Minggu, 17 Agustus 2008

Mohamad Natsir menurut tulisan Peneliti LIPI di Kompas

Supaya lebih jelas dan tidak keliru atas tulisan Asvi Warman Adam saya
postingkan tulisannya di kompas tanngal 17 Juli 2008 , diambil dari
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/17/00452911/natsir.pahlawan

----


Natsir Pahlawan Nasional Jul 20, '08 10:25 AM

Oleh Asvi Warman Adam

Tanggal 17 Juli 2008, tepat 100 tahun kelahiran Mohammad Natsir. Kali
ini, peringatan tidak hanya mengenang pemikiran dan kepribadian tokoh
yang bersih dan konsisten, tetapi ada usul untuk mengangkatnya sebagai
pahlawan nasional.

Mohammad Natsir berjasa mengembalikan bentuk pemerintahan federal
menjadi negara kesatuan. Ia yang prihatin dengan proses disintegrasi
negara-bangsa berpidato pada sidang DPR Republik Indonesia Serikat
(RIS) tanggal 3 April 1950 yang dikenal sebagai Mosi Integral Natsir.

Negara kesatuan

Ia mengusulkan agar RIS melebur kembali menjadi negara kesatuan
Republik Indonesia. Atas jasanya, Soekarno meminta Natsir untuk
membentuk kabinet yang pertama dari negara kesatuan Republik Indonesia
(1950-1951). Dalam pemilu pertama 1955, ia berprestasi memimpin
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) meraih suara nomor dua
terbanyak setelah PNI (Partai Nasional Indonesia).

Jika kita berbicara tentang etika politik, itu sudah ditunjukkan
Natsir. Ia bisa berdebat sengit dengan Ketua PKI DN Aidit di dalam
sidang, setelah itu berbincang ringan sambil meminum secangkir kopi.
Kehidupan yang asketis juga dijalani politikus Muslim kaliber
internasional ini.

Bila kita kini melihat mobil- mobil mewah diparkir di pelataran gedung
DPR, Natsir menolak ketika seorang pengusaha memberi hadiah sebuah
mobil Chevrolet Impala yang saat itu tergolong mentereng. Padahal, di
rumahnya hanya ada sebuah mobil tua, De Soto.

Ia berpolitik secara santun dan berdakwah tanpa kekerasan. Ia
politikus yang hidup bersahaja. Ia santun terhadap Soekarno dan
bersikap correct terhadap Soeharto. Pada awal Orde Baru ia berjasa
mengirim nota kepada Tunku Abdurrachman dalam rangka pencairan
hubungan diplomatik dengan Malaysia.

Ia mengontak Pemerintah Kuwait agar mau menanamkan modal di Indonesia
dan meyakinkan pemerintahan Jepang tentang kesungguhan Orde Baru
membangun ekonomi. Ironisnya, imbalan yang diberikan penguasa adalah
larangan baginya untuk kembali ke pentas politik.

Pahlawan nasional?

Masalahnya, layakkah ia diangkat sebagai pahlawan nasional? Dalam
kriteria pahlawan nasional ada klausul, orang itu tidak pernah cacat
dalam perjuangannya. Selama Orde Baru kriteria itu digunakan tanpa
ukuran yang jelas. Kabarnya Sanusi Hardjadinata, tokoh PNI, mantan
Menteri era Soekarno dan Gubernur Jawa Barat saat berlangsung
Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955, ditolak menjadi
pahlawan nasional karena pernah menandatangani Petisi 50.

Alasan itu terasa berlebihan karena petisi yang dikeluarkan 50 tokoh
nasional tahun 1980 itu merupakan sikap kritis atas pernyataan
Presiden Soeharto yang otoriter terhadap mereka yang mencoba mengubah
Pancasila dan UUD 1945. Natsir menandatangani petisi itu, juga Sanusi
Hardjadinata, Hugeng, Ali Sadikin, SK Trimurti, dan banyak tokoh lain.
Alasan ini seyogianya tidak digunakan untuk menolak pencalonan
pahlawan nasional.

Petisi jelas berbeda dengan pemberontakan, meskipun Soeharto
menanggapi dengan tindak kekerasan senada. Sebenarnya, yang
memberatkan Natsir adalah keterlibatannya dalam Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958 dan meningkat dengan
pembentukan Republik Persatuan Indonesia (RPI) tahun 1960 yang terdiri
dari 10 negara bagian seperti Republik Islam Aceh dan Republik Islam
Sulawesi Selatan (Audrey dan George Kahin, 1997: 381)

Sjafruddin Prawiranegara

Tahun lalu, Sjafruddin Prawiranegara juga diproses sebagai calon
pahlawan nasional. Namanya lolos seleksi Badan Pembina Pahlawan Pusat.
Namun, usulan ini kandas di tangan Presiden. Tampaknya keterlibatan
Sjafruddin Prawiranegara dalam sebuah pemberontakan tetap tidak bisa
ditolerir kepala negara.

Padahal, Sjafruddin Prawiranegara memiliki jasa besar terhadap negara.
Apa jadinya Indonesia bila Sjafruddin tidak memimpin Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI), pemerintahan gerilya yang bergerak
di Sumatera. Tentu terjadi kevakuman pemerintahan, atau republik
mengalami mati suri sesaat.

Saat ini, pemerintah hanya menetapkan terbentuknya PDRI sebagai hari
bela negara. Selain bintang jasa tertinggi yang diterima, namanya
diabadikan pada dua gedung yang berseberangan di Jl Budi Kemuliaan
Jakarta (di kompleks Bank Indonesia dan satu lagi di Departemen
Pertahanan karena Sjafruddin pernah memimpin kedua instansi ini).

Warga Minangkabau tentu bangga bila pemangku adat Mohammad Natsir yang
bergelar Datuk Sinaro Panjang menjadi pahlawan nasional. Namun, bila
ketentuan menegaskan, tokoh yang terlibat pemberontakan tidak memenuhi
syarat, dengan jiwa besar harus menerimanya. Bukankah Natsir telah
mendapat penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana yang
diberikan semasa pemerintahan Habibie. Meski itu bukan gelar pahlawan
nasional, biarlah asketisme hidupnya senantiasa dikenang masyarakat
dan kebersahajaan beliau menjadi contoh bagi kita semua terutama para
pemimpin di negeri ini.

Asvi Warman Adam Ahli Peneliti Utama LIPI

Ekonomi dalam gagasan Mohamad Hatta cocok dengan zaman kini

12/08/08 23:27
Sistem Ekonomi Bung Hatta Cocok dengan Kondisi Saat Ini

Jakarta (ANTARA News) - Sistem Ekonomi yang diusung oleh proklamator
Indonesia Muhammad Hatta masih cocok dengan kondisi saat ini bahkan bisa
menjawab kesejahteraan bagi rakyat kecil.

Hal tersebut diungkapkan oleh Anwar Abbas, pengarang buku "Bung Hatta dan
Ekonomi Islam, Pergulatan Menangkap Makna Keadilan dan Kesejahteraan" dalam
peluncuran buku tersebut di Jakarta, Selasa.

Anwar melihat sistem perekonomian global dan Indonesia belum dan semakin
tidak berpihak kepada rakyat miskin.

"Stiglitz (pemenang nobel Joseph E Stiglitz) mengatakan sistem ekonomi hari
ini kurang berpihak kepada rakyat miskin karena itu perlu sistem ekonomi
alternatif," kata Dosen Ekonomi Islam Fakultas Syariah Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Anwar mengatakan sistem ekonomi yang diusung Bung Hatta bisa menjawab hal
itu.

"Bagaimana pemerintah mempunyai komitmen menyelenggarakan ekonomi
berkeadilan dan bisa menyejahterakan rakyat. Saya lihat pemerintah sudah
berusaha tapi tidak maksimal," kata Ketua Majelis Ekonomi Pengurus Pusat
Muhammadiyah itu.

Anwar melihat apabila pemerintah benar-benar menerapkan sistem perekonomian
seperti pada Pasal 27, Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945 maka kesejahteraan
rakyat bisa tercapai.

"Fenomena perekonomian saat ini egoistik dan individualistik sehingga
keragaman, kebersamaan dan persatuan tidak tercapai," kata Sekretaris
Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu.

Pemikiran ekonomi Hatta secara substansial dapat dinilai sejalan atau
paralel dengan konsep Islam terutama dilihat dari sisi falsafah, tujuan
nilai-nilai dasar dan nilai instrumentalnya.

Oleh karena itu pemikiran ekonomi Hatta bisa dilihat sebagai salah satu
bagian dalam pemikiran ekonomi Islam.

Anwar mengatakan disertasinya tersebut memperkuat kesimpulan dari Nurcolish
Majid dan Sri Edi Swasono yang melihat sosok Bung Hatta sebagai sosok yang
religius.

"Sehingga kedua tokoh ini mempertanyakan kesimpulan yang menyatakan bahwa
Hatta adalah seorang nasionalisme atau muslim sekuler seperti dikemukakan TH
Sumartana dan Ricklets dan Endang Saifuddin," kata Anwar.

Anwar mengatakan bahwa Sri Edi Swasono mengungkapkan pemikiran ekonomi yang
dikembangkan Hatta terkait pada tauhid keislaman yang berdasar hakekat
kehidupan bangsa ataupun manusia.

"Hatta melihat bahwa alam semesta termasuk harta kekayaan milik Allah oleh
karena itu ekonomi harus menjunjung nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan
dengan mengaplikasikan.(*)

COPYRIGHT C 2008
http://www.antara.co.id/arc/2008/8/12/sistem-ekonomi-bung-hatta-cocok-dengan
-kondisi-saat-ini/

SIMALANCA yang ditulis oleh Wisran Hadi

SIMALANCA
Oleh:
Wisran Hadi

Tokoh legendaris yang cerdik, licik, galir dan prolifik di dalam cerita rakyat Minangkabau namanya Si Malanca. Dia bisa jadi apa saja (sekarang mungkin dapat dipadankan dengan Gubernur, Bupati atau Walikota).

Si Malanca memang hebat, terutama dalam menyelami watak warganya. Menurut Si Malanca, setiap warga harus didengar keluhan, kritik atau saran-sarannya. Karena bagi warga itulah yang penting yaitu berbicara di depan Si Malanca. Setelah mereka bicara, selanjutnya mereka dengan bangga akan bicara pula di warung dan lepau; “Lah den kecek an bana ka Si Malanca tu. Inyo iyo bajanji ka mamparatian kampuang awak ko! Maangguak-angguak inyo maiyoan apo nan den kecek an.

Bicara tuntas dihadapan Si Malanca adalah kebanggaan tersendiri. Dengan bicara tuntas di depan Si Malanca, artinya sipembicara telah melepaskan hutang sosial mereka.

Kebanggaan demikianlah yang dipergunakan Si Malanca dalam menjalankan pemerintahan nagarinya.

Si Malanca juga mengunjungi dan mengundang tokoh-tokoh masyarakat datang ke rumahnya. Bicara berbagai hal tentang nagari dan masyarakatnya. Dan para tokoh-tokoh masyarakat itu pula, dengan semangat yang penuh mereka bicara segala aspek tentang kehidupan masyarakat, lengkap dengan kritik, solusi, nasehat-nasehat, pepatah-petitih dan lain sebagainya.

Si Malanca mendengarkan semua itu dengan penuh perhatian. Sehingga tokoh-tokoh itu mendapat kesan dan yakin, bahwa apa yang mereka katakan secara langsung kepada Si Malanca, adalah sebuah pekerjaan mulia dan penting. Ikut membantu kesulitan yang dihadapi Si Malanca.

Betapa bahagianya mereka si Malanca pun mendatangi kampung-kampung yang masih belum lengkap sarana umumnya. Jalan berlubang-lubang, listrik belum masuk, sarana air tidak terawat, dan sebagainya. Orang-orang kampung senang, karena Si Malanca telah berkunjung ke kampung itu. Orang-orang kampung pun bangga, karena Si Malanca tampak benar-benar telah mendengar keluhan warganya. Bahkan dengan ramah Si Malanca mengatakan, bahwa kampung itu harus mendapat prioritas untuk dibangun dan dilengkapi sarana umumnya. Itulah yang membuat Si Malanca dekat di hati warganya. Si Malanca selalu bersedia mendengar keluhan warganya.

Akan tetapi, setelah tokoh-tokoh masyarakat itu pulang dari rumah Si Malanca, atau setelah Si Malanca pulang dari kunjungannya ke kampung-kampung itu, Si Malanca segera melupakan kata-kata atau kritik para tokoh masyarakat, janji-janjinya pada orang kampung. Si Malanca kembali meneruskan pekerjaannya sesuai dengan apa yang diinginkannya. Dia bangun pasar di mana tempat yang disukainya, dibiarkannya anak-anak miskin terlantar, bahkan kendaraan macet pada setiap persimpangan dilihatnya sebagai sebuah dinamika kehidupan, dan sebagainya, dan sebagainya.

Sampai sekarang, apabila ada seorang pejabat yang tampaknya sangat antusias mendengar kritik masyarakat tetapi diam-diam pejabat itu mengerjakan apa yang disukainya sendiri, lalu mereka yang mengenal cerita rakyat Si Malanca akan mengatakan; Ah, memang baitu kalakuan Si Malanca.

Resep apakah yang dipakai Si Malanca dalam menghadapi berbagai persoalan masyarakat yang suka dengan kebanggaan-kebanggaan demikian? Itulah resep tentang kelicikan yang paling ampuh yang dimiliki orang Minangkabau; iyoan nan di urang, laluan nan di awak. Dan Si Malanca-Si Malanca itu sampai hari ini telah mempergunakannya dengan sebaik mungkin.


Untuk melihat contoh-contoh pituah-pituah si Malanca silakan klik di:

http://nagari.or.id/index.php?moda=wisran&no=131

Kediaman Hatta

Menjelajah Rumah Kelahiran Bung Hatta, ”Soekarno Hatta 37 Itu Masih Sakral”




Selasa, 12 Agustus 2008

Dahulu, warga Bukittinggi tempo doeloe menyebutnya Jalan Aua Tajungkang Tangah Sawah. Tapi karena di jalan tersebut dahulu telah lahir seorang putera terbaik bangsa dan dicatat sejarah sebagai Bapak Proklamator, maka pemerintah mengubah nama jalan tersebut menjadi Jalan Soekarno-Hatta. Pada rumah bernomor 37 itulah, seorang anak bangsa dilahirkan sebagai cikal bakal munculnya tokoh perintis kemerdekaan RI.

Alhamdulillah, jika telah berkunjung atau pernah meluangkan waktu singgah ke rumah kelahiran Proklamator Bung Hatta di Bukittinggi. Bagi yang belum, setidaknya feature ini bisa menggambarkan seperti apa suasana dan kesakralan yang terasa ketika menapak jengkal per jengkal salah satu bukti sejarah perjalanan hidup seorang anak bangsa yang sangat berjasa, dan telah menanamkan hidup sebagai orang Indonesia .

Rumah tadi terletak di Jalan Soekarno Hatta nomor 37. Tapi ingat dan baca aturannya, sebelum menginjakkan kaki ke rumah tersebut, seluruh pengunjung tanpa terkecuali diwajibkan melepas alas kaki. Alasannya sederhana saja, agar tidak kotor dan kebersihan serta keasriannya terjaga. Tapi wajar saja, petugas memang agak kewalahan membersihkan rumah tersebut, terutama saat musim libur yang ramai dikunjungi wisatawan.

Pada 1995, Yayasan Wawasan Proklamator yang membawahi Universitas Bung Hatta bersama Pemprov Sumbar telah merenovasi serta mengembalikan keaslian rumah Bung Hatta mendekati aslinya. Termasuk mencari benda-benda yang pernah ada dirumah tersebut dahulunya. Hebatnya, tim renovasi juga berupaya mencari data dan informasi ke ratusan narasumber, untuk membuat replika kondisi sesungguhnya rumah tersebut.

Bangunannya terbagi menjadi dua lantai. Lantai satu rumah utama dan bagian belakang terdiri dari beranda, kamar bujangan, kamar Mak Saleh, kamar Saleh Sutan Sinaro, ruang tamu, kamar Mak Idris, ruang makan keluarga, empat ruangan batu dengan pintu, kandang bendi, kandang kuda dan dua lumbung penyimpan padi.

Jika memasuki kamar per kamar, sebaiknya dimulai dari kamar bujangan yang terletak paling dekat dengan beranda masuk. Dalam kamar bujangan terdapat koleksi buku-buku Bung Hatta yang sempat dikumpulkan dari sejumlah sumber.

Di dalamnya juga terdapat satu replika meja belajar yang dahulu selalu dipergunakan Hatta muda untuk membaca dan menulis. Juga terpajang diatas meja tadi sejumlah koleksi foto Bung Hatta bersama orang tua dan temannya.

Bahkan di ruangan tadi juga ditemukan beberapa sisa koleksi perangko dan benda-benda pos, yang tercatat pernah dipergunakan atau dijual untuk pengiriman surat menyurat dari Pasaman. Cukup banyak benda-benda kecil lainnya, yang ditata dan diletakkan untuk mengingatkan bahwa di kamar tersebut Bung Hatta telah menghabiskan masa mudanya.

Sebagai rumah yang dibangun dengan pengaruh gaya Belanda, dinding rumah ini terbuat dari kombinasi papan dan anyaman bambu. Bahkan, walau berbentu seni arsitektur Belanda, tapi sebagian sisi bangunan tetap mendapat sentuhan Minangkabau, dengan bagian plafon yang berukir bambu serta rotan. Termasuk lantai yang menggunakan anyaman rotan sebagai lapisan lantai yang terbuat dari papan.

Setelah ruang tamu, kamar tidur Mak Saleh dan Mak Idris terletak di sebelahnya. Di dinding ruang tamu terpampang duplikat foto-foto, duplikat teks proklamasi, ranji keluarga dari ayah dan ibu Bung Hatta, bibliografi dan lukisan bung Hatta.

Lampu gantung dan jam dinding merupakan koleksi asli yang sempat terselamatkan, termasuk sebuah jam dinding menggunakan gandul yang tidak berfungsi lagi. Bahkan terdapat sebuah mesin jahit kuno dikamar Mak Saleh, diperkirakan produksi akhir abad 18, dengan pemutar mesin di tangan.

Di halaman belakang terdapat sebuah sumur tua, yang diperkirakan telah ada sejak 1860, ketika rumah itu sendiri belum dibangun. Hingga sekarang sumur ini masih digunakan, dan sempat diteliti kondisi airnya oleh IPB. Masih di dekat sumur tadi, terdapat empat ruangan berdinding batu yang juga dijadikan kamar bujangan, dapur, kamar mandi dan ruang bendi. Jangan lupa, juga terdapat kerangka sepeda asli buatan 1908, tapi sebagian peralatannya telah diganti.

Walaupun bergaya Belanda dengan pintu dan jendela lebar, dikiri bangunan terdapat dua lumbung padi, masing-masing milik Aminah (ibu Bung Hatta) dan milik Saleh (paman). Di depan lumbung terdapat lesung penumbuk padi dari batu, serta kandang kuda di bagian kanan dan kandang bendi yang terbuka tanpa pintu. Tapi sebagai anak Minang, Bung Hatta hanya beraktifitas di rumah tersebut hingga usia enam tahun, selanjutnya ia teruskan menuntut ilmu dan tinggal di Surau. (eka r alka)



© 2008 PADANG EKSPRES - Koran Nasional Dari Sumbar

Kediaman Hatta

Menjelajah Rumah Kelahiran Bung Hatta, ”Soekarno Hatta 37 Itu Masih Sakral”




Selasa, 12 Agustus 2008

Dahulu, warga Bukittinggi tempo doeloe menyebutnya Jalan Aua Tajungkang Tangah Sawah. Tapi karena di jalan tersebut dahulu telah lahir seorang putera terbaik bangsa dan dicatat sejarah sebagai Bapak Proklamator, maka pemerintah mengubah nama jalan tersebut menjadi Jalan Soekarno-Hatta. Pada rumah bernomor 37 itulah, seorang anak bangsa dilahirkan sebagai cikal bakal munculnya tokoh perintis kemerdekaan RI.

Alhamdulillah, jika telah berkunjung atau pernah meluangkan waktu singgah ke rumah kelahiran Proklamator Bung Hatta di Bukittinggi. Bagi yang belum, setidaknya feature ini bisa menggambarkan seperti apa suasana dan kesakralan yang terasa ketika menapak jengkal per jengkal salah satu bukti sejarah perjalanan hidup seorang anak bangsa yang sangat berjasa, dan telah menanamkan hidup sebagai orang Indonesia .

Rumah tadi terletak di Jalan Soekarno Hatta nomor 37. Tapi ingat dan baca aturannya, sebelum menginjakkan kaki ke rumah tersebut, seluruh pengunjung tanpa terkecuali diwajibkan melepas alas kaki. Alasannya sederhana saja, agar tidak kotor dan kebersihan serta keasriannya terjaga. Tapi wajar saja, petugas memang agak kewalahan membersihkan rumah tersebut, terutama saat musim libur yang ramai dikunjungi wisatawan.

Pada 1995, Yayasan Wawasan Proklamator yang membawahi Universitas Bung Hatta bersama Pemprov Sumbar telah merenovasi serta mengembalikan keaslian rumah Bung Hatta mendekati aslinya. Termasuk mencari benda-benda yang pernah ada dirumah tersebut dahulunya. Hebatnya, tim renovasi juga berupaya mencari data dan informasi ke ratusan narasumber, untuk membuat replika kondisi sesungguhnya rumah tersebut.

Bangunannya terbagi menjadi dua lantai. Lantai satu rumah utama dan bagian belakang terdiri dari beranda, kamar bujangan, kamar Mak Saleh, kamar Saleh Sutan Sinaro, ruang tamu, kamar Mak Idris, ruang makan keluarga, empat ruangan batu dengan pintu, kandang bendi, kandang kuda dan dua lumbung penyimpan padi.

Jika memasuki kamar per kamar, sebaiknya dimulai dari kamar bujangan yang terletak paling dekat dengan beranda masuk. Dalam kamar bujangan terdapat koleksi buku-buku Bung Hatta yang sempat dikumpulkan dari sejumlah sumber.

Di dalamnya juga terdapat satu replika meja belajar yang dahulu selalu dipergunakan Hatta muda untuk membaca dan menulis. Juga terpajang diatas meja tadi sejumlah koleksi foto Bung Hatta bersama orang tua dan temannya.

Bahkan di ruangan tadi juga ditemukan beberapa sisa koleksi perangko dan benda-benda pos, yang tercatat pernah dipergunakan atau dijual untuk pengiriman surat menyurat dari Pasaman. Cukup banyak benda-benda kecil lainnya, yang ditata dan diletakkan untuk mengingatkan bahwa di kamar tersebut Bung Hatta telah menghabiskan masa mudanya.

Sebagai rumah yang dibangun dengan pengaruh gaya Belanda, dinding rumah ini terbuat dari kombinasi papan dan anyaman bambu. Bahkan, walau berbentu seni arsitektur Belanda, tapi sebagian sisi bangunan tetap mendapat sentuhan Minangkabau, dengan bagian plafon yang berukir bambu serta rotan. Termasuk lantai yang menggunakan anyaman rotan sebagai lapisan lantai yang terbuat dari papan.

Setelah ruang tamu, kamar tidur Mak Saleh dan Mak Idris terletak di sebelahnya. Di dinding ruang tamu terpampang duplikat foto-foto, duplikat teks proklamasi, ranji keluarga dari ayah dan ibu Bung Hatta, bibliografi dan lukisan bung Hatta.

Lampu gantung dan jam dinding merupakan koleksi asli yang sempat terselamatkan, termasuk sebuah jam dinding menggunakan gandul yang tidak berfungsi lagi. Bahkan terdapat sebuah mesin jahit kuno dikamar Mak Saleh, diperkirakan produksi akhir abad 18, dengan pemutar mesin di tangan.

Di halaman belakang terdapat sebuah sumur tua, yang diperkirakan telah ada sejak 1860, ketika rumah itu sendiri belum dibangun. Hingga sekarang sumur ini masih digunakan, dan sempat diteliti kondisi airnya oleh IPB. Masih di dekat sumur tadi, terdapat empat ruangan berdinding batu yang juga dijadikan kamar bujangan, dapur, kamar mandi dan ruang bendi. Jangan lupa, juga terdapat kerangka sepeda asli buatan 1908, tapi sebagian peralatannya telah diganti.

Walaupun bergaya Belanda dengan pintu dan jendela lebar, dikiri bangunan terdapat dua lumbung padi, masing-masing milik Aminah (ibu Bung Hatta) dan milik Saleh (paman). Di depan lumbung terdapat lesung penumbuk padi dari batu, serta kandang kuda di bagian kanan dan kandang bendi yang terbuka tanpa pintu. Tapi sebagai anak Minang, Bung Hatta hanya beraktifitas di rumah tersebut hingga usia enam tahun, selanjutnya ia teruskan menuntut ilmu dan tinggal di Surau. (eka r alka)



© 2008 PADANG EKSPRES - Koran Nasional Dari Sumbar

Makinuddin Hs dan Peristiwa Situjuah

Mayor Makinuddin HS dan Peristiwa Situjuah




Senin, 11 Agustus 2008

Jika dapat diibaratkan sebuah film kolosal, Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949 yang memiliki kaitan dengan keberadaan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), memiliki sederet pemeran utama, pemeran pendukung, pemeran pilihan, penyusun skenario, serta sutradara. Jika tokoh utama diperankan Khatib Sulaiman, Arisun Sutan Alamsyah, Dahlan Ibrahim, Kamaluddin Tambiluak, Syofyan Ibrahim, Munir Latief, dan Kapten Zainuddin Tembak. Untuk aksi pemeran pilihan tentu dimainkan oleh tokoh-tokoh sekelas Mayor A. Thalib, Kapten Syafei, Sidi Abu Bakar, Kapten Thantowi, dan sebagiannya.

Sedangkan untuk pemeran pembantu, diperagakan dengan semangat tinggi oleh ratusan anggota BPNK, opsir, rakyat dan tentu saja serdadu dari negeri Kincir Angin Belanda, yang menggempur Lurah Kincia.

Kalau sudah begitu, siapakah yang layak disebut sebagai penulis skenario serta sutradara di balik peristiwa Situjuah itu? Jawabannya, kemungkinan besar adalah Gubernur Militer Sumatra Tengah, Mr. Sutan Muhammad Rasyid, dan Wedana Militer Payakumbuh Selatan Mayor Makinuddin HS.

Karena Sutan Muhammad Rasyid adalah tokoh yang meminta diadakan rapat penting di Situjuah. Rapat tersebut bertujuan untuk mencari solusi upaya perjuangan bangsa dalam mempertahankan Pemerintahan Darurat Republik Indinesia (PDRI), dari gempuran Belanda.

“Setelah ‘skenario’ ditulis Sutan Muhammad Rasyid, tentu saja dengan sepengetahuan sang “produser” bernama Mr. Syafruddin Prawiranegara (Presiden PDRI). Maka, ditunjuklah seorang sutradara untuk mengatur. Sutradara itu bernama Mayor Makinuddin HS. Dialah yang mempersiapkan segala sesuatu untuk kebutuhan rapat di Situjuah,” ujar Fajar Rillah Vesky, wartawan yang tengah menggarap Buku “Tambiluak: Secuil Tentang PDRI dan Peristiwa Situjuah”.

Mayor Makinuddin pulalah yang meyakinkan Dahlan Ibrahim, kalau rapat di Lurah Kincia aman, karena di sekeliling ada banyak pembantu sekuriti yang menjadi pengawas. Walau kemudian, mujur tak dapat diraih, malang sekejap mata, Lurah Kincia justru diserang serdadu Belanda dari Padang Panjang dan Bukittingi.

Perjuangan Makinuddin
Ketika pulang kampung, setelah merantau ke Singapura, Makinuddin kembali ke tanah air. Dia menjadi guru agama di Lubuak Jambi, dalam wilayah Riau. Tak lama kemudian, dia meninggalkan bumi Lancang Kuning dengan menjadi guru agama di Situjuah Batua (1942).

Makinuddin melihat perjuangan pergerakan bangsa waktu itu sedang hangat-hangatnya. Sebagai seorang berpendidikan, cinta bangsa, keras, suka tantangan dan berani, hatinya kecilnya ikut terpanggil untuk bergabung dengan pergerakan di Payakumbuh/Limapuluh Kota .

Panggilan hati itu kemudian dibuktikan Makinuddin dengan masuk menjadi anggota Gyu Gun di Payakumbuh. Selama di Gyu Gun bentukan Jepang ini, dia mulai ditempa jiwa mileter. Rasa sebangsa dan setanah air, makin bergelora di jiwanya. Makinudin pun makin aktif di berbagai kegiatan perjuangan.

Ketika Indonesia telah Merdeka, Makinuddin dipercaya sebagai Komandan Batalyon III/Singa Harau. Dialah Komandan Batalyon pertama di wilayah Payakumbuh/Limapuluh Kota setelah NKRI ada dan menikmati alam merdeka.

Dua tahun Indonesia merdeka atau sekitar tahun 1947, Makinuddin mengalami perpindahan tugas. Dia dipercaya memimpin Batalyon Istimewa Galanggang di Payakumbuh. Namun jabatan tersebut tidak bertahan lama di tangannya, karena ibukota RI di Jogyakarta pada tahun 1948 mulai digempur Agresi Militer II Belanda. Gempuran serupa juga dirasakan di Bukittingi dan daerah lainnya dalam wilayah Sumatra Tengah.

Karena agresi Belanda semakin mengancam, para pejabat militer dan pemerintah RI ambil ancang-ancang. Mayor Makinuddin yang sedang menjabat sebagai Danyon Istimewa Galanggang, ditujujuk menjadi Komandemen Kepala Perlengkapan Sumatra Tengah pada tahun 1948-1949.

Semasa bertugas di sini, Makinuddin pernah dua kali pindah kantor. Pertama, di gedung Gudang Garam kampung Cina Payakumbuh. Kedua, ke lantai dua Toko Tokra Jalan Kampung Cina. Diantara anak buahnya waktu itu adalah Syamsul Bahri, Junahar, Amiruddin KR dan Kamaluddin Tambiluak.

Saat Divisi III mengalami perubahan menjadi Divisi IX Banteng, jabatan Kepala P & P diserahterimakan dari Mayor Makinuddin HS kepada Kapten Chatib Salim. Sedangkan Makinuddin diangkat menjadi Wedana Militer Payakumbuh Selatan.

Ketika menjadi Wedana Militer inilah, Makinuddin dipercaya untuk mempersiapkan rapat penting pejuang pemerintahan dan militer Sumatra Tengah di Lurah Kincia, Situjuah Batua, 15 Januari 1949. Namun apalah daya, tidak lama setelah rapat tersebut ditutup sekiatr pukul 04.30 dini hari, Belanda datang menyerang. Akibatnya, para pahlawan berguguran satu persatu. Mereka yang meninggal pada hari itu diperkirakan mencapai 69 orang. Namun masih bersyukur, Makinuddin HS dapat selamat.

Namun setidaknya, usaha dan kerja keras Makinuddin HS, layak untuk dihargai, diapresiasi, sekaligus dijadikan keteladanan bagi generasi muda sekarang dan masa mendatang. Wedana militer itu telah memperlihatkan kalau seorang ‘anak kampung’ dari lereng Gunung Sago juga mampu memberi sumbangsih besar untuk negeri bernama Indonesia !

Tiap tahun Peristiwa Situjuah diperingati. Mayor Makinuddin HS, memiliki peranan penting dalam peristiwa tersebut. Makinuddin HS wafat di Jakarta tahun 1974 dan dimakamkan TPU Karet. oJeffrey Ricardo Magno

Copyright © 2007 - 2008 Harian Singgalang

Selasa, 05 Agustus 2008

Sulthan Tunggul Alam Bagagarsyah

Artikel lama (April 2008) dari Harian Waspada Medan, nampaknyo belum pernah di posting (CP) ke Palanta, sebagai penambah nambah pengetahuan kita mengenai sejarah Ranah Minang.



Salam.


Oleh Tuanku Luckman Sinar Basarshah-II
Sultan Serdang

TERBAKARNYA Pos Belanda di Padang dan Pariaman telah menimbulkan malu yang sangat besar bagi Belanda. Kebakaran itu dilakukan 2 bersaudara dari Suruasso pada tahun 1714. Setelah itu, keduanya menghilang. Mereka mengaku waris dari tahta Kerajaan Pagarruyung, yang waktu itu tahtanya dipegang oleh Raja Muning Shah alias Tuanku Nan Tuah, yang berhasil menyelamatkan diri dari uberan kaum Paderi. Raja Muning Shah ini mempersunting Tuan Gadis, tetapi kemudian bercerai dan Tuan Gadis kembali ke Suruasso.


Sir Stamford Raffles, Letnan Gubernur Inggris di Bengkulu, pernah meminta bantuan kepada 2 bersaudara bengsawan Suruasso ini untuk mendampinginya melawat ke pedalaman Minangkabau. Ketika Belanda berkuasa, kedua bangsawan Suruasso ini beserta Sultan Alam Bagagar Shah disertai banyak pemukapemuka adat Minangkabau lainnya, dikumpulkan Belanda dengan dalih untuk “melindungi mereka dari ancaman Paderi”. Waktu itu Belanda sudah mendeking mereka dengan 100 orang serdadu ditambah 2 buah meriam besar.

Tetapi alangkah terkejutnya mereka ketika dipaksa dengan ancaman harus menandatangani Pernyataan untuk melepaskan semua tanah Minangkabau buat diserahkan kepada Hindia Belanda. Itu terjadi pada 10-2-1821, ketika itu Raja Muning Shah masih bersembunyi di Lubuk Jambi. Maka dianggap Sultan Alam Bagagar Shah yang menggantikannya.(“Al die hoofden eene overeenkomst was getekend geworden, waarbij een afstand van alle Minangkabausche landen aan het Gouvernement werd bekend gestend”).
Mereka yang menandatangani di bawah ancaman Belanda itu ialah:

- Daulat Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagarshah van Pagarruyung;
- Yang Dipertuan Sutan Kerajaan Alam van Suruasso;
- Yang Dipertuan Raja Tangsir Alam van Suruasso;
- Datuk Basuko en Datuk Mudo (voor zich en de overige 12 penghulu = untuk diri sendiri dan atas nama 12 Penghulu) van Batipuh;
- Datuk Raja Muda en Datuk Palindih (voor zich en de overige 6 penghulu van Singkarak);
- Datuk Raja Muda en Datuk Raja Bagagar (voor zich en de overige 8 penghulu van Saningbakar);
- Datuk Raja Nan Sati (voor zich en de overige 5 penghulu van Bunga Tanjung);
- Datuk Gadang Maharajalela (voor zich en de overige 5 penghulu van Pitalah);
- Datuk Sati (voor zich en de overige 4 penghulu van Tg. Berulak);
- Datuk Raja Bukuet (voor zich en de overige 4 penghulu van Gunung Raja);
- Datuk Penghulu Besar (voor zich en de overige 4 penghulu van Batu Sangkar);
- Datuk Maharaja Lela (voor zich en de overige 6 penghulu van Sumpur);
- Datuk Seripada (voor zich en de overige 6 penghulu van Melala);
- Datuk Nakoda Intan en Datuk Paduka (voor zich en de overige 6 penghulu van Semawang);

“Deze Toewankoe Alam Bagagarshah was zusterkind en dus, volgens de landinstellingen, de wettige opvolger van bovengenoemden Raja Muningshah. Hij is later Regent van Tanah Datar geweest”.1.(Tuanku Alam Bagagarshah ini adalah putera dari saudara perempuan jadi menurut adat istiadat negeri ini, merupakan pengganti yang syah dari Raja Muningsyah tersebut. Ia kemudian menjadi Regent Tanah Datar).

Pada 1824 Tuanku Nan Tuah alias Raja Muning Shah kembali ke Pagarruyung dari tempat persembunyiannya di Lubuk Jambi. Ternyata ia masih populer dan disambut rakyat dengan meriah di sana. Ia kemudian tinggal dengan tenang dan aman, karena tempat itu dijaga oleh pasukan Belanda yang membuat benteng disana sejak tangal 1 Januari 1823.

Pada 1826 Raja Muning Shah mangkat di Pagarruyung. Belanda mau melenyapkan bekas imperium tua Kerajaan Pagarruyung dan lalu memecah konsentrasi kekuasaan di Minangkabau itu. (De oude Vorst van Minangkabau, Raja Muningsyah of Tuanku Nan Tuah, kwam ook in het jaar 1826 te overlijden. Zijn Neef, Sultan Alam Bagagarsyah, was als Regent van Tanah Datar opgetreden en Tuanku Samat, een zoon van een der instellers der Padrische sekte, als Regent van Agam”. (Raja tua dari Minangkabau, Raja Muningsyah atau Tuanku Nan Tuah, mangkat pada tahun 1826. Keponakannya, Sultan Alam Bagagarsyah, diangkat sebagai Regent Tanah Datar dan Tuanku Samat, putera dari salah seorang pendiri Padri, diangkat sebagai Regent Agam).2

Rakyat tidak senang dengan politik pecah belah kekuasaan yang dilakukan Belanda, karena politik licik Belanda agar dengan melalui para Regent (dan bawahannya para Kepala Laras dan Nagari serta Penghulu kampung dan Dusun) lebih mudah mengutip belasting dan mengatur agar perdagangan rakyat tidak bebas lagi. Tidak mustahil jika banyak daerah seperti Sumpur, Batipuh, Sungai Bakau dan lain-lain berusaha sepandai mungkin menghindar dari tekanan Belanda.

(“……….de Resident en militaire Commandant gezamenlijk gemachtigd, onder nadere goedkeuring pachten of belasting in te voeren”)3. Oleh karena itu kaum Paderi berusaha akan membunuh Regent Tanah Datar, karena mereka mencurigai politik Belanda dibelakang layar, nanti akan melebarkan kekuasaan dia sampai ke pedalaman. (“Men wil ook, dat die Tuanku (Pasaman van Lintau). maar wel de Regent van Tanah Datar, Sultan Alam Bagagarsyah, hem om het leven heft doen brengen, voon namelijk uit ijverzucht als bevreesd dat het Gouvernement hem eens het gezag over de binnen landen zou opdragen”.4 Mereka sebenarnya menghendaki ia digantikan oleh seorang Arab bernama Sayed Salimul Jafried, yang ahli hukum Islam tetapi juga pernah jadi orang kepercayaan Kolonel Stuers dulu. Dia ini pandai masuk kesana kemari. 5

Pada akhir tahun 1832, kaum Paderi pimpinan Tuanku Tambusai dibantu Panglimanya Tuanku Rao, telah hampir menguasai seluruh Tapanuli Selatan khususnya Padang Lawas, yang membuat Belanda serba salah karena takut melanggar perjanjian London 1824 dengan Inggris. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sentot Ali Basa, yang menurut Belanda berusaha, mengikat kembali rantai perlawanan menentang Belanda di Tanah Minangkabau bersama wilayah Tapanuli Selatan. Menurut laporan Belanda, Sentot Ali Basa, ini sengaja mau menimbulkan kekacauan kembali, dengan maksud agar dia nanti bisa meredakannya sendiri, dengan harapan agar Belanda mengangkat dia jadi raja (Panembahan) disesuatu daerah di Sumatera.

Untuk itu ia bersedia bekerja sama dengan Regent Tanah Datar Sultan Alam Bagagar Shah dan dengan Tuanku Nan Cerdik. “Terzelfde tijd werd het den Resident en Militiairen Komandant ook duidelijk dat de ontwerpen tot dien opstand geheel bekend waren geweest aan de Ali Basa, aan den Regent van Tanah Datar, Tuanku Pagarruyung en aan Tuanku Nan Tjerdik”. (Bersamaan waktu itu, makin jelaslah bahwa rencana pemberontakan itu seluruhnya diketahui oleh Ali Basa, kepada Regent Tanah Datar, Tuanku Pagarruyung dan kepada Tuanku Nan Cerdik) 6.

Sultan Alam Bagagarsyah secara sembunyi telah menyalakan api perlawanan terhadap Belanda khususnya didaerah Agam dengan 6 distrik, terutama Kamang, Mage, Kota Baru dan Sage masuk kampung keluar kampung dan diketahui penduduk sudah membuat benteng dan hempangan (barikade) dipersimpangan jalan besar pada awal 1833. (“Jang Dipertoean van Pagarruyung immer voortging met de vonken in het geheim aan te blazen, ten dade ook in die oorden den opstand te doen breken”)7. Sesuai dengan Peraturan (Reglement) Residen Sumatera Barat tgl. 27 Okt. 1823 No. 58, pembahagian Pemerintahan di Sumatera Barat sebagai berikut:

A. Padang Wilayah
1. Regent Padang, 2. Regent Pariaman, 3. Regent Pulau Cinko, 4. Regent Air Haji;

B. Minangkabau (Afdeeling ini dibagi sebagai berikut ) :
1. Regent Tanah Datar, 2. Regent Tanah Datar Di bawah, 3. Regent Agam dan 5 Regen Limapuluh Koto;

Di bawah Regentschap ini ada Latas (distrik) dan di bawahnya lagi ada Kampung dan Dusun. Di Tapanuli dan Nias yang masa itu tunduk ke Sumatera Barat ada pembahagian lain. Pada mula system Regent ini diadakan, Sultan Alam Bagagar Shah menjabat sebagai Regent seluruh Minangkabau, kemudian turun hanya Tanah Datar saja. Kemudian dikeluarkan lagi wilayah Tanah Datar Bawah dari kekuasaannya.

Menurut Belanda, Sultan Bagagarsyah bercita-cita untuk mengusir Belanda sampai ke laut sehingga mudahlah baginya untuk mendirikan kembali Imperium Tua Minangkabau Pagarruyung bahkan akan meluaskannya. ( “Hij verbeelde zich dan indien wij genoodzaakt waren naar de stranden terug te trekken, het hem gemakkelijk zou vallen het oude Minangkabausche Rijk weder op te rigten en zelfs uit te breiden”).8

Belanda kemudian menyelenggarakan suatu pertemuan besar di Biru, dimana hadir Sentot Ali Basa, Tuanku Sultan Bagagarsyah, Tuanku Nan Cerdik, Tuanku Alam. Disitu dibacakan oleh Residen Elout antara lain sebuah Surat Pengangkatan dari Yang Dipertuan Pagarruyung Sultan Bagagarsyah yang turut juga ditandatangani oleh Tuanku Imam Bonjol, yang menunjuk Tuanku Alam dari Kaman untuk beroperasi di daerah sebagian dari XII Koto (di pedalaman) dan di daerah 4 Raja di Kumpulan buat berontak mengusir Belanda dari tanah Minangkabau.

(“…… een door zekeren in Kaman wonende Toeankoe Alam, ontworpen, door den Jang Dipertoean van Pagarruyung en den Tuanku Imam Bondjol ondertekend stuk”).9 Tuanku Alam langsung ditangkap dan keesokan harinya di hukum pancung oleh Belanda. Begitu juga Tuanku Nan Cerdik ditangkap dan kemudian dibuang ke Betawi tgl.16-3-1833. Komandan Militer Belanda mendesak agar Sentot Ali Basa segera disingkirkan. Kepada Sentot Ali Basa Residen secara diplomatis meminta agar Sentot berangkat ke Betawi guna melaporkan situasi keamanan disana. Ternyata ia tidak dibenarkan kembali ke Sumatera bahkan kemudian dibuang ke Bengkulu. Tentera Jawa Barisannya tetap di Sumatera dan menjadi bahagian dari tentera Belanda.

Dibuang
Mengenai Sultan Alam Bagagar Shah, banyak kalangan Belanda minta agar dia segera disingkirkan, tetapi Residen berpikir menunggu kesempatan yang lebih baik nanti karena Residen menganggap dia lemah pengaruhnya kepada rakyat. 10 (“Men vatte de gedachte op, om de Yang Dipertuan Pagarruyung te verwijderen, doch ditwerd tot gelegener uur uitgesteld”).

Tetapi setelah saat terakhir ditemukan bukti bahwa Regent Tanah Datar menancapkan pengaruhnya masuk kampung keluar kampung, terutama disekitar bulan April 1833, dan setelah diketahui Belanda bahwa Tuanku Sultan Alam Bagagar Shah menulis surat dan minta bantuan Inggris mengirim pasukan sebagai bantuan dari Singapura kepadanya, maka Residen Elout tidak bisa menunggu lebih lama lagi dan harus segera menangkap Regent Tanah Datar itu.

“…………..dat de Regent van Pagarruyung reeds vele maanden vroeger brieven had geschreven aan de Engelschen (waarschinjlijkvan Singapore) om hunne hulp in te roepen tegen ons” (……….. bahwa Regent Pagarruyung sudah sejak berbulan-bulan yang lalu menulis surat kepada Inggris (mungkin ke Singapura) agar mereka memberikan pertolongan melawan kita).11 Ketika akan pulang meninggalkan rapat di Biru itu Residen Elout dengan marahnya mengecam tindak tanduk Sultan Bagagarshah. Lalu serta merta disuruhnya pasukan menangkap Sultan Alam Bagagarsyah dan di bawa ke Padang (2 Mei 1833). Ketika perlawanan rakyat makin menjadi-jadi kemudian ia nanti dibawa ke Jawa (Betawi) untuk dibuang disana.

Dalam suratnya kepada Gubernur Jendral, Elout menulis: “Ik ben nu volkomen overtuigd dat de Regent Tanah Datar met den Ali Basa en Toewankoe nan Tjerdik sedert lang in het complot waren tegen het Gouvernement”. Kemudian didalam, suratnya tgl. 6 Desember 1833 Elout melaporkan lagi kepada Van den Bosch : “……… Untuk lebih perlu memberikan bukti kepada Yang Mulia mengulang kembali pengkhianatan seperti saya laporkan dahulu disertai bukti-bukti tertulis mengenai Yang Dipertuan Pagarruyung, mengingatkan kita bahwa dia sejak zaman Pemerintahan Kolonel dan Residen De Struers, selalu mencoba menentang kita, terbukti dalam surat jawaban kepadanya oleh Toeanku Kapoh, yang saya perlihatkan dulu kepada Yang Mulia ditempat ini (di Padang) dan juga balasan dari surat-menyurat dari Tuanku Alam yang kegiatan hebatnya di mana-mana sudah diketahui dan dalam surat menyurat yang sudah disampaikan kepada Yang Mulia. Kedua mereka ini sudah dikenal aktivitasnya satu persatu; dan sebaliknya begitu baiknya tindak tanduknya dibela di Betawi oleh Yang Dipertuan Pagarruyung”. 12

Ternyata 2 hari sesudah penangkapannya, seharusnya Sultan Alam Bagagar Shah akan mengepalai sebuah rapat besar di Sumpur, di mana akan ditentukan jam dan hari proklamasi serentak pemberontakan terhadap Belanda diseluruh alam Minangkabau. Memang berita penangkapan dan pembuangan Sultan Alam Bagagarsyah menimbulkan aksi luas yang luarbiasa diseluruh Minangkabau. Di bawah pimpinan Regent Buah, yang juga kerabat dari Sultan Bagagar Shah dia, memerintahkan kepada beberapa orang Dubalang, menyerang Letnan Hendriks, pada malam 12 Mei 1833, tetapi dalam keadaan sekarat Hendriks dapat selamat lari ke benteng. Kemudian benteng Belanda di Gugung Sigandang dikepung gerilyawan rakyat, di mana komandan benteng, Letnan Tomsos, dapat ditewaskan bersama pasukannya dan benteng dibakar. Di Ambacang, benteng Fort de Kock dan benteng Belanda di Kuriri di kepung dan diserang gerilyawan rakyat. Belanda menunjukkan kekejamannya dengan memenggal 15 orang pejuang rakyat yang dapat tertangkap.13

Kejadian baru di Sumatera Barat itu membangkitkan ketakutan Belanda akan kemungkinan berulangnya lagi perang besar “Bonjol II”.Sehingga dengan terburu-buru didatangkanlah dari Betawi bantuan pasukan sebesar 1100 serdadu bersama dengan Mayor Jenderal Riesz didampingi Komisaris Hindia Belanda, Van den Bosch. Sultan Alam Bagagar Shah dibuang di Betawi dan mangkat di sana 1849. Selama masa pembuangan di Betawi kegiatannya terus dipantau oleh intel Belanda. Tetapi bagaimanapun sampai akhir hayatnya ia tidak pernah berkhianat dalam tujuan perjuangannya.
Dari berbagai sumber



WASPADA Online
Sunday, 06 April 2008 00:42 WIB

Mandeh Sitti ( 1881-1965 ), Singa Betina dari Manggopoh

Mandeh Sitti ( 1881-1965 ), Singa Betina dari Manggopoh

Mandeh Sitti Manggopoh( 1881-1965 ), pahlawan daerah sumbar, pejuang wanita dari sumbar,Sejak tahun 1908 api perlawanan terhadap Belanda berkobar di Manggopoh. Aksi penjajah Belanda yang menyengsarakan rakyat memicu pemberontakan di berbagai tempat, termasuk di Manggopoh. Sitti – dikenal dengan sebutan Mandeh Sitti Manggopoh , seorang wanita pejuang dalam perang Manggopoh bersama suami dan kelompoknya Mandeh Sitti yang dikenal sangat cantik, luwes namun lihai beladiri silek, dikenal pembenci penjajah.

Hal itu dibuktikan Mandeh Sitti bersama pasukannya berhasil menghabisi serdadu Belanda di markasnya sendiri, 55 orang serdadu Belanda tewas. Penyerbuan itu nestapa luar biasa bagi Belanda. Sitti lahir 15 Juni 1881 di Manggopoh, Lubukbasung, Agam. Orangtuanya petani biasa. Sitti tak pernah menduduki bangku sekolah , karena waktu itu belum ada sekolah rendah sekalipun. Untuk pendidikannya Sitti hanya belajar mengaji di surau, menimba ilmu sekaligus mempelajari adat istiadat Minangkabau.

Usia 15 tahun, Sitti dikawinkan orangtuanya dengan Rasyid, yang dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik. Walau sudah berkeluarga dan mengurus anak, kebencian Sitti terhadap penjajah Belanda justru kian menumpuk, apalagi akhir 1907 pemerintah Belanda bersiap mengembangkan sayap jajahannya.

Apalagi penindasan kian menyakitkan, Belanda menerapkan ­kewajiban belasting (pajak) pada rakyat , tak peduli kehidupan masyarakat yang susah. Rakyat Minangkabau, termasuk di Manggopoh tidak menerima aturan itu di berbagai tempat muncul protes sehingga memicu pemberontakan.

Diawali Perang Kamang yang berlanjut di Manggopoh, Lintau, Solok Rao dan berbagai daerah lain. Perang Manggopoh meletus akibat rasa benci pada Belanda yang semena-mena warga disiksa, disuruh kerja paksa, wanita-wanita diperkosa serta berbagai tindakan biadab lain yang membuat hati warga mendidih.

Akibatnya di Manggopoh terbentuk badan perjuangan yang terdiri dari 14 orang pemuda militan masing-masing Rasyid alias Hasyik, Sitti ( isteri Rasyid ), Majo Ali, St . Marajo Dullah, Tabat, Dukap Marah Sulai­man, Sidi Marah Kalik, Dullah Pakih Sulai, Muhammad, Unik , Tabuh St. Mangkuto, Sain St.Malik, Rahman Sidi Rajo dan Kana.

Adalah Majo Ali yang dianggap paling radikal dan diayomi oleh rakyat karena dikenal ahli beladiri juga berpengalaman dalam perang Kamang sehingga dia menguasai teknik gerilya, persenjataan dan mengetahui kelemahan Belanda. Di suatu malam di asrama tentara Belanda terdengar gelak tawa penjajah akibat minuman keras, tentara Belanda tengah asyik berjudi. Dalam suasana gelap itulah seorang wanita cantik masuk ke asrama itu. Kedatangan wanita cantik itu tidak mengundang curiga, padahal yang muncul adalah Sitti buruan pemberontak yang paling dicari tentera Belanda. Siti yang sudah mempersiapkan rencana bersama kelompoknya membaur dengan tentera Belanda yang mabuk.

Karena kelelahan dan teler karena minuman keras, akhirnya puluhan tentara Belanda sudah terkapar di lantai tak sadarkan diri. Melihat peluang itu, Sitti segera memadamkan lampu dan memberi tanda pada para pejuang yang sudah siaga di luar markas Belanda itu.

Para pejuang menyerbu markas Belanda, terjadilah aksi pembantaian. Siti dengan garangnya menghabisi puluhan tentara Belanda yang panik karena ada serangan tiba-tiba. Para pejuang betul-betul beringas melampiaskan dendam rakyat Manggopoh yang ditindas dan disengsarakan Belanda.

Dalam aksi pembantaian di markas tentera Belanda itu tercatat 55 orang nyawa tentara marsose melayang, hanya dua orang yang berhasil kabur ke Lubukbasung walau dengan luka-luka serius di sekujur tubuhnya. Akibat pembantaian itu Belanda murka – namun delapan pedati harus dikerapkan untuk membawa mayat serdadu Belanda yang dibantai pejuang. Bahkan Belanda sengaja mendatangkan bantuan tentara dari Bukittinggi untuk membumihanguskan Manggopoh. Banyak warga tak bersalah jadi korban akibat tembakan membabi buta tentara Belanda yang murka .Bahkan patroli Belanda intensif ke perkampungan penduduk

Dampak aksi pejuang Manggopoh mendapat perhatian dari seorang ulama yakni Tuanku Padang yang langsung berangkat ke Manggopoh. Diam-diam diadakannya rapat lima orang pejuang Manggopoh, yakni, Tabat, Sidi Marah Khalik, Muhammad dan Kana. Mereka memutuskan mengadakan penyerbuan yang kedua. Kedua ke markas Belanda itu dilakukan sore hari pukul 5.30, para pejuang hanya menggunakan senjata tajam. Namun aksi penyerangan itu berakhir naas, lima pejuang berani itu tewas ditembak senjata otomatis milik Beland.

Besoknya Belanda makin garang melakukan patroli, tentara penjajah berhasil menembak Majo Ali dan St. Marajo. Sudah 7 nyawa pejuang dari kelompk 14 yang melayang . Adapun Sitti dan Rasyid bersembunyi di Tarok Bajolang. Pelarian Sitti dan suaminya berlanjut bersama kawannya Tabuh, menuju ke Batu Rubiah, tapi suami isteri pejuang itu berhasil ditangkap tentara Belanda di Bawan.

Keduanya menjalani hukuman, Rasyid dibuang ke Menado sedang Sitti dibuang ke Pariaman. Keduanya hidup dalam rajaman penderitaan. Kedua pejuang kemerdekaan ini tak pernah bertemu lagi sampai akhir hayatnya. Mandeh Sitti Manggopoh, hingga kini belum ditetapkan sebagai pahlawan nasional, namun pemerintah sudah mengakui jasanya, dengan menetapkan mandeh Sitti sebagai Perintis Kemerdekaan, sesuai surat keputusan Menteri Sosial tanggal 17 januari 1964, nomor Pol: 1379/64/P.K. Lembaran Negara nomor 19/1964.

Mandeh Sitti Manggopoh wafat tanggal 20 Agustus 1965 jam 15.30 WIB di Gasan Gadang, Padang Pariaman dalam usia 84 tahun dimakamkan dengan upacara kenegaraan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Lolong, Padang. Namun, hingga kini di saat seabad peringatan perang Manggopoh, semangat juang Mandeh Sitti Singa Betina yang ditakuti penjajah Belanda akan tetap hidup. (men/berbagai sumber ) Sumber: Padang Ekspres
Foto : Masjid Siti Manggopoh, Tanjung Mutiara, Agam Barat



3 August, 2008

Copyright 2007 MinangKita.com