah Datar menancapkan pengaruhnya masuk kampung keluar kampung, terutama disekitar bulan April 1833, dan setelah diketahui Belanda bahwa Tuanku Sultan Alam Bagagar Shah menulis surat dan minta bantuan Inggris mengirim pasukan sebagai bantuan dari Singapura kepadanya, maka Residen Elout tidak bisa menunggu lebih lama lagi dan harus segera menangkap Regent Tanah Datar itu.

“…………..dat de Regent van Pagarruyung reeds vele maanden vroeger brieven had geschreven aan de Engelschen (waarschinjlijkvan Singapore) om hunne hulp in te roepen tegen ons” (……….. bahwa Regent Pagarruyung sudah sejak berbulan-bulan yang lalu menulis surat kepada Inggris (mungkin ke Singapura) agar mereka memberikan pertolongan melawan kita).11 Ketika akan pulang meninggalkan rapat di Biru itu Residen Elout dengan marahnya mengecam tindak tanduk Sultan Bagagarshah. Lalu serta merta disuruhnya pasukan menangkap Sultan Alam Bagagarsyah dan di bawa ke Padang (2 Mei 1833). Ketika perlawanan rakyat makin menjadi-jadi kemudian ia nanti dibawa ke Jawa (Betawi) untuk dibuang disana.

Dalam suratnya kepada Gubernur Jendral, Elout menulis: “Ik ben nu volkomen overtuigd dat de Regent Tanah Datar met den Ali Basa en Toewankoe nan Tjerdik sedert lang in het complot waren tegen het Gouvernement”. Kemudian didalam, suratnya tgl. 6 Desember 1833 Elout melaporkan lagi kepada Van den Bosch : “……… Untuk lebih perlu memberikan bukti kepada Yang Mulia mengulang kembali pengkhianatan seperti saya laporkan dahulu disertai bukti-bukti tertulis mengenai Yang Dipertuan Pagarruyung, mengingatkan kita bahwa dia sejak zaman Pemerintahan Kolonel dan Residen De Struers, selalu mencoba menentang kita, terbukti dalam surat jawaban kepadanya oleh Toeanku Kapoh, yang saya perlihatkan dulu kepada Yang Mulia ditempat ini (di Padang) dan juga balasan dari surat-menyurat dari Tuanku Alam yang kegiatan hebatnya di mana-mana sudah diketahui dan dalam surat menyurat yang sudah disampaikan kepada Yang Mulia. Kedua mereka ini sudah dikenal aktivitasnya satu persatu; dan sebaliknya begitu baiknya tindak tanduknya dibela di Betawi oleh Yang Dipertuan Pagarruyung”. 12

Ternyata 2 hari sesudah penangkapannya, seharusnya Sultan Alam Bagagar Shah akan mengepalai sebuah rapat besar di Sumpur, di mana akan ditentukan jam dan hari proklamasi serentak pemberontakan terhadap Belanda diseluruh alam Minangkabau. Memang berita penangkapan dan pembuangan Sultan Alam Bagagarsyah menimbulkan aksi luas yang luarbiasa diseluruh Minangkabau. Di bawah pimpinan Regent Buah, yang juga kerabat dari Sultan Bagagar Shah dia, memerintahkan kepada beberapa orang Dubalang, menyerang Letnan Hendriks, pada malam 12 Mei 1833, tetapi dalam keadaan sekarat Hendriks dapat selamat lari ke benteng. Kemudian benteng Belanda di Gugung Sigandang dikepung gerilyawan rakyat, di mana komandan benteng, Letnan Tomsos, dapat ditewaskan bersama pasukannya dan benteng dibakar. Di Ambacang, benteng Fort de Kock dan benteng Belanda di Kuriri di kepung dan diserang gerilyawan rakyat. Belanda menunjukkan kekejamannya dengan memenggal 15 orang pejuang rakyat yang dapat tertangkap.13

Kejadian baru di Sumatera Barat itu membangkitkan ketakutan Belanda akan kemungkinan berulangnya lagi perang besar “Bonjol II”.Sehingga dengan terburu-buru didatangkanlah dari Betawi bantuan pasukan sebesar 1100 serdadu bersama dengan Mayor Jenderal Riesz didampingi Komisaris Hindia Belanda, Van den Bosch. Sultan Alam Bagagar Shah dibuang di Betawi dan mangkat di sana 1849. Selama masa pembuangan di Betawi kegiatannya terus dipantau oleh intel Belanda. Tetapi bagaimanapun sampai akhir hayatnya ia tidak pernah berkhianat dalam tujuan perjuangannya.
Dari berbagai sumber



WASPADA Online
Sunday, 06 April 2008 00:42 WIB

Tidak ada komentar: