Selasa, 20 Maret 2012

Menjadi Pemimpin menurut Prinsip Madaniyah


Sebenarnya seorang pemimpin pelopor penggerak pembangunan memikul beban menghidupkan dapur masyarakatnya dengan sungguh-sungguh.

Kebahagiaan tertinggi seorang pemimpin tatkala dapat menghidupkan salah satu dari ribuan dapur yang senantiasa berasap karena usahanya. Tak ada bahagia dalam kekenyangan sepanjang malam, bila si-jiran setiap akan tidur diiringi lapar (al Hadist).

Semestinya di pahami apa yang terkandung dalam kalimat-kalimat sederhana, menyesuaikan ikrar dengan ucapan, menyelaraskan perencanaan dengan pelaksanaan, menyamakan harapan dengan kenyataan, memerlukan kesungguhan gerak disamping gagasan. Apa yang diucapkan oleh lidah dan tergores dalam hati dapat dijadikan bimbingan untuk menerjemahkan kesetiaan kepada kalangan bawah (dhu’afak) kaum lemah melalaui perlakuan nyata dalam amal perbuatan.

Tujuan akhir yang lebih mulia adalah mencari keridhaan Allah jua, Moga-moga, Amin.

Proses mempertinggi kesejahteraan hidup dhu’afak, adalah rangkaian gerbong yang erat terkait dengan proses pembangunan ekonomi bangsa. Proces geraknya bisa dipercepat. Ada undang-undang bajanya sendiri, yang tak dapat tidak, harus dijalani, yang umumnya bersifat natuurlijk (alami dan sunnatullah), yaitu faktor manusia yang terikat erat dengan adat kebiasaan. Karena sering dilupakan, akhir kesudahannya menanggung akibat-akibat yang mengecewakan.

Andai kata faktor kebiasaan masyarakat sengaja dilupakan maka nasibnya tak ubah dari nasib induk ayam menetaskan telor itik. Akibat langsung adakalanya program tidak jalan, pemborosan disegala sektor, malah didapati tindakan yang wasted (mubazir).

Dalam setiap proses pembangunan keummatan (ummatisasi) tidak selalu harus ditilik dari sudut efisiensi dan rendemen ekonomis semata, tetapi perlu ada pemahaman mendalam kedalam lubuk hati serta kemauan pada diri ummat secara individu ataupun kelompok yang akan dibawa serta dalam proses pembangunan itu..

Agama Islam berdasar al Quran berperan multifungsi, “mengeluarkan manusia dari sisi gelap kealam terang cahaya (nur). Bila Islam tidak diamalkan dari inti nilai-nilai dasar (basic of value) Dinul Islam, atau hanya sebatas kulit luar berupa ritual ceremonial, maka ummat ini tidak akan berkemampuan bertarung di tengah perkembangan dunia global pada abad keduapuluh satu mendatang. Masyarakat yang lalai senang menerima, suka menampung dan menagih apa-apa yang tidak diberikan orang, cenderung menjadi bangsa pengemis yang kesudahannya membawa bangsa ini bertungkus lumus (terjerumus) kepada penggadaian menjual diri, dan tampillah pelecehan nilai-nilai bangsa.

Dinul Islam menyimpan rahasia besar “gerakkan tanganmu, Allah akan menurunkan untukmu rezeki”[1]. Nilai ajaran dinul Islam melahirkan masyarakat proaktif menghadapi berbagai keadaan sebagai suatu realitas perbaikan kearah peningkatan mutu masyarakat. Abad kedepan akan banyak berperan masyarakat berbasis ilmu pengetahuan (knowledge base society), berbasis budaya (culture base sociaty) dan berbasis agama (religious base society). Peran terbesar para intelektual aktif menata ulang masyarakat dengan nilai-nilai kehidupan berketuhanan dan bertamaddun sebagai mata rantai tadhamun al Islami (modernisasi, pengenalan Islam ketengah peradaban manusia). Peran ini penting untuk menggiring masyarakat Indonesia ini menuju masyarakat madaniyah (maju, beradab). [2]

Kemerosotan nilai-nilai ini menjadi penyebab berjangkitnya penyakit mental yang kronis, hilangnya pegangan hidup, kaburnya kebahagian yang di dambakan, Ilmu pengetahuan, sains, teknologi yang dikejar-kejar dengan mengorbankan banyak materi, tidak jarang memenjarakan manusia dalam kekosongan jiwa yang akut.

Keberhasilan kemajuan materi dan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi ini, dibarengi hilangnya pegangan hidup berujung dengan kehidupan kehilangan arah. Kesudahannya, terperosok kedalam lingkaran tak berujung pangkal (viceuse circle) ditengah siklus materialis individualis (dahriyyin) akhirnya berkembang menjadi sekuler atheistis.

Suatu individu bahkan kelompok yang kehilangan pegangan hidup, walau secara lahiriyah kaya materi tetapi miskin mental spiritual, ber-peluang besar terperosok kedalam tingkah yang tidak mencerminkan nilai-nilaii kemanusiaan. Kerapkali pula terperangkap kepada menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan sendiri, dan berperan aktif menukar nilai kehidupan diluar nilai kemanusiaan. Ironis dan tragis, apalagi kalau menjangkiti kelompok umat yang disebut muslim pula.

Pikiran yang hanya terfokus kepada pencemaran lingkungan ekosistim, dengan melupakan pencemaran nilai ruhaniah manusia akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup manusia. Kurangnya perhatian kepada perusakan lingkungan moral dan akhlak manusia, justru sangat berperan lebih merusak generasi manusia itu. Bahayanya lebih parah dari kerusakan lingkungan (ekosistim). Perusakan lingkungan moral hanya dapat diantisipasi dengan kembali kepada paradigma tauhid. [3]

Maksimalisasi dari seluruh daya pikir, daya cipta, daya upaya, adalah modal dasar yang secara adil dimiliki setiap manusia yang hidup. Modal dasar ini perlu diasah dengan ilmu pengetahuan dan perlu diasuh dengan kecermatan dan kerajinan, serta terjauh dari watak syaithaniyah yaitu lalai, lengah dan angkuh (sombong). Dinamisasi sikap hidup berlandaskan keyakinan tauhid akan sangat menentukan bentuk-bentuk lahir maupun bathin dari karya-karya (amal) manusia. Motivasi dari amaliah ini bertumpu kepada paradigma tauhid yang benar.

Menempatkan tauhid sebagai landasan berpikir, beramal, bertindak, serta menjadikan paradigma tauhid ini sebagai pijakan, dalam seluruh aspek kehidupan, politik, ekonomi, sosial, budaya, akan terjalinkan hubungan vertikal yang substansial langgeng berketerusan (sustained) antara makhluk dengan Khalik. Secara aktual tampak pada gerak yang ikhlas, prilaku tawadhuk, upaya yang tawakkal dan amalan usaha mencari redha Allah.

Paradigma tauhid, merupakan suatu gelombang revolusi keyakinan dalam menghadapi kenyataan-kenyataan hidup manusia yang multi aspek, telah di gulirkan oleh Nabi Muhammad Rasulullah SAW. Sebenarnya, hasil utama dari revolusi paradigma Laa ilaha illa Allah, senyatanya yang mampu mewujudkan “rahmatan lil-‘alamin”, atau tatanan kebahagian dan rahmat untuk seluruh alam ini. Insya Allah.



[1] Ungkapan Umar bin Khattab RA, kepada seorang pemuda yang hanya mendoa dibawah naungan Ka’bah adalah;Harrik yadaka unzil ‘alaika ar-rizqa”. (al atsar).

[2] Sebagai catatan, kata-kata madani belum ada dalam kamus bahasa Indonesia. Bukan berarti bahwa masyarakat madani adalah “masyarakat yang belum ada dalam kamus”. Atau masyarakat guyon, madaniyee. Mada, berarti bengal, tak mau di ajar, bhs.Minang, atau “pahit” bhs Kawi. Tetapi, masyarakat Madani adalah masyarakat maju dengan basic ilmu pengetahuan, kultur dan agama (Akidah tauhid) yang benar.

[3] Nabi Muhammad SAW, mengingatkan perintah Allah Yang Maha Menjadikan “Janganlah berbuat perusakan (fasad) di bumi, Allah tidak suka kepada pembuat kerusakan” (al Quran).

Tidak ada komentar: