Minggu, 04 Mei 2008

Peluang dan Tantangan Dakwah Islam di Era Otonomi Daerah di Sumatera Barat

PELUANG DAN TANTANGAN DAKWAH ISLAM DI ERA OTONOMI DAERAH di SUMATERA BARAT

H. Mas’oed Abidin
Ketua Badan Amil Zakat Sumbar
Ketua Dewan Dakwah Sumbar
Wakil Ketua Dewan Penasehat MUI Sumbar

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Ali Imran (3) : 104)

Muqaddimah

Nikmat Allah SWT yang kita peroleh dengan berbagai kelebihan atau kekurangan adalah hasil dari pengorbanan dan ketekunan kita secara sambung bersambung. Sebagai buktinya adalah keterpaduan hati, tekad dan langkah yang kita ayunkan sampai hari ini. Nikmat itu membuka banyak kesem­patan bergerak lebih leluasa dan bertanggung jawab.
Di daerah kita, Sumatra Barat tercinta ini, kini dirasakan keterbu­kaan dalam bentuk lain, yakni dengan terbukanya wacana kembali ke nagari, walaupun selama 21 tahun telah pula berkembang wacana perubahan ini. Dan hal ini pulalah yang menjadi bukti dari demokratisasi yang berkembang sejak lama.
Diberlakukannnya UU No.22/1999 membuka peluang masyarakat beradat berpegang pada adat bersendi syarak dan syarak bersendikan Kitabullah, secara lebih luas melaksanakan otonomi di daerah Sumbar yang didukung dengan lahirnya Perda No.9/2000 tentang Kembali Ke Pemerintahan Nagari. Perda ini memberi keleluasaan tertib melaksanakan kaedah adat di ranah Minang yang senyatanya adalah kekayaan budaya paling berharga untuk mendorong motivasi masyarakat[1] di nagari-nagari dalam mendinamisir diri membangun kampung halaman.

Problematika Dakwah
Seiring dengan itu di Alaf ini telah terjadi perubahan cepat dan transparan ditandai hubungan komunikasi, informasi, dan transportasi serba cepat mengarah kepada lepasnya sekatan.[2]
Masyarakat Sumbar mesti bersyukur kepada Allah, yang menganugerahi rahmat besar dengan nilai tamaddun budaya Minangkabau yang terikat kuat dengan penghayatan Islam dan telah pula diakui sebagai salah satu puncak kebudayaan dunia.
Namun, di sisi lain, keterpesonaan menatap budaya lain di luar kita di tengah derasnya penetrasi budaya asing, kerapkali mengancam generasi pengganti meluncur ke arah degradasi akhlak yang cepat seiring terbukanya isolasi daerah-daerah sampai ke jantung Ranah Bundo Kanduang. Hal ini diperparah oleh kurang berperannya da’i dan imam khatib di nagari dalam memfungsikan Surau dan Masjid menjadi pusat pembinaan anak nagari.
Sementara itu, mereposisi peran elemen penentu di tengah masyarakat di nagari tidaklah mudah. Pengalaman tiga dasawarsa menampakkan kecenderungan orang tua sebatas memenuhi serba kebutuhan fisik dan materi semata. Hal ini diperparah dengan menipisnya rasa kekerabatan keluarga. Peran du’at dan peran du’atan pun terlihat melemah dalam membentuk watak generasi mendatang.

Fungsi ninik mamak pun terjebak sebagai pejabat adat yang hanya diperlukan ketika upacara seremonial keadatan. Sehingga ninikmamak kurang signifikan mewarnai kehidupan anak kemenakannya yang pada usia muda‑mudi terbuka meniru apa saja, tanpa mengindahkan kaedah istiadat yang menjadi rambu-rambu perjalanan hidup bermsyarakat di Minangkabau.

Bila ditinjau lebih dalam, lapuknya pagar adat dan syarak sebenarnya disebabkan oleh lunturnya keteladanan yang diberikan generasi tua. Hal ini memicu mencuatnya sikap enggan dan acuh generasi pengganti untuk menyerap nilai-nilai utama yang pernah dimiliki generasi tua yang sudah berprestasi. Kondisi ini boleh dibilang sangat mengkhawatirkan bila dilihat pada kesiapan Sumatera Barat meniti abad ke duapuluh satu yang serba transparan.
Kondisi ini pun menjadi kian parah ketika meluasnya kemelut sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh negara-negara di dunia – yang tidak dapat tidak ikut mempengaruhi kondisi budaya dan kehidupan masyarakat Sumatera Barat—yang hanya dalam hitungan detik dapat diterima informasinya melalui berbagai media. Tentunya, dengan kelemahan system pendidikan secular yang kita anut sekarang, serta lemahnya pencapaian tujuan pendidikan yang telah digariskan dan dicitakan oleh para murabbi (para pendidik atau du’at) terhadap tatanan prilaku umat di nagari-nagari.

Hal inilah yang mempengaruhi perjalanan serah terima generasi di Ranah Minang, sehingga kita dihadapkan fenomena du’atan yang amat mencemaskan. Persoalan ini membelit remaja, umat dan anak nagari kita. Implikasi ini jelas terlihat pada tumbuhnya kebiasaan di kalangan para pelajar kita untuk bolos sekolah, malas belajar, suka bermain di mall -- pasar -- disaat jam belajar di sekolah, suka berkelahi berkelompok seperti tawuran, bahkan berani merusak kelas belajar dan rumah sekolah dan du’at, melempar toko-toko dan menghancurkan perpustakaan sekolah, memukul dan menyandera du’at yang mengajar mereka dan berkembang kepada melakukan tindakan vandalisme. Cakak Banyak.

Paling menakutkan, diantaranya terjangkiti prilaku “nan ka lamak dek salero”[3] terbawa arus peristiwa keganasan yang melanda kalangan anak muda remaja di negeri orang. Tidak jarang mereka larut kedalam tindakan melampaui batas[4] yang menyeret meruyaknya kriminalitas dan pelanggaran norma hukum dalam bermasyarakat. Pada masa silam keadaan tersebut jarang dan bahkan tidak didapati pada prilaku umat di Ranah Bundo ini. Kejadian ini lazimnya sering dikaitkan dengan kemampuan du’at dan para murabbi mengajar umat. Mau tidak mau akan lahirkan di masa mendatang generasi yang kurang ilmu dan lemah dalam pemahamannya.

Esensi Dakwah Illa-Allah
Dakwah usaha terus menerus para da’i (du’aat) terhadap masyarakat yang di dakwahi (mad’uu).

Sesuai bimbingan risalah Islam yang dibawa Muhammad Rasulullah SAW adalah untuk melakukan perobahan. Yang di inginkan adalah, “merobah tatanan masyarakat dzulumaat (sisi kegelapan) kepada tatanan yang terang cahaya (an-nuur)”.[5]

Dakwah bertujuan memelihara keberadaan (eksistensi) manusia yang di ciptakan Allah untuk suatu tugas mulia dan istimewa sebagai khalifah Allah di permukaan bumi. Karena itu, upaya-upaya dakwah tidak akan pernah berhenti sampai berakhirnya kehidupan duniawi ini.

Secara esensial dakwah ilaa Allah memiliki sisi-sisi mengagumkan antara lain ;

1. Dakwah adalah tugas suci (mission sacre) dalam rangkaian melanjutkan risalah Rasul Allah melalui tabligh (balligh maa unzila ilaika min rabbika), dalam menegakkan kalimat tauhid sesuai yang diperintahkan Allah, dan bila dakwah tidak ditunaikan sebagai pelanjut risalah maka dengan tegas diingatkan (fa maa ballaghta risaalatahu), akan berjangkit kema’shiyatan dalam kehidupan manusia, dan kekufuran akan menjadi-jadi, bantuan dari Allah akan terjauh.[6]

2. Dakwah merupakan beban setiap pribadi mukmin (fardhu ‘ain) dengan sasaran membawa manusia kepada al-khairi (Islam). Sudah semestinya umat di sadarkan bahwa keberadaan lembaga du’aat sesungguhnya telah meringankan beban pribadi umat yang di bina. Secara timbal balik umat mempunyai tanggung jawab menjaga keberadaan lembaga du’aat (juru dakwah) sepanjang masa.

3. Dakwah memiliki program jelas amar makruf nahi munkar.[7]
Bila amar maruf nahi munkar tidak dilaksanakan terjadi bencana.[8]

4. Dakwah mendapat sanjungan ahsanu qaulan (seruan indah) karena ajakan kepada mengikuti perintah-perintah Allah (da’aa ilallaah).

5. Realisasi dakwah senantiasa berbentuk karya nyata yang baik (wa ‘amila shalihan), atas dasar penyerahan semata kepada Islam (wa qaala innani minal muslimin), sebagai bukti ketaatan Muslim yang tidak menyamaratakan yang baik dan buruk.[9]

6. Dakwah mesti berlandaskan Kitabullah dan Sunnah Rasul (dakwah salafiyah). Dakwah selalu harus menyajikan Dinul Haq (Agama Islam) yang menjalinkan hubungan vertikal (hablum minallah) dan hubungan horizontal (hablum minan-naas)[10]

7. Rangkaian ibadah yang dilahirkan oleh dakwah ilaa Allah ini sanggup mengetengahkan rekonstruksi alternatif untuk kehidupan kekinian (duniawi) sejalan dengan kehidupan kedepan (ukhrawi). Karena agama Islam sesuai wahyu Allah merupakan ajaran yang solid (rahmatan lil ‘alamin)[11]

8. Solidnya ajaran Islam sesuai bimbingan Kitabullah dan sunnah Rasul terbukti dalam beberapa hal,
a. agama fithrah yang damai,
b. alamiyah insaniyah, sesuai dengan zaman,
c. mengajarkan hidup harmoni dan mampu berdampingan secara damai sejahtera,
d. dengan ajaran kaedah syar’I yang menaruh perhatian mendalam terhadap kesejahteraan materiil dan immateriil, menyeru manusia untuk hidup secara baik (shalih) dalam kehidupan individu, keluarga, kelompok, bangsa bahkan dunia.

Hakikat Dakwah Bil Hal
Peran da'wah di Ranah Minang sekarang ini adalah menyadarkan umat akan peran mereka dalam membentuk diri mereka sendiri, "Sesungguhnya Allah tidak akan merobah nasib satu kaum, hingga kaum itu sendiri yang berusaha merobah sikap mereka sendiri." (QS.Ar-Ra’du).
Kenyataan sosial terhadap penduduk anak nagari harus di awali dengan mengakui keberadaan mereka, menjunjung tinggi puncak-puncak kebudayaan mereka, menyadarkan mereka akan potensi besar yang mereka miliki, mendorong mereka kepada satu bentuk kehidupan yang bertanggung jawab. Inilah tuntutan Da'wah Ila-Allah.

Da'wah adalah satu kata, di dalam Al-Qur'an, bermakna ajakan atau seruan.
Maka seruan atau ajakan itu, tidak lain adalah seruan kepada Islam. Yaitu agama yang diberikan Khaliq untuk manusia, yang sangat sesuai dengan fithrah manusia itu. Islam adalah agama Risalah, yang ditugaskan kepada Rasul, dan penyebaran serta penyiarannya dilanjutkan oleh da'wah, untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup manusia. Dalam rentangan sejarah perjalanannya tercatat "Risalah merintis, da'wah melanjutkan"
Risalah menjadi tugas rasul itu, berisi khabar gembira dan peringatan. Ditujukan untuk seluruh umat manusia. Risalah itu cocok untuk semua zaman. Maksudnya untuk Rahmat seluruh alam. Dan Nabi Muhammad Rasulullah S.A.W, adalah da'i pertama yang ditetapkan oleh Allah (QS. Saba’, 34 : 28), mengajak manusia dengan ilmu, hikmah dan akhlaq. Perintah untuk melaksanakan tugas-tugas da'wah itu, secara kontinyu diturunkan oleh Allah SWT seperti,
a) Supaya menyeru kejalan Allah, dengan petunjuk yang lurus (QS.Al-Ahzab, 33 : 45-46).
b) Seruan untuk menyembah Allah, kepada seluruh manusia . Perintah untuk menyembah Allah, tidak boleh musyrik, agar hanya meminta kepadaNya dan mempersiapkan diri untuk kembali kepadaNya (QS.Al Qashash, 28 : 87).

Tugas ini menjadi tugas para Rasul sebelumnya. Menjadi sempurna dan lengkap dengan keutusan Muhammad. Maka, manusia (umat) sekarang menjadi penerus dan pelaksana da'wah itu terus menerus sepanjang masa (QS. Ar-Ra’d, 13 : 35). Ditegaskan dalam kalimat sederhana tapi padat, bahwa da'wah kita adalah Da'wah Ila-Allah (QS. Ali Imran, 3 : 104). Manhaj-nya adalah Alquran dan Sunnah Rasul, dan pelaksananya setiap muslim, setiap mukmin adalah umat da'wah pelanjut Risalah Rasulullah yakni Risalah Islam. Terlaksananya tugas-tugas da’wah dengan baik akan menjadikan umat Islam mampu menjawab harapan masyarakat dunia.[12] Maka perlu setiap Da'i – Imam, Khatib, Urang Siak, Tuanku, alim ulama suluah bendang di nagari-nagari -- meneladani pribadi Muhammad SAW dalam membentuk effectif leader di Medan Da'wah. Da'wah itu, menuju kepada inti dan isi Agama Islam (QS. Al Ahzab, 33 : 21).


Inti agama Islam adalah tauhid. Implementasinya adalah Akhlaq. Umat masa kini hanya akan menjadi baik dan kembali berjaya, bila sebab-sebab kejayaan umat terdahulu di kembalikan. Kita semestinya bertindak atas dasar syara’ itu, dan mengajak orang lain untuk menganutnya. "Memulai dari diri da'i, mencontohkannya kepada masyarakat lain", (Al Hadist). Inilah cara yang tepat. Keberhasilan suatu upaya da'wah (gerak da'wah) memerlukan pengorganisasian (nidzam).
Perangkat dalam organisasi surau, selain orang-orang, adalah juga peralatan da'wah yaitu penguasaan kondisi umat, tingkat sosialnya dan budaya yang melekat pada tata pergaulan mereka yang dapat dibaca dalam peta da'wah (Yusuf Qardhawi, 1990). Peta da'wah, bagaimanapun kecilnya, memuat data-data tentang keadaan umat yang akan di ajak tersebut. Bimbingan syara’ mengatakan bahwa al haqqu bi-laa nizham yaghlibuhu al baathil bin-nizam bermakna bahwa yang hak sekalipun, tetapi tidak mengindahkan pengaturan (organisasi) senantiasa akan di kalahkan oleh yang bathil tetapi dijalankan terorganisir. Allah menghendaki kelestarian Agama dengan kemampuan mudah, luwes, elastis, tidak beku dan tidak berlaku bersitegang.

Bahasa Dakwah Adalah Bahasa Kehidupan
Peta da'wah, akan berhasil digunakan di nagari dengan kesepakatan pelaksana-pelaksananya dalam menggalang saling pengertian. Koordinasi sesamanya akan mempertajam faktor-faktor pendukungnya, membuka pintu dialog persaudaraan (hiwar akhawi). Kaedah syara’ akan menjadi pendorong dan anak kunci keberhasilan da'wah untuk menghidupkan adagium adat basandi syara’ syara; basandi Kitabullah.
Aktualisasi dari Kitabullah (nilai-nilai Al-Qur'an) hanya dapat dilihat melalui gerakan amal nyata yang berkesinambungan (kontinyu), dan terkait dengan seluruh segi dari aktivitas kehidupan manusia, -- seperti, kemampuan bergaul, mencintai, berkhidmat, menarik, mengajak (da'wah), merapatkan potensi barisan (shaff) dalam mengerjakan amal-amal Islami secara bersama-sama (jamaah) --, sehinga membuahkan agama yang mendunia.

Usaha inilah yang akan menjadi gerakan antisipatif terhadap arus globalisasi negatif pada abad-abad sekarang, dan sudah semestinya menjadi visi kembali ke surau .
Kitabullah (Al-Qur'an) telah mendeskripsikan peran agama Allah (Islam) sebagai agama yang kamal (sempurna) dan nikmat yang utuh, serta agama yang di ridhai (QS.Al Maidah, 5 : 3), dan menjadi satu-satunya Agama yang diterima di sisi Allah,yaitu Agama Islam (QS. Ali Imran, 3 : 19). Konsekuensinya adalah yang mencari manhaj atau tatanan selain Islam, tidak akan di ridhai ( QS. Ali Imran, 3 : 85). Tidak ada pilihan lain hanya Islam, "Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang menyerahkan dirinya kepada Allah secara ikhlas, yakni orang Muslim, merekapun mengerjakan kebaikan-kebaikan" (QS. An Nisak, 4 : 125). Setiap Muslim, dengan nilai-nilai Kitabullah (Al Qur'an) wajib mengemban missi yang berat dan mulia yaitu merombak kekeliruan ke arah kebenaran. Inilah yang di maksud secara hakiki "perjalanan kepada kemajuan (al madaniyah, modernitas)".

Masalah Dakwah Kedepan

1. Kehidupan pra-globalisasi
Kondisi yang terlihat menggejala di tengah kehidupan masyarakat adalah penerapan pola hidup materialistik dan individualis. Sajian pola kehidupan seperti ini tampak nyata dengan hilangnya tatanan bermasyarakat kebersamaan (kurang bersilaturrahmi).
Akibat nyata yang terasakan ditengah kehidupan bermasyarakat ialah ;
· mulai merenggangnya hubungan kekerabatan,
· hilangnya rasa tanggung jawab bersama,
· pudarnya kegotong royongan, yang selama ini adalah ciri khas budaya bangsa.

2. Kehidupan kaula muda
Tendensi lahirnya generasi yang lemah iman (dhi’aa-fan) berupa hilangnya tamaddun (terlihat pada kebiasaan hidup tak berbudaya). Kaula muda seperti itu cendrungan menjadi “X-Generation”, yakni generasi yang tercerabut dari akar budayanya.
Kondisi ini terlihat nyata pada ;
· kesukaan meniru budaya asing,
· cinta mode barat,
· sering melakukan penggunaan obat terlarang, yang sangat erat kaitannya dengan kebebasan seks
· suka minuman keras dan perjudian,
· budaya sunset, budaya lepak, bolos sekolah,
· suka mengganggu ketenteraman dengan bersikap negatif,
· berkembangnya upaya-upaya pemurtadan terhadap umat yang telah menganut agama Islam, terutama terhadap generasi muda, dengan dalih hak asasi manusia, kebebasan memilih keyakinan, atau upaya terselubung lainnya berbentuk pemberian, hadiah, bantuan LSM, bea siswa

Sepuluh tahun sebelumnya gejala-gejala ini tidak jelas terlihat. Kondisi separah ini merupakan bias dari kemajuan teknologi informasi (IT) disertai melemahnya saringan (filter) di kalangan rumah tangga dan keluarga (tidak berfungsi).

3. Penolakan asas Agama
Dalam kehidupan keyakinan dan faham keagamaan mulai tercemari paham sekularisme dan penerapan paham persamaan hak yang kurang tepat dengan kemasan Hak Asasi Manusia.
Paham persamaan segala manusia dan hak-hak kemerdekaannya memang berasal dari ajaran Agama.
Tetapi oleh karena kepentingan pihak-pihak imperium feodal, sejak Romawi hingga revolusi Perancis, sampai reformasi demokratisasi dan humanisasi melanda belahan bumi.
Perang paham ini senantiasa berujung kepada penolakan asas agama.

4. Konspirasi internasional.
Asas agama sering dijadikan salah satu ujud sasaran tembak dalam pertentangan-pertentangan di antara pemegang kekuasaan dunia, percaturan politik sejagat yang mengarah persekongkolan kekuatan- kekuatan anti agama (persekongkolan kekuatan ini sering bergulir menjadi konspirasi internasional).

Kebenaran bimbingan wahyu Allah dapat disimak dengan sangat jelas dalam percaturan memperebutkan umat diantara kalangan Salibiyah (Christ society) dan Yahudiyah (Lobi Zionis Internasional). Dua kelompok yang tidak pernah berdiam diri, untuk mempengaruhi paham dan pikiran manusia, sampai semua orang bisa mengikuti ajaran (millah) nya.
Sasaran utama lebih di arahkan kepada kelompok-kelompok Muslim sejagat persada. Sasaran utamanya adalah melumpuhkan kekuatan Islam secara sistematik. Berkembangnya citra (imaj) bahwa paham-ajaran Islam adalah musuh bagi kehidupan manusia dan tatanan dunia, merupakan bukti dari hasil uopaya gerakan Salibiy Yahudi ini.

Penerapannya dalam pertentangan-pertentangan kekuatan dunia sering terlihat dengan bingkai ethnic cleansing, penempelan label teroris terhadap gerakan-gerakan dakwah Islam, fundamentalis, radikalisme, keterbelakangan, kurang dapat menyesuaikan gerak dengan kemajuan, adalah merek yang dikenakan terhadap organisasi-organisasi Islam lokal maupun dunia. Pada akhirnya umat Islam menjadi enggan menerima ajaran Islam dalam kehidupan kesehariannya.

Konsepsi Islam dipandang hanya sebatas ritual dan seremonial. Peran konsepsi ajaran Islam dianggap tidak cocok untuk menata kehidupan sosial ekonomi dan politik. bangsa-bangsa. Hubungan manusia secara internasional dinilai tidak pantas di kover oleh ajaran agama Islam.
Adanya pemahaman bahwa ajaran agama hanya bisa di terapkan untuk kehidupan akhirat, bukan untuk tatanan masa kini, merupakan gejala lain dari kehidupan sekuler materialisma. Begitulah suatu warning (peringatan) wahyu, bila mampu dipahami secara jelas tertera dalam Al Quran.[13].

5. Diniyah atau laa diniyah.
Pertentangan pemahaman menerapkan ajaran Islam, akan bermuara kepada memecah umat manusia (firaq) yang pada mulanya telah di ikat oleh kewajiban kerja sama (ta’awun) menjadi dua pihak (diniyah dan laa diniyah).

Satu sama lain, atau kedua-duanya seakan harus berhadapan dalam satu satuan perang yang dipertentangkan secara bengis dan ganas, penuh kecurigaan dan intimidasi, akhirnya memungkiri segala keuatamaan budi manusia.

Bertalian dengan agama lain, semestinya pula umat Islam berpedoman kepada (QS.al-Baqarah 256). Bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Iman diperoleh sebagai rahmat dan karunia Ilahi bukan melalui pemaksaan.

Umat Islam berkewajiban menolak pemahaman kepada adanya permusuhan antara golongan dalam masyarakat yang terkam menerkam serta terlepas dari tali Allah.

6. Hak asasi manusia.
Dalam pergaulan hidup serta tatanan bernegara harus diakui kemerdekaan beragama merupakan hak asasi tiap-tiap orang. Hak asasi ini akan selalu terpelihara dan terjamin, selagi kemerdekaan itu selalu bertumpu kepada terpeliharanya kesopanan umum dan ketertiban negeri.

Hak asasi manusia secara pribadi tetap akan terlindungi adanya dikala setiap pribadi memandang dengan keyakinan sadar bahwa setiap orang memiliki hak untuk tidak berbuat sesuka hati.
Tatkala sesorang dalam mempertahankan hak asasinya mulai bertindak laku dengan tidak mengindahkan hak-hak azasi orang lain disampingnya, maka pada saat yang sama semua hak asasi itu tidak terl;indungi lagi.

Kewajiban asasi untuk tidak melanggar kehormatan orang lain serta kewajiban asasi untuk secara sadar (buikan dengan paksaan) untuk memberikan penghormatan kepada kemerdekaan orang lain, senyatanya adalah bingkai dari hak asasi manusia yang sebenarnya.

Agama Islam yang sangat berperangaruh terhadap budi pekerti dan memberikan semangat kepada segenap bangsa. Kembali kepada “kalimatin sawaa’ antara sesama kita, yaitu tidak akan ada diantara kita yang mau meninggalkan penyembahan kepada Allah Yang Maha Esa.

Bagi bangsa Indonesia, telah terbukti mampu untuk menghidupkan kesadaran akan rasa persamaan dan persaudaraan dalam satu batas kesatuan wilayah Republik Indonesia.[14]

Umat Islam berkewajiban memelihara hubungan horizontal, dalam bentuk pemeliharaan solidaritas sesama manusia.

Islam mengajarkan bahwa seluruh manusia adalah keluarga Allah. “Yang paling disayangi Allah adalah yang paling bermanfaat sesama hidup diantara manusia itu” [15].

Dalam kaedah tatanan bermasyarakat, Islam menetapkan setiap diri wajib memelihara kerukunan serta mempertahankan damai dalam suasana kedamaian.
Umat Islam diperintah untuk selalu membukakan pintu penyelesaian permasalahan sengketa secara damai pula.

Dari itu jangan salah mendasarkan sikap.

Bahwa umat Islam telah dipilih dan dijadikan sebagai umat pertengahan (ummatan wasathan), yang memiliki kewajiban terhadap persatuan dan persaudaraan dunia serta perikemanusiaan.
Karena itu, umat Islam memiliki kewajiban terlebih dahulu untuk menciptakannya dengan memulai dari diri sendiri.

Kewajiban mesti harus lebih dahulu di tunaikan sebelum hak menjadi tuntutan.
Pokok-pokok pemahaman ini menjadi landasan dari hasil penerapan ajaran agama Islam untuk bisa terpeliharanya dan terlaksananya penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.

7. Kehidupan konsumerisme
Berbelanja tanpa takaran selalu memancing keluarga, terutama masyarakat lapis bawah yang adalah grass root dan menjadi akar serabut masyarakat kepada pemborosan yang pada gilirannya terlihat pada ;
· terikat kepada hutang (kredit lunak berbunga besar)
· rusak kerukunan bermasyarakat,
· hilangnya ketenteraman,
· timbulnya penipuan, pemalsuan, perampokan, pembunuhan, dan,
· berbagai tindakan kriminal.
· pemurtadan aqidah, karena yang kuat akan selalu memakan yang lemah, pada akhirnya patriotisme berbangsa dan bernegara mulai terasa hilang.
· Agama Islam menyebutkan bahwa “kekafiran itu seringkali datang karena kefakiran”.
· krisis akhlaq mulai menjangkiti masyarakat desa, tersebab mulai menjauhnya umat dari bimbingan agama, melemahnya tabligh, pengajian, majlis ta’lim, dan mulai lengangnya masjid dan langgar, orang tua enggan memasukkan anak-anaknya kesekolah-sekolah agama.

8. Proyek modernisasi barat
Akibat dari runtuhnya kekuasaan gereja, terutama di belahan dunia barat, telah menggeser pandangan masyarakat yang semula akrab dengan perpegangan agama menjadi condong kearah pengkejaran kepada memenuhi keperluan-keperluan lahiriah dengan mengabaikan kebutuhan rohaniah melalui tindakan-tindakan pengabaian prinsip-prinsip moral yang lazim berlaku, dan acapkali berakhir dengan lenyapnya kebahagiaan atau lumpuhnya pertumbuhan jiwa manusia.
Kehilangan perpegangan kepada ajaran agam tambah diperburuk setelah Komunis runtuh di Rusia (1990), Krisis Rohani Barat ber gerak cepat dengan melakukan perubahan berupa "proyek Modernisasi". Pakar Teoritis Barat mulai ragu dengan hipotesa-hipotesa mereka.
Barat sedang di jangkiti keimanan terhadap tuhan baru "developmentalisme" yang berkembang terus subur.
Keperluan manusia kepada tuhan menyebabkan mereka mencari-cari tuhan kemana saja, padahal pemikian menafikan tuhan adalah sama dengan meniadakan keberadaan manusia dan alam kehidupan manusia. "Hingga batas manapun pemikiran tidak adanya tuhan tidak dapat diterima"[16].

Menjauh dari ajaran agama menampilkan keganjilan-keganjilan dalam tingkah laku manusia, seperti terlihat pada (a). Mencari agama khusus di supermarket, (b). Memperturutkan kehendak hawa nafsu merebut kelezatan hidup (hedonistik), (c). Neo paganisma, skeptisme, atheisme, rasialisme, penyembahan berhala baru berupa kokain, materialisme, dan konsumerisme total, (d).Menciptakan kemajuan yang dibangun diatas perbedaan ras, dan kelas penguasa, (e). Mayoritas penduduk dunia, mulai membatasi pandangan hakikat permasaalah sebatas pencapaian panca indera. (f). Agama dalam pandangan kalangan materialistik adalah khurafat, opium bangsa, bahaya persatuan, tanda penipuan diri, kelemahan logika (= politik atheisme aktif).

Bila umat Islam terbias oleh pandangan proyek modernisasi barat dengan meninggalkan pemahaman ajaran Islam yang dianut selama ini, maka ucapan Mohammad Abduh "Islam telah meninggalkan dunia Islam, karena walaupun ditemui banyak umat Islam, tetapi hanya sedikit di dapati pengamal agama (syari'at) Islam", tentu akan menjadi kenyataan.


9. Dekandensi Moral
Krisis dekadensi moral yang melanda tatanan pergaulan dunia berbentuk meningkatnya tindak krimanilitas, kecanduan alkohol, obat bius, penyimpangan-penyimpangan hubungan sexual, perlakuan buruk terhadap anak-anak, naiknya tingkat perceraian, free-will, penghormatan terhadap nilai orang tua sangat merosot, semuanya itu pasti berpengaruh besar kedepan.
Krisis moral ini akan menjadi kerugian generasi mendatang.

Krisis ini diperparah oleh jiwa skeptis, blok-blok rasialisme. Chauvinisme abad XIX mulai berkembang kembali. Penghancuran manusia melalui peperangan dan percobaan nuklir, dan penggunaan bahan bakar yang berlebihan, telah merampas kenikmatan dan kenyamanan hidup di dunia.

Nafsu hedonisme pada akhirnya menjadikan dekadensi moral menguras kekuatan, dan tidak mungkin memberikan nilai-nilai komprehensif kepada manusia.


Memperkuat Posisi Nagari
Tugas kembali kenagari, sesungguhnya adalah menggali kembali potensi dan asset nagari – yang terdiri dari budaya, harta, manusia, dan agama anutan anak nagari --, karena apabila tidak digali, akan mendatangkan kesengsaraan baru bagi masyarakat nagari itu. Dimulai dengan memanggil potensi yang ada dalam unsur manusia, masyarakat nagari.
Kesadaran akan benih-benih kekuatan yang ada dalam diri masing-masing, untuk kemudian observasinya dipertajam, daya pikirnya ditingkatkan, daya geraknya didinamiskan , daya ciptanya diperhalus, daya kemauannya dibangkitkan, dengan menumbuhkan atau mengembalikan kepercayaan kepada diri sendiri. “Handak kayo badikik-dikik, Handak tuah batabua urai, Handak mulia tapek-i janji, Handak luruih rantangkan tali, Handak buliah kuat mancari, Handak namo tinggakan jaso, Handak pandai rajin balaja. Dek sakato mangkonyo ado, Dek sakutu mangkonyo maju, Dek ameh mangkonyo kameh, Dek padi mangkonyo manjadi.”.

Tujuannya sampai kepada taraf yang memungkinkan untuk mampu berdiri sendiri dan membantu nagari tetangga secara selfless help, dengan memberikan bantuan dari rezeki yang telah kita dapatkan tanpa mengharap balas jasa, "Pada hal tidak ada padanya budi seseorang yang patut dibalas, tetapi karena hendak mencapai keredhaan Tuhan-Nya Yang Maha Tinggi". (Q.S. Al Lail, 19 - 20). Walaupun di depan terpampang kendala-kendala, namun optimisme banagari mesti selalu dipelihara, “Alah bakarih samporono, Bingkisan rajo Majopahik, Tuah basabab bakarano, Pandai batenggang di nan rumik”.
Sebagai masyarakat beradat dengan pegangan adat bersendi syariat dan syariat yang bersendikan Kitabullah, maka kaedah-kaedah adat dipertajam makna dan fungsinya oleh kuatnya peran surau yang memberikan pelajaran-pelajaran sesuai dengan syara’ itu, antara lain dapat di ketengahkan ;

1. Mengutamakan prinsip hidup berkeseimbangan
Karena ni’mat Allah, sangat banyak. “Dan jika kamu menghitung-hitung ni’mat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi maha Penyayang” (QS.16, An Nahl : 18). Hukum Syara’ menghendaki keseimbangan antara perkembangan hidup rohani dan jasmani ; "Sesungguhnya jiwamu (rohani-mu) berhak atas kamu (supaya kamu pelihara) dan badanmu (jasmanimu) pun berhak atasmu supaya kamu pelihara" (Hadist). Keseimbangan tampak dalam mewujudkan kemakmuran di ranah ini, “Rumah gadang gajah maharam, Lumbuang baririk di halaman, Rangkiang tujuah sajaja, Sabuah si bayau-bayau, Panenggang anak dagang lalu, Sabuah si Tinjau lauik, Birawati lumbuang nan banyak, Makanan anak kamanakan. Manjilih ditapi aie, Mardeso di paruik kanyang.
Sesuai bimbingan syara’, "Berbuatlah untuk hidup akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok dan berbuatlah untuk hidup duniamu, seolah-olah akan hidup selama-lamanya" (Hadist).


2. Kesadaran kepada luasnya bumi Allah, merantaulah !
Allah telah menjadikan bumi mudah untuk digunakan. Maka berjalanlah di atas permukaan bumi, dan makanlah dari rezekiNya dan kepada Nya lah tempat kamu kembali.
“Maka berpencarlah kamu diatas bumi, dan carilah karunia Allah dan (di samping itu) banyaklah ingat akan Allah, supaya kamu mencapai kejayaan", (QS.62, Al Jumu’ah : 10). Agar supaya “jangan tetap tertinggal dan terkurung dalam lingkungan yang kecil”, dan sempit (QS.4, An Nisak : 97). Karatau madang di hulu babuah babungo balun. Marantau buyuang dahulu di rumah paguno balun.
Ditanamkan pentingnya kehati-hatian, “Ingek sa-balun kanai, Kulimek sa-balun abih, Ingek-ingek nan ka-pai, Agak-agak nan ka-tingga”.


3. Mencari nafkah dengan "usaha sendiri"
Memiliki jati diri, self help dengan tulang delapan kerat dengan cara amat sederhana sekalipun "lebih terhormat", daripada meminta-minta dan menjadi beban orang lain, "Kamu ambil seutas tali, dan dengan itu kamu pergi kehutan belukar mencari kayu bakar untuk dijual pencukupkan nafkah bagi keluargamu, itu adalah lebih baik bagimu dari pada berkeliling meminta-minta". (Hadist).
Membiarkan diri hidup dalam kemiskinan tanpa berupaya adalah salah , "Kefakiran (kemiskinan) membawa orang kepada kekufuran (ke-engkaran)" (Hadist).

4. Tawakkal dengan bekerja dan tidak boros.
Tawakkal, bukan "hanya menyerahkan nasib" dengan tidak berbuat apa-apa, "Bertawakkal lah kamu, seperti burung itu bertawakkal" (Atsar dari Shahabat). Tak ada kebun tempat bertanam, tak ada pasar tempat berdagang. Tak kurang, setiap pagi terbang meninggalkan sarangnya dalam keadaan lapar, dan setiap sore kembali dalam keadaan "kenyang".


5. Kesadaran kepada ruang dan waktu
Peredaran bumi, bulan dan matahari, pertukaran malam dan siang, menjadi bertukar musim berganti bulan dan tahun, "Kami jadikan malam menyelimuti kamu (untuk beristirahat), dan kami jadikan siang untuk kamu mencari nafkah hidup". (QS.78, An Naba’ : 10-11), menanamkan kearifan akan adanya perubahan-perubahan.
Yang perlu dijaga ialah supaya dalam segala sesuatu harus pandai mengendalikan diri, agar jangan melewati batas, dan berlebihan,
“Ka lauik riak mahampeh, Ka karang rancam ma-aruih, Ka pantai ombak mamacah. Jiko mangauik kameh-kameh, Jiko mencancang, putuih – putuih, Lah salasai mangko-nyo sudah”. Artinya bekerja sepenuh hati, dengan mengerahkan semua potensi yang ada, dengan tidak menyisakan kelalaian ataupun ke-engganan. Tidak berhenti sebelum sampai, dan tidak berakhir sebelum benar-benar sudah.

Konsep Tata ruang yang Jelas
Nagari di Minangkabau berada di dalam konsep tata ruang yang jelas, Basasok bajarami, Bapandam bapakuburan, Balabuah batapian, Barumah batanggo, Bakorong bakampuang, Basawah baladang, Babalai bamusajik. Ba-balai (balairuang atau balai-balai adat) tempat musyawarah dan menetapkan hukum dan aturan, “Balairuang tampek manghukum, ba-aie janieh basayak landai, aie janiah ikan-nyo jinak, hukum adie katonyo bana, dandam agiae kasumaik putuih, hukum jatuah sangketo sudah”.
Ba-musajik atau ba-surau tempat beribadah, “Musajik tampek ba ibadah,tampek balapa ba ma’ana, tampek balaja al Quran 30 juz, tampek mangaji sah jo batal”[17], artinya menjadi pusat pembinaan umat untuk menjalin hubungan bermasyarakat yang baik (hablum-minan-naas) dan terjaminya pemeliharaan ibadah dengan Khalik (hablum minallah), maka adanya balairuang dan musajik (surau) ini menjadi lambang utama terlaksananya hukum[18] dalam “adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah., syara’ mangato adat nan kawi syara’ nan lazim”.


Kedua lembaga ini – balai adat dan surau – keberadaannya tidak dapat dipisah dan dibeda-bedakan, karena “Pariangan manjadi tampuak tangkai, pagarruyuang pusek Tanah Data, Tigo luhak rang mangatokan. Adat jo syara’ jiko bacarai, bakeh bagantuang nan lah sakah, tampek bapijak nan lah taban”. Apabila kedua sarana ini telah berperan sempurna, maka akan ditemui di kelilingnya tampil kehidupan masyarakat yang memiliki akhlaq perangai yang terpuji, dan mulia (akhlaqul-karimah) itu, “Tasindorong jajak manurun, tatukiak jajak mandaki, adaik jo syara’ kok tasusun, bumi sanang padi manjadi”.

Konsep tata-ruang ini adalah salah satu kekayaan budaya yang sangat berharga di nagari dan bukti idealisme nilai budaya di Minangkabau, termasuk di dalam mengelola kekayaan alam dan pemanfaatan tanah ulayatnya, “Nan lorong tanami tabu, Nan tunggang tanami bambu, Nan du’atn buek kaparak, Nan bancah jadikan sawah, Nan munggu pandam pakuburan, Nan gauang katabek ikan, Nan padang kubangan kabau, Nan rawang ranangan itiak”. Tata ruang yang jelas memberikan posisi peran pengatur, pemelihara dan pendukung sistim banagari yang terdiri dari orang ampek jinih (ninik mamak[19], alim ulama[20], cerdik pandai[21], urang mudo[22], bundo kanduang[23]).
Dengan demikian, terlihat bahwa nagari di Minangkabau tidak hanya sebatas pengertian ulayat hukum adat namun yang lebih mengedepan dan paling utama adalah wilayah kesepakatan antar berbagai komponen masyarakat di dalam nagari dengan spiritnya adalah ;

a. kebersamaan (sa-ciok bak ayam sa-danciang bak basi), ditemukan dalam pepatah “Anggang jo kekek cari makan, Tabang ka pantai kaduo nyo, Panjang jo singkek pa uleh kan, mako nyo sampai nan di cito.”

b. keterpaduan (barek sa-pikua ringan sa-jinjiang) atau “Adat hiduik tolong manolong, Adat mati janguak man janguak, Adat isi bari mam-bari, Adat tidak salang ma-nyalang”. Basalang tenggang, artinya saling meringankan dengan kesediaan memberikan pinjaman atau dukungan terhadap kehidupan dan “Karajo baiak ba-imbau-an, Karajo buruak bahambau-an”.

c. musyawarah (bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mupakat), dalam kerangka “Senteng ba-bilai, Singkek ba-uleh, Ba-tuka ba-anjak, Barubah ba-sapo”

d. keimanan kepada Allah SWT menjadi pengikat spirit yang menjiwai sunnatullah dalam setiap gerak mengenal alam keliling, “Panggiriak pisau sirauik, Patungkek batang lintabuang, Satitiak jadikan lauik, Sakapa jadikan gunuang, Alam takambang jadikan du’at ”. Alam di tengah-tengah mana manusia berada ini, telah diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan terkandung padanya faedah-faedah kekuatan, dan khasiat-khasiat yang diperlukan untuk memperkembang dan mempertinggi mutu hidup jasmani manusia, dengan keharusan berusaha membanting tulang dan memeras otak untuk mengambil sebanyak-banyak faedah dari alam sekelilingnya itu, menikmatinya, sambil mensyukurinya, dan beribadah kepada Ilahi.

e. kecintaan kenagari adalah perekat yang sudah dibentuk oleh perjalanan waktu dan pengalaman sejarah.[24] Menjaga dari pada melewati batas-batas yang patut dan pantas, jangan terbawa hanyut materi dan hawa nafsu yang merusak. Suatu bentuk persembahan manusia kepada Maha Pencipta, menghendaki keseimbangan antara kemajuan dibidang rohani dan jasmani. “Jiko mangaji dari alif, Jiko babilang dari aso, Jiko naiak dari janjang, Jiko turun dari tango”.

Sikap hidup (attitude towards life) sedemikian, menjadi sumber pendorong kegiatan penganutnya, juga di bidang ekonomi, dengan tujuan terutama untuk keperluan-keperluan jasmani (material needs). Hasilnya tergantung kepada dalam atau dangkalnya sikap hidup tersebut berurat dalam jiwa masyarakat nagari dan kepada tingkat kecerdasan yang telah dicapai.

Catatan :
[1] motivation of force
[2] borderless
[3] permissivisme
[4] anarkisme
[5] Lihat juga QS.Al Baqarah (2) ayat 257; QS.Al Maaidah (5) ayat 16; QS.Al Hadid (57) ayat 9; QS.Ath-Thalaq (65) ayat 11.

[6] QS.Al Maidah (5) ayat 67.
[7] QS.3:104.
[8] Rasulullah mencontohkan hidup ini seperti sebuah pelayaran diatas perahu, dengan aturan-atuiran yang terang. Tatkala seorang penumpang mencoba melobangi dinding perahu untuk mendapatkan air dengan cepat pada tempat duduknya, jangan dibiarkan saja perbuatan itu. Bila orang tak mau tahu dan bersikap membiarkan perbuatan itu, maka yang akan karam tidak hanya yang melobangi perahu semata, tetapi yang diam melihat (artinya enggan melaksanakan peran amar makruf) akan karam juga (Al Hadist).
[9] QS.Fush-shilat (41) ayat 33.
[10] QS.Ali Imran (3) ayat 112.
[11] QS.Al Anbiya’ (21) ayat 107.
[12] Diperlukan watak-watak, yang ditunjukkan oleh penda'wah pertama, Rasulullah SAW (Mohammad Natsir, Tausiyah 24 tahun Dewan Da’wah, Media Da’wah, Jakarta 1992, Da'wah kita adalah Da'wah Ila-Allah).

[13] (lihat QS. Al-Baqarah 120)
[14] Maka umat Islam di Indonesia mempunyai tugas sebagai pendukung risalah yang patut dan pantas dengan membulatkan semua tenaga, mengerahkan semua benda, menyatukan pemikiran untuk kemashalahatan umat banyak.
Bagi perjuangan politik dari kebanyakan partai politik di Indonesia yang tidak berdasarkan agama, sebenarnya selalu berisikan segmen keanggotaannya adalah penganut agama Islam juga.
Secara pasti penganut agama Islam dalam partai-partai yang tidak berdasarkan agama itu, tentulah akan selalu bersetuju melaksanakan perintah-aturan agamannya. Karena dalam kenyataannya, tidak akan pernah di temui adanya satu nilai yang mampu di letakkan diluar asas ajaran agama dalam melalui siklus kehidupan sehari-hari..
Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan oleh setiap warga negara Indonesia dengan kesadaran mendalam.
Kemerdekaan negara kesatuan ini adalah merupakan rahmat dan karunia Allah atas dasar “kalimatin sawa”, kata persamaan untuk segenap golongan bangsa.

[15] Al Hadist asy-Syarif.
[16] Richard Swanburn, Oxford,Wujud Allah, 1979
[17] Memang di surau tidak ada yang dapat di cari benda-benda (materi), kecuali hanya bekal ilmu, hikmah dan kepandaian-kepandaian untuk mengharungi hidup di dunia ini, dan dalam mempersiapkan hidup di akhirat. Sebagai terungkap di dalam Peribahasa Minangkabau, “bak batandang ka surau”, karena memang surau tak berdapur (Anas Nafis, 1996:464 -Surau-2).
[18] Oleh H.Idrus Hakimy Dt. Rajo Pengulu dalam Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, menyebutkan kedua lembaga – balairung dan mesjid – ini merupakan dua badan hukum yang disebut dalam pepatah : “Camin nan tidak kabuah, palito nan tidak padam” (Dt.Rajo Pengulu, 1994 : 62).
[19] Penghulu pada setiap suku, yang sering juga disebut ninik mamak nan gadang basa batuah, atau nan di amba gadang, nan di junjung tinggi, sebagai suatu legitimasi masyarakat nan di lewakan.
[20] Bisa juga disebut dengan panggilan urang siak, tuanku, bilal, katib nagari atau imam suku, dll dalam peran dan fungsinya sebagai urang surau pemimpin agama Islam. Gelaran ini lebih menekankan kepada pemeranan fungsi ditengah denyut nadi kehidupan masyarakat (anak nagari).
[21] Bisa saja terdiri dari anak nagari yang menjabat jabatan pemerintahan, para ilmuan, perdu’atan tinggi, hartawan, dermawan.
[22] Para remaja, angkatan muda, yang dijuluki dengan nan capek kaki ringan tangan, nan ka disuruah di sarayo.
[23] Kalangan ibu-ibu, yang sesungguhnya ditangan mereka terletak garis keturunan dalam sistim matrilinineal dan masih berlaku hingga saat ini, lebih jelasnya di ungkap di dalam Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang di Minangkabau, adalah menjadi “limpapeh rumah nan gadang,umbun puruak pegangan kunci, pusek jalo kumpulan tali, sumarak dalam nagari, nan gadang basa batuah” (Idrus Hakimy, 1997 : 69 – 116)
[24] Bukti kecintaan kenagari ini banyak terbaca dalam ungkapan-ungkapan pepatah hujan ameh dirantau urang hujang batu dinagari awak, tatungkuik samo makan tanah tatilantang samo mahiruik ambun.

Tidak ada komentar: